Jumat, 08 Februari 2008

TOGEL "R"

(Tombo Gelone Rakyat) eb.32

Malam itu kami singgah sesaat disebuah warung yang berada diperbatasan desa Tanggunggunung. Ada beberapa orang yang sedari tadi nampak berbincang-bincang sambil menikmati kopi cete, sajian khas didaerah itu. Asap rokok memadati ruangan, sementara riuh rendah tawa terdengar saat kakiku melangkah menuju warung, setelah memarkir mobilku diseberang jalan. Sugeng dalu bapak-bapak, ucapku mencoba ramah. Monggo, silahkan nak mas, mereka serentak menjawab. Beberapa orang segera bergeser merapat memberikan tempat duduk untukku.
Seorang gadis cantik yang menjadi penjaga warung kopi itu segera menghampiriku dengan ramah; mas minumnya apa? Aku terdiam sesaat dan berfikir. Saya minum kopi jahe saja. Kemudian dua temanku yang lain meminta kopi susu dan kopi hitam. Gadis cantik itu segera beranjak dari tempatnya berdiri dengan menyisakan sunggingan senyuman disela bibirnya yang menawan.
Pembicaraan kembali ramai. Sesaat aku mencoba beradaptasi dan mendengarkan apa saja yang sedang mereka perdebatkan. Pelan-pelan aku mulai mengerti. Orang-orang kampung itu ternyata sedang membicarakan tentang cerita yang berkembang dari zaman ke zaman. Orang-orang itu membanding-bandingkan keadaan hidupnya mulai zaman Bung Karno hingga Zaman Andi Malarangeng. Lidah mereka agak sulit melafalkan nama yang kedua itu, karena lidah mereka adalah lidah desa yang sederhana.
Suasana warung terasa begitu hidup. Banyak pikiran unik yang muncul dari guyonan kampung yang selalu dianggap pinggiran itu. Aku merasa betah duduk mendengarkan pembicaraan mereka yang semakin lama semakin seru. Kesederhanaan tutur dan keluguan mereka menjadi pengetahuan yang jauh lebih berharga dibanding waktu aku belajar sekian teori diperkuliahanku. Aku mengangguk-angguk saja saat mereka menyampaikan pikiran-pikirannya nylenehnya kepadaku. Aku berusaha untuk tidak merubah keluguan tutur mereka dengan pandanganku yang mungkin akan sangat berbeda.
Sekarang itu susah mas, kata seorang bernama Tumikun yang tiba-tiba memandangku. Dulu, setiap dikampung kami ada selamatan kelahiran anak, tradisinya semalam suntuk tidak tidur. Kami ini punya kebiasaan main kartu pakai duit kecil-kecilan. Lha duitnya itu tidak kami bawa pulang, tetapi disumbangkan kepada yang punya hajat. Maksudnya main kartu itu ya main saja, biar semalaman kami tidak bengong. Kalau bengong bisa kerasukan setan mas. Eee...sekarang malah dianggap sebagai judi. Belum kalau kami ditangkap, taruhannya kalau dihitung tidak sampek duaratus ribu, tetapai ngurusnya di aparat bisa habis jutaan mas. Aku haya termangu mendengarkan cerita pak Tukimun. Padahal mas, kalau bicara judi, mata kami itu menyaksikan sendiri, kalau aparat itu banyak terlibat didalamnya. Kalau nggak gitu, mana ada aparat yang rumahnya bagus-bagus. Haa...haaa...haa, semua tertawa nyaring. Benar Mun, mereka kan butuh setoran, sekarang kan sedikit malu kalau jadi pak ogah dijalanan, sahut seorang lainnya yang berada dipojok warung yang ternyata adalah bekas sopir truk. Mantri hutan yang ada didesaku itu Mun sekarang kaya raya, semenjak penjarahan hutan zaman reformasi Mun. Padahal setahuku, sejarahnya mantri hutan sejak zaman sepur lempung, sampai sepur besi yang sering naas, hidupnya selalu pas-pasan. Nah...berarti itu namanya pagar makan tanaman. Iya kan Mun. Kata-kata mantan sopir itu disambut gelak tawa diantara mereka. Aku sendiri sampai tak kuasa menahan perasaanku. Akhirnya tawaku juga ikut meledak.
Sejenak suasana menjadi tenang. Tiba-tiba salah satu dari mereka menyela, Mun, kamu pilihan kepala desa kemarin dari Rusman dapet berapa? Ha..ha...ha..., mendadak semua tertawa terpingkal-pingkal. Belum lagi Tukimun menjawab, Parno mendahului; walah, Tukumun itu dapat duit dari semua calon. Rusman dapet, Hartono dapet, terus dari bu Ismiati dapet. Pokonya idiologinya Tukimun itu sabet sana sabet sini pak Jo, yang penting dapet . Tawa mereka meledak lagi. Lalu Tukimun menjawab dengan santai, hanya orang pikun dan sakit ingatan yang menolak kedatangan rezeki. Bener Mun sahut pak Matal. Ni, Marni, Tukimun tiba-tiba memanggil Marni. Kamu keseni sebentar. Ehh...aku nanya sama kamu. Iya pak Mun, jawab Marni dengan lembut. Ini Mar, kalau orang beli wedang kopi, bayarnya masih pakek uang kan?. Ya pasti to pak de, jawab Marni mendadak ketus. Waras kamu Mar, itu dengar pakai pantatmu Noooo...Parno. Ha..ha..ha.., rasain Noo...Parno, kena kamu sekarang, cletuk Bagio.
Sebenarnya kasihan ya Mun, kang Rusman yang jadi kepala desa itu kabarnya habis seratus duapuluh juta, sementara bengkok sawah untuk kepala desa kalau digadaikan selama lima tahun, paling-paling lakunya cuma seratus juta. Jadinya kan tekor alias rugi. Kata Karyo. Makanya, siapa suruh jadi kepala desa, jawab Katenan, sambil bercanda. Lalu ia menambahi ucapannya, sebentar lagi akan ada pilihan bupati dan gubernur. Ini modalnya pasti lebih gede, kira-kira suaramu harganya berapa Mun. Mereka semua nampak serius menunggu Jawaban Tukimun. Kita ini kan tidak minta uang to kang. Tapi mereka yang mengajari kita seperti ini. Setelah kita ketagihan, mereka kini yang bingung. Ya sudah, karena kita sudah terlalu lama mereka bikin bingung, ya kini gantian kita yang membuat mereka bingung. Ha..ha...ha..., tawa mereka meledak kembali untuk kesekian kalinya.
***
Gadis penjaga warung itu datang membawakan pesanan minuman untuk kami. Senyumnya yang manis sesaat menjebak mataku untuk memandangnya. Pak Tukijo tiba-tiba menyela, lha bener to, Marni ini kalau ada orang muda ngganteng sikapnya jadi lebih ramah. Tapi kalau kami yang datang, heee, apalagi senyum. Ngasih kopi saja sambil balik badan. Lha iya to pak Jo, mereka kan masih muda, ganteng lagi, ya jelas klop dengan selera. Jawab Marni dengan tenang. Di daerah ini memang terkenal dengan warung kopi yang pelayannya gadis-gadis muda yang sikapnya ramah.
Sesaat pembicaraan terpotong. Marni segera duduk menemani kami dan terlibat dalam gurauan kecil. Lalu mas Kasan yang masih muda menyela diantara pembicaraan kami. Pak Yo, sekarang ini kan sudah zamannya, jadi kalau ada yang kasih duit, ya terima saja. Toh mereka nantinya juga mencari untung setelah jadi pejabat. Bedanya cuman, kalau kita dapet untung tetep aman, kalau mereka ketahuan jadi bulan-bulanan aparat. Karyo segera menyambung ucapan kasan. Ya jelas kan San, panggilan untuk Kasan, kita ini adalah rakyat. Undang-undang kita telah menyebutkan bahwa kedaulatan ditangan rakyat, makanya kalau pejabat nyuri duit, kalau ketahuan pasti dihukum. Tapi kalau dibagikan ke kita, kamu tetep aman, kita kan rakyat San.... Gelak tawa mengiringi ucapan Karyo.
Tepat Yo, ini sudah zaman edan, kalau tidak ikut edan ya nggak kebagian. Makanya bener, kita ini sudah memasuki era demokrasi, demokrasi itu artinya bagi-bagi, buktinya, kamu saja punya kaos partai yang kamu simpan dirumahmu itu jumlahnya ada enam belas partai, iya kan? Ledek Kasan. Haa..haa...haa, mereka kembali tertawa.
***
Diluar nampak ada sepeda motor datang, orang-orang sejenak memperhatikan siapa gerangan. Seorang lelaki bertubuh tegap memakai baju hitam. Rambutnya nampak klimis. Walah-walah, itu kan si Wawan, blandong kayu. Hee Wan, panggil pak Jo, sini, masuk kedalam, kumpul sama kere-kere ini, biar panjang umur. Wawan segera masuk. Bener pak Jo. Kalau orang jarang kumpul sama para kere, umur dan nasibnya jadi pendek-pendek. Kayak pejabat-pejabat itu. Mereka terjungka gara-gara jauh sama kere-kere ini kan, kata Wawan sambil meledek pak Jo. Wan, tanya Tukimun, gara-gara kamu nyuri kayu dihutan, kami sekarang yang kebagian tanahnya. Terimakasih ya Wan, kamu itu sesungguhnya harus disebut pahlawan lho. Pahlawan blandong kayu, gelarmu Wawan B.K. Ha...Ha..Ha. Tapi Wan Tukimun tetaplah Tukimun, ahli politik kampung yang tidak pernah mleset, ungkap Karyo. Contohnya apa mas Karyo, tanya Wawan ingin tahu. Lha itu, kerja sama penanaman hutan itu. Tukimun ini kan cerdas. Kalau membiarkan kayu tumbuh, ya enam tahun saja tanah itu kan sudah tidak dapat ditanami tanaman pangan oleh Tukimun, dan dia harus menunggu sekian tahun lagi untuk mendapat bagian dari hasil penebangan. Waktunya lama banget. Makanya, pohon yang barusaja tumbuh, oleh Tukimun batangnya ditarik, sampai akar tunjangnya patah. Kan pasti mati to Wan. Lalu Tukimun melapor, kalau tanamannya mati. Ya kan sama to kang Karyo, sahut Wawan. Itu kan modusnya mirip seperti saat ada bantuan kambing yang sudah disunat duluan oleh dinas peternakan. Kambing yang turun kan kambing sudah penyakitan. Sama orang-orang dikasih makanan daun trembesi. Ya kambingnya jadi mendem semua. Lalu kita melapor kalau kambingnya keracunan makanan, padahal kita sembelih untuk menambah gizi. Masa Cuma pejabat yang boleh gemuk. Ha..ha...ha.. Tawa renyah terdengar lagi oleh mereka.
Sejauh ini aku dan beberapa kawanku hanya diam dan menikmati cerita-cerita unik dari orang-orang dusun yang sedang bersiasat untuk bertahan hidup. Lalu tiba-tiba aku terperangah, saat seseorang yang sedari tadi terdiam dipojok warung sambil memegang bolpoint dan kertas mendadak bersuara. Pak Jo, enam dua itu nomernya apa? Maksudmu apa Met. Slamet mencoba menjelaskan. Kita ini kan menghadapi hari ulang tahun kemerdekaan yang ke enampuluh dua. Dimana-mana digelar pesta besar-besaran. Siapa tahu nomor enampuluh dua tembus. Kan kita bisa ikut berpartisipasi mengadakan pesta kan pak Jo. Pak Jo masih terdiam sesaat. Semua yang diwarung itu tertawa terpingkal-pingkal oleh ide Slamet. Kemudian Slamet melanjutkan bicaranya. Niat kita kan ingin berpartisipasi, sesuai amanat demokrasi. Jadi kita ini kan warga negara yang baik.
Pak Jo berusaha mengingat-ingat kitab primbon seribu mimpi. Ada...tiba-tiba ia menyela. Enampuluh dua itu nomornya belalang dan selendang. Jadi saatnya kita ini melompat-lompat seperti belalang dan menari-nari dengan selendang. Tapi ingat, ada lagu yang berjudul selendang sutra, kalau kebablasan pasti akan banyak yang terluka. Tiba-tiba semua orang yang ada menjadi terdiam. Suasana warung itu seperti tercekam kebisuan. Kata-kata pak Jo yang nama sesungguhnya adalah Kartijo seolah menelusuk kedalam sanubari mereka.
“Inilah Indonesia, yang bukan sekedar nyanyian dari sabang sampai merauke, yang berjajar pulau-pulau, dan bukan sekedar perkara sambung-menyambung. Inilah Indonesia, yang kita dengar dari warung sebuah desa. Mereka masih setia mentertawakan diri sendiri”, gumamku diperjlanan pulang.

Tombo = Obat
Gelone = Kecewanya
Ruang Hampa
Eb.32. 21/08/07 00.22

2 komentar:

The Bitch mengatakan...

pakdhe, aku baca ini koq serasa baca Centeng-nya Veven ya? keyen si. tapi kenapa berantakan?

eb.32 mengatakan...

Jika keteraturan telah dimatikan
berantakan adalah pilihan
dan ini memang berantakan
aku menyukai kata-katamu
sungguh sangat menyukai
disaat lingkunganku
mengalami pertumbuhan yang mengerikan
mereka banyak menjadi magister filsafat
tapi...
pikirannya sendiri telah mati
lalu kami menamainya...
THE DEATH OF THOUGHT

Arundhati roy atau butterfly efect,Isabelle Allende, The House of Spirits juga berantakan. Semua berantakan. hee.heee

dan aku mengawali dari apa yang kamu sebut "BERANTAKAN"

Setiap aku berkumpul dengan kawan-kawanku. Semuanya juga berantakan. Dua menit pertama cerita tentang penulis, tiba-tiba berubah pada menit ketiga membahas pemerintah yang berantakan, lima menit kemudian membahas kebijakan pangan, lima menit kemudian membahas klenik modern dan tiba-tiba terpotong saat seorang gadis cantik lewat didepan kami. Pembicaraanpun sontak berubah. dan begitulah keseharian ku dalam kata-kata. Jika aku hendak menulis dan bisa menuliskan. Maka aku akan menulis semua yang berantakan itu. Karena begitulah adanya.

Terima kasih.
Selamat sore.