Rabu, 30 Januari 2008

BRANDAL KAWUK


Batas kesunyian itu telah lewat. Saat gemerisik dedaunan mengibas luka lara yang masih menggurat pipih didasar hati. Lelaki tua itu segera beranjak dari tempat duduknya yang melapuk, menembus teduh tepian segaran. Matanya memerah tungku api. Ia berteriak-teriak sambil menghunus sebilah keris tua berwarna batu berkelok tarian naga. Ikat hitam kumal melilit dikepalanya yang penuh ditumbui uban.
Suasana pagi yang terasa teduh mendadak sirna, saat air segaran yang tadinya tenang, bergolak berbuih. Tergerak oleh resak suara teriakan yang menggelegar mengoyak desir semilir angin.
“Mandor bajingan”
“Asu ”
“Kalau berani, lepas baju seragammu”
“Sadumuk batuk sanyari bumi”
“Hadapi aku, Brandal Kawuk”
***
Lelaki tua itu terus berteriak-teriak mengitari rumah mandor hutan yang beberapa hari ini tampak lengang tak berpenghuni. Kampung kecil dipinggir hutan yang biasanya senyap itu menjadi riuh dan gaduh oleh kasak-kusuk keracuan yang menjejak hening pagi. Seorang pemuda berusia duapuluh satu tahun terobek bola matanya karena sabetan gergaji yang diayunkan sang mandor beberapa waktu lalu. Biji matanya tak tertolong, ia mengalami kebutaan. Namun tragisnya, pemuda itu masih harus mendekam didalam sel kantor polisi karena mendapat tuduhan sebagai maling kayu.
Brandal kawuk adalah sebutan bagi laki-laki tua yang menghunus keris dan berteriak-teriak menantang mandor hutan pagi itu. Namun sudah hampir satu minggu sang mandor pergi meninggalkan dusun. Tak diketahui ia berada dimana.
Di usia mudanya brandal kawuk adalah rampok yang terkenal dan sangat disegani. Bahkan ia begitu ditakuti dikalangan juragan dan tuan tanah. Belum satu kejahatanpun dapat dibuktikan oleh polisi. Seringkali, saat sore hari ia ditangkap dan dimasukkan kedalam sel tahanan, paginya sudah tidak lagi berada disana. Konon ia bisa keluar masuk sel tahanan tanpa harus merusak gembok besi. Timah panas yang dibumbui emas dan benda-benda penjemput nyawa belum pernah berhasil menembus kulit tubuhnya.
***
Ini bulan Juni. Musim kemarau mulai meranggas. Sebentar lagi paceklik datang mendera. Entah mengapa, didaerah yang memiliki banyak hasil bumi itu, warga desanya selalu mengalami masa-masa sulit, meski hanya untuk sekedar makan. Disaat musim paceklik itulah, rumah brandal kawuk selalu ramai oleh anak-anak dan orang tua yang berkumpul siang dan malam. Dapur brandal kawuk seperti menjadi tumpuan harapan atas kesulitan hidup yang dihadapi oleh orang-orang sekampung.
Hutan yang mengitari perkampungan itu telah menjadi penjara bagi kehidupan mereka. Brandal kawuk dan orang-orang dusun hanya mendiami petak-petak tanah yang sempit. Meskipun menurut riwayat, hutan itu dulu adalah tanah-tanah yang dikelola secara turun-temurun oleh nenek moyangnya.
Lama-kelamaan dapur brandal kawuk tidak lagi mampu menampung beban penderitaan orang-orang kampung yang kian menumpuk. Apalagi setelah Tarno yang anaknya kini berada ditahanan polisi diminta menyediakan uang sebesar tujuratus ribu rupiah untuk administrasi ini dan itu, kalau ia ingin anaknya dibebaskan. Namun jumlah itu sangat besar bagi orang kampung yang kerjanya hanya sebagai tukang derep dan cangkul. Orang sepeti Tarno baru mendapatkan uang bila mejual tenaganya pada para juragan dan orang-orang yang memiliki sawah ladang. Orang kampung yang lugu itu sama sekali tidak mengerti apa-apa tentang prosedur serta administrasi. Yang ada dalam pikirannya, penjara adalah tempat dimana semua tahanan setiap hari disiksa.
Malam itu Tarno terlihat menangis dan bersimpuh dihadapan mbah Brenggolo, yang masa mudanya disebut sebagai brandal kawuk. Sementara diluar, suasana pedusunan semakin tercekam sepi. Mbah Brenggolo tak banyak bicara. Ia menatap dalam-dalam Tarno, saat lelaki itu berpamit pulang dengan tatapan mata kosong dan langkah kaki yang berat. Perlahan-lahan tubuh Tarno tertelan malam.
***
Pagi itu nampak cerah. Sinar matahari menyaput embun dan kabut yang masih bergelantungan diranting-ranting pepohonan. Angin dingin terasa menelusuk disela-sela tulang iga. Rasa dingin membuat Sumi segera terbangun dari tidurnya. Perempuan itu masih menyimpan kecemasan yang mengerubunginya tadi malam. Raut wajahnya sangat kecewa, saat menyadari bahwa pagi ini ia tidak mendapati suaminya pulang.
Sumi melangkah menuju pintu bambu yang tertembus cahaya matahari. Langkahnya bergegas mencari Tarno ke rumah beberapa tetangga. Namun tak satupun dari mereka mengetahui kabar keberadaan suaminya. Dengan wajah yang semakin lesu ia melangkah menghampiri mbah Brenggolo. Lelaki tua itu sedang menyeduh secangkir kopi di emperan rumahnya sambil menghisap sebatang rokok klobot yang terselip diantara jemarinya yang rapuh. Asap putih menggumpal menerobos melewati sela-sela bibir yang keriput.
Sumi segera menemui mbah Brenggolo untuk mencari tahu keberadaan suaminya. Namun belum lagi pertanyaan itu dilontarkan seorang pemuda kampung terlihat berlari mendekat kearah mereka dengan wajah yang panik. Mbah, Mbaaah, Mbaah....Brenggolo. Be,be,be begini mbah. Pamuda itu mencoba bicara, namun nafasnya yang tersengal membuatnya menjadi sulit untuk berucap. Mata orang tua itu melotot tajam, mencium aroma keganjilan dari wajah yang panik. Ayo sini kamu duduk dulu. Ini, minum air putih, lalu atur nafasmu.
Segelas air putih segera disodorkan kepada pemuda itu. Perlahan ia meminumnya. Sesaat nafasnya yang bergemuruh ia tenangkan. Lalu perlahan-lahan pemuda itu mulai berbicara. Tapi mbah, pemuda itu terdiam sesaat. Kebetulan ada lik Sumi disini. Sumi yang tiba-tiba disebut namanya mendadak berdebar-debar hatinya. Pemuda itu melanjutkan bicaranya. Ada apa dik...apa maksudmu mengatakan kebetulan aku ada disini, teriak sumi tertahan. Begini Mbah dan lik Sun, saya barusaja melihat kang Tarno Lik. Tubuhnya menggantung dipohon nangka dekat sumber air dipinggir hutan mbah.
Kabar pemuda itu seperti kilat yang menyambar-nyambar. Seketika Sumi jatuh pingsan. Mbah Brenggolo segera meminta istrinya untuk mengurus Sumi. Sementara mbah Brenggolo dengan pemuda segera menuju sumber air. Beberapa orang kampung yang berpapasan dijalan diberitahu mbah Brenggolo untuk menyertainya. Langkah mereka begitu bergegas, seolah menyongsong pagi yang mengarak kematian.
***
Didekat sumber air disebuah pohon nangka yang berumur ratusan tahun, Jasad Tarno terlihat menggelantung. Seutas tali menyendat lehernya. Tali itu terpaut pada sebuah dahan yang cukup tinggi. Beberapa orang segera diperintahkan mbah Brenggolo utnuk memanjat pohon itu. Sementara para tetua kampung berkumpul agak menjauh. Nampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu. Tak berapa lama, mereka kembali mendekati jasad Tarno yang diturunkan dengan menggunakan sebuah sarung yang dikaitkan diantara lengannya yang sudah kaku. Sarung itu diikat dengan seutas tali besar pengekang kerbau. Seperti sebuah bendera, jasar Tarno perlahan-lahan diturunkan. Mereka yang berada dibawah segera menangkap dan melepaskan tali pengikat jasad Tarno itu perlahan-lahan. Para tetua melangkah mendekat sambil melihat-lihat ika ada keganjilan pada tubuh Tarno.
Begini semuanya, mbah Brenggolo berucap. Kalian tau, kalau Tarno mulai kecil takut ketinggian, apalagi untuk menaiki sebatang pohon sebesar ini, memasang genting saja ia tidak berani. “Ia mbah, betul itu, Tarno tidak mungkin berani naik kedahan yang tinggi”. Beberapa orang menjawab dengan serempak. Mereka segera mengerti apa yang dimaksudkan mbah Brenggolo.
Mereka bersepakat untuk menutup berita kematian Tarno, agar kematian Tarno tidak tercium oleh pihak kepolisian. Jika ada yang menanyakan perihal kematian Tarno, mereka harus menjawab, “Tarno dijadikan tumbal oleh orang yang mencari pesugihan”.
Pagi itu pemakaman segera dilangsungkan. Anak-anak kecil tidak diperkenankan melihat proses pemakaman itu. Semua disembunyikan didalam rumah. Kepada mereka diceritakan bahwa Tarno menjadi tumbal pesugihan oleh para juragan dan tuan tanah. Bulu kudu anak-anak kecil yang mendengar cerita itu berdiri tegang. Dalam pikirannya yang sederhana, mereka melihat sosok para juragan dan tuan tanah seperti buto yang haus darah dan selalu mencari tumbal nyawa untuk kekayaannya.
Tak ada satupun yang berani menengok keluar pintu saat jasad Tarno diangkat para tetua dan pemuda kampung ke pekuburan. Sementara para perempuan masih menyembunyikan anak-anak mereka didalam rumah masing-masing. Kepala mereka dibuntal dengan sarung. Anak-anak itu seperti terkurung gulita. Suasana gelap itu yang justru membuat hayalan mereka membumbung meninggi.
Kematian orang kampung yang tragis itu dikaitkan dengan tumbal pesugihan. Dan begitulah yang selalu dilakukan oleh orang-orang kampung sedari dulu. Karena hanya itu cara mereka untuk memupuk kebencian terhadap juragan dan tuan-tuan tanah yang kikir dan semena-mena. Anak-anak akan mewarisi cerita bahwa kekayaan para juragan dan tuan tanah itu diperoleh dari tumbal pesugihan dan dibantu oleh siasat jahat setan.
Tarno adalah kematian yang kesekian kalinya. Bahkan kampung itu sudah terlalu sering mendapatkan kiriman tubuh manusia, baik tubuh warga kampung itu sendiri atau orang luar yang jasadnya sengaja ditaruh dikampung itu. Beberapa kali mandor hutan dengan dibantu beberapa aparat sengaja membantai orang-orang yang dituduh menjadi perusuh, pengganggu stabilitas, menolak mananam tebu dan menjadi otak pencurian kayu. Jasadnya hanya diuruk tanah tipis. Sehingga bagian kaki dan tangan dibiarkan menyembul dipermukaan tanah. Sementara keesokan harinya, orang-orang kampung yang menemukan mayat-mayat itu segera menguburkannya dengan mulut yang membisu batu.
***
Pernah suatu hari, seorang mandor tewas ditangan Diran saat ia melihat istrinya yang sedang mencari ranting kering pepohonan dan daun-daun untuk pakan kambing dipaksa meladeni nafsu bejat sang mandor disebuah rumbun tepi segaran. Ancaman bedil membuatnya terdiam tanpa perlawanan. Ia tidak bisa berteriak karena mulutnya disumpal kain gendongan, sementara tangannya diikat kebelakang. Melihat kejadian itu Diran segera memanggil beberapa orang yang kebetulan berjarak tidak begitu jauh darinya. Dengan cepat mereka menghambur menuju ketempat sang mandor. Sebatang kayu sudah terpegang erat ditangan. Mandor hutan itu tidak mengira bahwa sebuah benda keras sedang menghujam kearah tengkuknya. Sekejap ia tergelepar dan roboh.
Diran yang seperti kesetanan membekap mulut dan hidung sang mandor. Dalam hitungan detik sang mandor itu menghembuskan nafas terakhir dengan wajah membiru. Sementara Diran masih duduk terpaku memandangi kematian sang mandor itu dengan hati lega. Ia seperti telah membalaskan sakit hati puluhan perempuan dan gadis kampung yang telah menjadi korban mandor hutan itu. Beberapa orang yang ada disekitar Diran segera membantu mengangkat jasad sang mandor. Mereka menenggelamkannya kedasar segaran, sekaligus merapikan tempat-tempat yang mungkin bisa dijadikan polisi mencari bukti.
Aparat polisi dibantu petugas kehutanan yang menemukan jenazah sang mandor beberapa hari berikutnya hanya mampu mendapatkan bukti-bukti penyebab kematian sang mandor berupa cerita-cerita orang kampung bahwa mandor itu telah menjadi tumbal penunggu segaran. Akhirnya Polisi pulang dengan tangan hampa. Beberapa orang yang ditangkap dan diinterograsi juga memberikan kesaksian yang sama. Bahwa mandor itu telah menjadi tumbal penunggu segaran.
***
Hari terus berlalu. Gemuruh waktu yang membawa asap pekat belum pernah pudar dihempas cakrawala. Setiap kematian yang datang selalu menyisakan cerita yang sama. Tumbal, santet, pesugihan dan lain sebagainya. Ini seperti jalan bisu yang menjadi pilihan. Hanya itulah cara mereka untuk menyembunyikan kepedihan saat kehilangan anggota keluarganya. Mereka tidak punya kuasa untuk menanyakan tentang rentetan kematian itu. Atau justru mereka akan ditangkap hanya karena menanyakan perihal kematian anggota keluarganya kepada aparat. Mereka lebih memilih membuat cerita, dan menyembunyikan semua yang terjadi diantara lipatan kata-kata.
***
Disebuah pagi yang sunyi anak-anak kecil lari berhamburan dari tempat mereka bermain. Mereka melihat deru mobil Jeep yang berarak melintas dijalan-jalan desa. Cuplekan-cuplekan teriak anak-anak kecil yang berlari secepat kilat menjauh dari jalan kampung disusul oleh anak-anak yang lainya.
Di kampung terpencil ini tak ada sekolah yang didirikan. Hanya beberapa juragan dan tuan tanah yang mengirimkan anaknya untuk bersekolah didesa lain yang jaraknya cukup jauh. Itupun tak lebih dari dua anak. Sehingga yang dilakukan oleh anak-anak sepanjang hari adalah bermain. Sesekali mereka membantu orang tuanya mencari kayu bakar dan rumput.
Seorang perempuan setengah baya menyunging senyum dendam melihat tingkah anak-anak kecil yang mulai membenci orang-orang proyek itu. Perempuan itu adalah Sumi. Setelah suaminya meninggal, beberapa juragan dan orang-orang proyek sering mampir kerumahnya. Sumi adalah perempuan kampung yang terkenal cantik. Sepeninggalan Tarno, juragan-juragan dan orang-orang proyek itu menggunakan Sumi sebagai tempat pelampiasan hasratnya. Namun perempuan itu masih bertahan hidup dengan menelan setiap ancaman yang ditujukan para juragan kepadanya. Dalam kebisuannya dan kepedihannya ia terus menyimpan catatan rahasia para juragan dan orang-orang proyek. Catatan yang tak pernah diketahui oleh penduduk kampung.
Ia terus tersenyum saat mendengar cerita tentang perburuan biji bola mata anak-anak untuk tumbal pembangunan bendungan yang dulu sengaja dihembuskan oleh para tetua kampung kini masih hidup dalam pikiran anak-anak. Seperti cerita-cerita yang pernah dihembuskan sebelumnya, dan hanya itu yang selama ini bisa mereka lakaukan. Karena mereka tak lagi punya kuasa untuk menolak proyek besar itu. Sumber-sumber air yang awalnya mengalir dengan baik kearah kampung kini dialirkan kewaduk untuk memenuhi kebutuhan pengairan. Banyak sungai-sungai lainnya juga dialihkan jalurnya menuju waduk. Proyek besar itu diperuntukkan bagi program penanaman tebu.
Warga dusun hanya bisa pasrah dan membiarkan saja semuanya terjadi. Mereka tidak ingin menambah korban nyawa jika memaksa menolak proyek itu. Karena mereka sadar, jika semua kematian yang selalu terjadi hanya berakhir dalam cerita bisu.
Sekarang yang mereka lakukan hanyalah mewariskan cerita pada anak-anak mereka yang masih kecil. Bahwa pembangunan waduk tersebut membutuhkan biji bola mata manusia yang banyak untuk tumbal. Sementara mobil-mobil Jeep yang ditumpangi para insinyur itu adalah orang-orang yang kejam yang selalu mencungkil mata anak-anak kecil. Meskipun sebenarnya para insinyur dan mobil-mobil Jeep itu tidak pernah menculik anak kecil dan mengambil bola matanya sekalipun.
Semua cerita itu hanyalah wujud dari kebencian dan kemarahan yang tak bisa mereka ungkapkan. Mereka hanya berharap, kelak anak-anak mereka yang kini memendam cerita itu, akan lahir menjadi air bah yang dapat memporak-porandakan bangunan-bangunan angkuh yang telah merenggut kuasa dan daya mereka.
***
Udara malam terasa beku. Ditimur lintang kemukus berwarna api nampak bersinar menggaris angkasa. Diiringi gemuruh angin merah darah yang datang menghempas rumah-rumah tua yang didirikan diatas rintihan jerit tangis penderitaan. Ribuan sukma merayang berputar-putar seperti kabut. Menyaksikan ribuan senapan beradu dengan batu-batu. Gajah-gajah bertarung dengan semut merah yang menggunung. Sementara orang-orang dusun yang meratapi nasibnya yang tak beruntung itu hanya memandang dari jauh wajah langit yang biasanya berdiri angkuh, kini terkoyak oleh nyanyian beringas anak-anak kecil dengan ususnya yang masih terburai. Darah segar mengucur ditiap tapak-tapak titian.
Zaman wola-wali, semut ngangkarang nggempur gunung merapi, teriak mbah Brenggolo ditengah keheningan malam. Semua warga dusun tercengang oleh pertempuran hidup mati. Langit semakin memerah darah. Kilatan cahaya api membakar setiap ruang kosong. Memporak-porandakan bekas-bekas pemujaan yang telah lama membuat jutaan kepala menunduk dengan kaki-kaki menekuk.
Mbah Brenggola berjalan keluar menyusuri jalanan kampung. Menuju kepinggiran hutan untuk bersamadi. Namun mendadak matanya terbelalak, ketika meilhat ratusan orang membawa parang dan gergaji mesin beramai-ramai. Satu-persatu pohon-pohon yang tua yang batangnya sangat besar itu tumbang. Aparat dan mandor hutan ikut bersama-sama didalamnya. Mereka seperti sedang berpesta pora. Ratusan truk berbagai ukuran keluar masuk tanpa henti. Para penduduk kampung akhirnya tak mau kalah, mereka berhambur dan ikut larut dalam tarian kebengisan malam itu. Anak Tarno yang mata sebelahnya menjadi buta nampak duduk satu mobil dengan seorang polisi. Ditangannya terselip sebatang rokok. Sesekali asap mengebul dari bibirnya yang tebal, dan sebelah matanya menyaksikan satu-persatu pohon-pohon yang rebah.
Perasaan brandal kawuk seperti terbakar, namun ia hanya bisa menjerit lirih. “Ini memang jaman edan”, teriaknya perlahan. Mengapa mereka justru mengikuti jejakku yang kutinggalkan bersama masa lalu yang telah kulupakan. Anak-anak itu, apakah sekarang mereka sedang termakan kebencian. Bergerak seperti air bah, menghalau gunung-gunung, dan menerbangkan sungai-sungai dengan mata memerah dan mulutnya berapi.
Brandal Kawuk mendadak terdiam. Teringat apa yang pernah ia dan para tetua kampung sering ucapkan dan ceritakan pada anak-anak. Ia tertegun menyaksikan apa yang terjadi didepannya adalah mimpi yang nyata. Tak berapa lama Brandal Kawuk segera beranjak dari tempatnya temangu. Kaki-kakinya yang renta membawanya menuju rumah tua yang mulai melapuk. Sebuah lampu teplok ia nyalakan. Hatinya semakin resah saat pagi yang ditunggu tak kunjung datang. Sementara Sumi justru mematikan lampu dan menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Karena dalam gelap itulah ia menemukan dirinya tanpa cacat dan caci.


Hasrat
19.08 ---16/09/07
Tulungagung
eb32










Minggu, 27 Januari 2008

Gadis Hujan

Ini seperti ketersesatan, ahhh tidak. Itu kata-kata yang terlalu mengerikan untuk didengar banyak orang. Kita sedang bingung. Bukan.....bukan kita, mungkin hanya aku saja. Saat tiba-tiba langkahku terhenti, aku merasa seperti terjebak didalam perkampungan kumuh yang penuh dengan kubangan disana-sini. Diantara kubangan-kubangan itu aku melihat tonggak-tonggak kayu lapuk berhiaskan bendera-bendera kuyup yang menangis. Sementara anak-anak kurus terlihat berbaris melingkar-lingkar, sembari mengurai ususnya yang berserak diantara kaki-kaki yang tak tegap. Mereka dikelilingi serpihan triplek dan atap seng yang berkarat. Seolah menjadi penggambaran keterasingan yang kian sekarat. Baju-baju kotor bergelayutan terpampang disisi-sisi gang yang berhimpit. Ahh.......mataku, ia terus mengajaku menyaksikan anak-anak kecil yang masih terus berputar-putar sambil bernyanyi. Raut wajah mereka terlihat kelelahan, karena terus-menerus melantumkan lagu yang sama. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang menepuk punggungku dari belakang.
“Nak....bantu kakek menyeberang ya?
“Oh.....Iya kek......! jawabku spontan.
Aku segera memegang tangan kakek tua itu dan menuntunnya perlahan melewati jalanan yang gaduh. Suasana pasar tradisional yang berada tidak jauh dari stasiun kereta api, siang itu memang berubah menjadi sangat ramai.
“Besok akan ada upacara dikampung ini”, kata kakek tua kepadaku.
“Zaman kakek, upacara bendera itu hanya dilakukan dikantor-kantor dan
lapangan kecamatan nak.
“Sekarang setiap kampung membuat upacaranya sendiri. Semua menggelar pesta raya sendiri-sendiri,
“sepertinya kemerdekaan itu sudah mirip dengan pasar malam.
“Saya tidak tahu, apa yang sesunggunya ada didalam benak mereka sekarang.
“Mungkin saja orang-orang itu sudah sangat penat menjalani hidup,
sehingga kemerdekaan ini cukup mereka lampiaskan dengan panjat pinang dan gebuk bantal.
“Ya...nasionalisme pohon pinang dan gebuk bantal, ha...ha...ha.
Kakek tua itu bercerita sambil tertawa-tawa menyusuri jalan. Tak menghiraukan aku yang beusaha menyeberangi jalan dengan kendaraan padat berlalu lalang.
“ Tapi biarkan saja, kakek tua itu setengah berteriak. Kelak mereka akan mengerti bahwa pesta itu hanyalah sebuah ritual dari ketidakberdayaan, tempat tertawanya kaum paria.
Ha...ha...haa. Aku sedikit terperangah mendengar apa yang ia ucapkan.
Sesampainya di seberang jalan, ia langsung menunjuk kesebuah warung kopi yang tak jauh dari tempat kami berhenti. Aku sepertinya tak sanggup menolak permintaannya. Kami segera menuju angkringan kecil yang berada disudut perempatan jalan.
Kopi dua mas...ucap kakek tua itu. Nak...kamu ambil sendiri apa yang kau mau.
Ia Kek, jawabku sambil mengangguk.
Kakek tua itu melanjtukan pembicaraanya, dan menyelipkan suaranya diantara bising kendaraan yang lalu lalang.
Dipenjara, hidup tak ada pilihan, kecuali menikmati tembok dan jeruji. Sesekali keluar ke lapangan, melihat beberapa pohon dan rumput-rumput liar. Mereka sedikit terhibur jika datang hari-hari seperti ini, dan setelah pesta sesaat itu berlangsung, hidup berjalan seperti biasanya, terkurung, penat, dan hanya lamunan saja yang bebas menjarah dunia.
Aku terdiam mendengarkan perkataan demi perkataan kakek tua itu.
“Ayo...ini diwarung, ambil yang kamu suka, jangan diam saja.
“Ini ada rokok, ambil saja. Pinta kakek tua itu kepadaku.
“Kamu mau jadi seperti orang-orang kebanyakan itu, yang hidupnya
sudah susah, dan tidak punya pilihan.
Segera kuambil pisang goreng untuk menutupi rasa malu karena terus dicemooh kakek tua itu.
Kek, kakek dulu pernah belajar dimana? Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Kakek hanya sekolah di SR nak, sekolah rakyat.
Setahu kakek, sekolah itu membuat rakyatnya menjadi pintar.
“Kalau sekarang tidak ada sekolah rakyat, tetapi sekolah pejabat alias SP,
jadi pejabatnya yang pintar, rakyatnya yang jadi bodo-bodo, ha...ha...ha.
Tawa renyah keluar dari mulut tua yang kehilangan banyak gigi itu.
“Oh..iya namamu siapa nak?. Nama saya Prahasto kek. Oooo...Prahasto,
nama yang baik.
“Panggil saja kakek mbah Man, tapi nama lengkap kakek
adalah Suhardiman. ***

Percakapan kami berlangsung dengan santai. Tawa kami berdua sering meledak-ledak dan bahkan kami sempat terpingkal-pingkal. Mbah Man memang orang yang nampak sederhana, namun ia seperti menyembunyikan segudang misteri. Siang ini aku hanya mampu mengintip dari retakan kecil yang ada pada jendela rumah hidupnya. Selang beberapa waktu, kakek tua itu mengucapkan terimakasih kepadaku. Ia bermaksud memberikan sesuatu, karena ia merasa sudah ditolong. Segera aku menahannya. Sudah Kek, tidak usah repot-repot, ini kan tidak seperti acara televisi kek. Saya senang kok bisa membantu kakek. Saya telah banyak belajar dari kakek. Saya baru sadar kalau pemuda seperti saya itu ternyata tidak punya banyak pilihan. Seperti orang yang dipenjara.
Ya...sudah kalau begitu, kata mbah Man. Kapan-kapan perjalanan akan mempertemukan kita lagi. Hati-hati ya nak, semoga kamu nanti bisa mengibarkan bendera lebih tinggi dari yang kakek bisa. Sama-sama mbah Man, jawabku. Aku tersenyum mendengar apa yang ia ucapkan. Siang itu kami berpisah. Tukang becak terlihat membawanya pergi menelusup diantara jalanan yang sedang macet.
Aku melangkah menyusuri trotoar kecil menuju ke belakang pasar sambil merenungkan kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut keriput kakek tua diwarung tadi. Sebenarnya sangat susah mulutku menyebut kakek, aku lebih nikmat dengan memanggilnya pak tua saja. Rasanya lebih akrab, dan lebih memiliki kedalaman.
Tanpa terasa aku telah jauh menyusuri jalanan kecil yang membawaku kesebuah perkampungan kumuh. Aku tidak mengerti, hari ini kaki-kakiku seolah punya keinginan sendiri untuk melangkah. Justru aku yang dipaksa mengikuti kemana arahnya. Sepertinya ia hendak menunjukkan sesuatu padaku. Atau mungkin kaki-kakiku lebih mengerti apa yang diucapkan pak tua itu daripada otakku. Bisa jadi....aku mulai tersenyum kecut.
Langkahku berhenti sejenak. Diujung gang nampak berdiri termangu seorang perempuan setengah baya. Tangannya nampak berat memegangi dagu, ia seperti sedang memperhatikan sesuatu yang ada dihadapannya. Tak berapa lama aku melangkah, aku sudah sampai didekatnya. Hingga saat diriku tepat berada disampingnya, ia seperti sedang mengatakan sesuatu.
“anak-anak itu akan bertugas, esok pagi mereka harus bernyanyi.
“Aku dulu juga seperti mereka, menyanyikan lagu yang sama.
“Aku mulai cemas dengan nasib mereka kelak.
“Apa harapan yang terbaik bagi orang-orang seperti kami.
Kata perempuan itu menggerutu.
Aku menganggukkan kepala, berusaha membaca mimik wajahnya yang nampak khawatir. Meski aku tidak tahu ia sedang bertutur pada siapa. Namun aku berusaha tersenyum menyambut apa yang dia ucapkan.
Aku masih berdiri termangu. Ikut menyaksikan sekumpulan anak-anak yang berputar-putar mengelilingi tonggak kayu sambil bernyanyi. Suara mereka terdengar parau meresak-resak seperti sembilu. Mendadak aku terperangah, dan disaat yang sama jantungku terasa berhenti. Aku teringat kembali apa yang baru saja kulamunkan dipasar tadi, kini semuanya seolah menjelma menjadi nyata. Ku usap mataku berkali-kali, memastikan bahwa ini hanya sebuah halusinasi liarku. Tapi...tunggu dulu, ini bukan bukan halusinasi. Ini benar-benar nyata, teriaku lirih.
Perasaanku menjadi cemas, bayangan anak-anak dalam lamunanku kini ada dihadapan, dan cerita pak tua yang baru saja kudengarkan seolah ikut mengusik membakar keresahan. Ini nyata, aku telah terjebak dalam sebuah perkampungan kumuh dengan bendera-bendera lusuh yang tertancap ditengah-tengah kubangan. Sementara anak-anak kecil itu terus berputar-putar menyanyikan lagu kebangsaan dengan usus terurai diantara kaki-kakinya yang tak tegap.
Aku masih terus berusaha memperhatikan mereka. Saat tiba-tiba, wajah bocah-bocah kecil yang lugu itu berubah menjadi layu dan pucat pasi, warna hitam dibola matanya berangsur semakin mengecil, hingga yang nampak tinggal warna putih dengan bintik hitam ditengahnya. Mereka serentak melangkah menuju ketempat aku berdiri. Pandangannya yang tajam menatapku tanpa berkedip, seolah mereka akan merajami setiap jengkal kulit tubuhku tanpa tersisa. Seorang perempuan yang sedari tadi ada disampingku juga terlihat semakin aneh. Kulit wajah dan tubuhnya berubah memutih, kedua bola matanya seperti mau keluar saat ia memelototiku. Aku terjebak, teriaku. Semua yang kutemui ditempat itu tubuhnya berubah jadi memutih. Bahkan yang sedari tadi berada didalam rumah-rumah triplek dan kardus, satu-persatu mulai keluar. Mereka sama, kulitnya, matanya semuanya berubah memutih. Bulu kuduku serempak berdiri, sementara dadaku terasa berdegub kencang. Seperti menahan luapan ketakutan yang teramat sangat.
Ini adalah kematian, teriaku.
Sebuah perkampungan yang mati.
Aku segera berlari, berusaha meninggalkan mereka sebelum aku ditangkapnya beramai-ramai.
Tunggu, jangan mendekat, aku tidak bermaksud mengganggu kalian.
Jangan, aku akan pergi.
Aku berusaha berteriak dan mengatakan sesuatu pada mereka. Tapi mereka sepertinya tidak memperhatikan teriakanku. Aku harus segera pergi, kataku lirih. Dengan secepat kilat aku berlari meninggalkan para penghuni perkampungan itu tanpa sempat berfikir kemana arah yang sedang kutuju. Berlari dan terus berlari.
Diujung gang, aku menemukan jalan raya yang ramai. Aku berhenti sejenak, nampak beberapa petugas sedang duduk-duduk dipos polisi yang lusuh. Hatiku sedikit lega, lalu aku segera menengok ke belakang dengan perasaan khawatir. Namun tak ada tanda-tanda bahwa mereka sedang mengejarku. Gang kecil yang membentang dibelakangku terlihat sepi. Sejenak aku menenangkan diri, untuk menata nafasku yang masih terengah-engah. Rasa lelah menggelayut diantara urat kaki yang penat. Dengan hati yang masih diliputi kecemasan, aku mencoba melangkah kembali. Menyusuri pagar pembatas jalan yang berdiri memanjang.
Tepat didepan sebuah toko kecil yang menjual makanan aku berhenti. Disampingnya ada toilet umum tempat tukang becak dan anak jalanan serta para kuli yang tidak punya rumah tinggal mandi dan membuang hajat. Segera saja aku masuk. Seorang penjaga menatapku dengan senyuman ringan. Aku tak begitu memperhatikannya dan terus saja melangkah untuk membasuh wajahku yang terasa berat. Kebetulan didalam aku menemukan sebuah wastafel, diatasnya menempel potongan cermin berukuran sedang yang dilekatkan kedinding dengan beberapa paku. Sebuah kran air berwarna kuning emas yang sudah tua kubuka perlahan. Sesaat aku menunduk, dan mulai mebasahi mukaku beberapa kali.
Siraman air kran yang dingin terasa begitu segar, apalagi siang ini matahari bersinar sangat terik. Aku kembali berdiri dan menghadapkan wajahku ke arah cermin. Tiba-tiba hatiku seperti disambar kereta api. Aku terkejut bukan kepalang, saat melihat seluruh wajahku berubah menjadi tua dan keriput, rambutku yang hitam kini juga terlihat memutih. Mendadak mulutku ingin berteriak sekeras-kerasnya, namun ketika kulihat semua gigi-gigiku berwarna hitam kelam, lidahku seperti meregang tertahan.
“Jangan pergi”, tiba-tiba ada suara yang terdengar sangat dekat
ditelingaku.
Suara yang serak dan berat itu membuat tubuhku menjadi gemetaran, otot-ototku seperti terserang lumpuh layu. Aku sangat ketakutan karenanya. Ohh...mengapa disekelilingku tidak ada siapa-siapa.
“Lihatlah ke cermin”, ia memberikan perintah kepadaku.
Aku tiba-tiba mengikuti apa saja yang ia katakan. Kaki dan tanganku seperti terpatri, sehingga tidak ada kuasa bagiku untuk bergerak sedikitpun.
“Kau telah melihat dirimu sendiri, mengapa engkau hendak berlari”.
Suara itu muncul kembali, namun terasa lebih dalam masuk ditelingaku.
“Bukankan engakau sudah mati sedari kau tidak menyadari bahwa
engkau telah mati”.
Aku terperangah. Keringat ditubuh kini mengalir bak air bah. Dengan sekuat tenaga aku berusaha meronta. Kucoba menggerakkan jari-jemari tanpa menghiraukan pada suara-suara yang mengusikku semakin keras. Tiba-tiba kaki dan tanganku serempak bisa bergerak. Lalu cepat-cepat aku berlari keluar, tanpa memperdulikan penjaga toilet. Aku terus berlari sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Orang-orang disekitar yang melihat tingkahku nampak terkejut dengan sikapku yang aneh. Namun aku tak berani menatap mereka, dalam pikiranku, mereka semua juga telah berubah menjadi keriput dan memutih. Aku kembali berlari tanpa arah dan berusaha menghindari kaca-kaca yang bisa memantulkan bayanganku disana.
***
Diatas, langit terbalut mendung gelap, perubahan musim membuat cuaca jadi tak menentu. Persis seperti tak menentunya nasib mereka yang sedari dulu berlindung pada setiap kata yang menjanjikan harapan. Keadilan, kesejahteraan, dua kata yang telah lama mereka jadikan penjara bagi harapan-harapan yang kini hampir mati. Nafasku terasa mulai sesak. Aku melihat beberapa lalat berputar-putar didekat kepalaku. Bau anyir dari sampah yang membusuk terasa menusuk pangkal hidung. Segera aku pergi menjauh. Mencoba mengusir bayangan-bayangan kecemasan yang sedari tadi menderaku.
***
Sinar matahari semakin redup, tertutup awan hitam yang berarak. Angin dingin terasa menyengat tulang-tulang igaku hingga terasa ngilu. Tiba-tiba jantungku seperti berhenti berdetak, dan mataku menjadi berkunang-kunang, bahkan seperti ada ribuan kunang sedang mengelilingiku. Rasanya seperti mau mati saja.
Kaki-kaki ini kupaksa untuk berhenti. Namun rasa cemas dihatiku belum juga usai. Aku bertanya-tanya, apakah saat ini mataku kembali berubah menjadi memutih. Ahh...aku juga tak berani melihatnya. Tubuh ini terasa semakin lemah, dan aku membiarkan saja saat ia rebah dan tersungkur ke tanah.
Dunia seolah menjadi berputar-putar, dan aku seperti sedang merasakan sesuatu. Ada getaran lirih menyingkap lembut disela-sela bulu kuduku. Aroma dingin yang menenangkan mulai menggerayang, sementara putaran-putaran waktu mengalir perlahan menyelimuti ragaku yang rapuh.
Cahaya putih berpendar menari mengitar di ubun-ubun kepalaku. Aku seperti sedang terbang, meninggalkan diriku hingga tak tau kini berada dimana. Tiba-tiba beberapa bayangan nampak melintas didepanku, bersamanya terdengar alunan merdu sebuah lagu yang sudah sangat aku kenal. Namun aku tak mendengar syair yang mengiring, dan yang ada hanya suara anak-anak yang bersenandung menggumam. Suara itu mengiringi bayangan-bayangan tipis yang bergerak berarak seperti kapas tetiup angin.
Bayangan-bayangan itu kini menjelma menjadi anak-anak kecil yang sedang menggendong janin dengan tali pusar yang masih melilit ditubuhnya. Mereka terbang perlahan mengikuti alunan awan. Pandanganku terpaku melihatnya. Bahkan nafasku kini benar-benar terhenti, mataku tak mampu lagi berkedip, dan mulutku tak kuasa untuk bersuara, sementara lidahku sepertinya sudah beku sedari tadi.
****
Suara-suara............!
Merdeka.....Merdeka.....Merdeka haa...ha...ha...ha. Teriakan suara-suara yang keras itu mengusik daun telingaku. Aku merasa seperti tersentak, jatuh dan runtuh dari magi-magi yang membawaku kepuncak maya. Sebuah buku yang tadinya kupegang mendadak terjatuh. Aku segera memperbaiki posisi dudukku, sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi. Aliran keringat dingin tiba-tiba menjalar keseluruh tubuh. Belum selesai aku mencari tau, seorang perempuan cantik yang melihatku segera mendekat dan berusaha mengambilkan bukuku yang tergeletak dilantai. Aku baru sadar kalau ternyata aku sedang tertidur disebuah sofa dibalkon tempat aku menginap.
Perempuan cantik itu dengan ramah segera menyerahkan buku itu kepadaku sambil berkata;
”Maaf pak, buku anda terjatuh....?
“Bapak kelihatannya sangat
kelelahan.....?
“Aku tak kuasa menjawab, mulutku seperti masih terkunci rapat.
“Apa tidak sebaiknya anda istirahat dulu dikamar..... ?
“Gadis itu menanyaiku kembali.
“Ohh...terimakasih, ee... saya lebih baik minum jahe hangat saja, jawabku
dengan berat.
Aku berdiri mengangkat tubuhku, namun sepertinya baru kusadari jika mataku sedari tadi terpaku menatap sosok perempuan yang berdiri didepanku itu. Kuperhatikan wajahnya yang nampak berseri-seri, kedua bola matanya telihat seperti sepasang permata. Kecantikannya kian sempurna ketika sekuntum bunga merah terselip diatas daun telinganya yang Indah. Aku menjadi nekat, kupegang saja tangannya untuk memastikan apakah kulitnya akan berubah menjadi memutih dan keriput. Ia nampak kebingungan dengan sikapku. Maaf... maafkan saya, saya tidak bermaksud......, aku berusaha menenangkannya. Saya benar-benar mohon maaf. Mungkin benar apa yang anda katakan. Bisa jadi saya memang sangat kelelahan. Perempuan itu hanya tersenyum, seolah memaklumi apa yang baru saja kulalakukan. Baiklah, saya lebih baik ke restoran dulu, terimakasih sudah mengingatkan saya.
Segera ku bergegas melangkah menuju restoran yang berada dibagian depan penginapan. Pandanganku tertuju pada sebuah meja bundar yang dikelilingi tiga kursi rotan disisi kiri ruang tepat menghadap kearah selatan, sementara pintu masuk berada disebelah barat. Beberapa batang bunga sedap malam menghias diatas meja, tangkainya memenuhi pot kaca yang berisi gel warna-warni namun terlihat bening. Bunga itu nampak putih bersih, beberapa kuntumnya mulai bermekaran. Aroma wangi yang bertabur memberikan sentuhan ketenangan batin yang teramat dalam.
Sebuah buku dan tas kecil segera aku letakkan disisi kiri meja. Tak berapa lama, seorang gadis pelayan yang cantik dengan seragam putih berjarit datang menghampiriku. Hiasan bunga merah yang terselip diatas daun telinga menambah keanggunannya semakin menawan. Dengan senyum yang ramah ia berikan daftar menu itu kepadaku. Aku tak sempat membacanya. Langsung saja kupesan minuman jahe putih hangat dengan gula merah cair. Gadis itu mengangguk tanda mengiyakan. Ia segera bergegas mengambilkan pesananku dengan senyuman yang masih membekas dilembaran imaginasiku.
“ Mbak...mulutku tiba-tiba memanggilnya.
Gadis itu berbalik, dan menjawab.
“Ada apa bapak?.
Mataku tiba-tiba seperti bergerak sendiri, menatapnya tajam-tajam ke setiap lekuk tubuhnya yang mempesona. Namun aku merasa cemas, apakah kulitnya yang halus itu juga akan berubah menjadi putih dan keriput. Gadis itu terlihat kebingungan ketika kutatap matanya dalam-dalam. Dengan cepat aku berusaha menjelaskannya.
“Ee...begini mbak, panggil saja saya Pras, nggak usah pakai “pak”,
nama saya Prahasto.
“Gadis itu tersenyum ramah, terimakasih mas Pras.
Ia segera bergegas untuk memenuhi pesanan yang kupinta.
Mataku belum mau berhenti, sepertinya hari ini aku benar-benar tidak mampu mengendalikannya. Seperti saat aku tak kuasa mengendalikan kakiku siang tadi. Ia mengajakku berkeliling mengitari loby penginapan dari dalam restoran yang hanya dibatasi oleh kaca bening, menatap setiap lekukan-lekukan yang ada diruang itu. Mencoba menemukan guratan-guratan yang masih menyimpan berkas-berkas cerita. Beberapa lukisan bergenre suryalis yang bergantung seperti menjelma menjadi semacam ilustrasi. Perlahan-lahan pandanganku terus bergerak tertuju pada lembaran kain berwarna-warni dan jatuh pada rangkaian yang ada disana. Ahh....dipenginapan ini juga terlihat semarak bendera-bendera dan simbul-simbul perayaan.
Perhatianku mulai tertuju kearah meja-meja disekitarku. Beberapa orang nampak duduk mengitarinya. Sepertinya mereka sedang asyik terlibat dalam sebuah pembicaraan. Mereka adalah orang-orang yang tadi berteriak merdeka-merdeka lalu tertawa-tawa. Dari gaya bicaranya, mereka tidak sedang membicarakan tentang kemerdekaan. Orang-orang itu terlihat sedang menikmati liburannya sambil menghabiskan waktu untuk membelanjakan limpahan uangnya. Tubuh mereka nampak bersih, sepertinya panas matahari tak pernah leluasa menyentuh permukaan kulitnya, aksesoris yang melekat pada tubuh dan pakaian yang bermerek itu menandakan status sosialnya sebagai orang mapan. Hmmm... aku mencoba memperhatikannya sejenak. Mungkin mereka para pengusaha perayaan, dan kali ini keuntungan besar sedang mereka peroleh. Ahh...dasar VOC lokal gumamku.
Seorang gadis tiba-tiba muncul dari arah samping, sambil menyapaku dengan lirih.
“Bapak, mohon maaf, ini pesanannya.
Aku agak tergugup karena telah dibuatnya sedikit terkejut.
“Ohh, iya, terimaksih.
Gadis yang membawakan minuman pesananku ternyata bukan gadis yang tadi mengantarkan daftar menu. Namun ia juga meninggalkan bekas keanggunan dari senyum ramah yang hampir mirip. Benakku bergumam, apakah ditempat ini setiap gadis pelayan memiliki senyum sama. Apakah senyum itu datang dari lubuk hati yang terdalam, ataukah hanya sekedar senyum keharusan untuk dianggap berperilaku sopan. Ahh...pusing aku, dimimpiku tadi, baru saja aku melihat baju lusuh dan tubuh dekil yang sama. Anak-anak yang hidup dikampung kumuh itu mengumandangkan sebuah lagu yang sama pula. Bayangan anak-anak kecil yang sama juga terlihat berterbangan menggendong janin dengan usus yang masih melilit ditubuhnya. Lalu apakah yang sama, diantara beberapa yang kulihat berbeda itu.
Kuraih gelas yang berisi jahe hangat, dan menuangkan gula merah cair kedalamnya, kemudian mengaduknya perlahan. Aroma jahe yang harum mulai terasa mengitari hidungku yang sedikit terganggu oleh flu. Aku mencoba mencicipi dengan sendok pengaduk. Mmmmm...sriuuup, enak sekali rasanya.
Hujan turun merintik, rasa hangat dari jahe dan gula merah menjalar perlahan didalam dadaku. Mengusik benih-benih lamunan yang kusimpan dalam-dalam untuk segera bersemi. Sensasinya mengantarkan ingatanku pada sebuah kebun kecil dipekarangan rumah, bila musim penghujan tiba banyak tumbuh jahe dan tanaman lainnya. Aku mulai terjerembab, bayangan-bayangan masa lalu satu-persatu berusaha melintas, menyeret ingatanku pada masa dimana aku masih kanak-kanak. Perayaan tujuh belasan menjadi mimpi besar saat itu. Janur yang berwarna kuning menjadi penghias disetiap rumah, disertai bambu-bambu yang di ujungnya digantungi mainan yang dibuat dari bahan yang sama. Bendera-bendera dipasang disisi-sisi jalan desa. Banyak sekali orang-orang yang menjajakan makanan dan mainan untuk anak-anak ditempat dimana perayaan digelar. Tujuh belasan benar-benar menjadi perayaan besar yang selalu ditunggu-tunggu oleh anak-anak sepertiku. Itulah kesan, dan menjadi awal dari perkenalanku dengan Indonesia. Bendera, janur, mainan, upacara, lagu kebangsaan dan perayaan-perayaan yang begitu menyenangkan.
Permisi bapak, buku anda terjatuh. Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis muda yang nampak terpelajar menegurku dari arah samping, sembari menyodorkan sebuah buku ditangannya. Aku segera menoleh kearahnya. Ohh...iya, terimakasih. Hari ini untuk yang kesekian kalinya aku terkejut. Sesaat kami masih berpandangan, kedua bola mata ini seperti sedang mempertemukan sesuatu yang tak dimengerti. Segera kuraih buku itu dari tangannya. Bibirnya nampak menyungging senyuman yang menawan. Kami berdua sejenak terpenjara dalam kebisuan.
“Ee...maaf, apa anda juga tamu disini? Tanyaku perlahan.
Gadis itu masih terdiam sejenak.
“Ia..... mungkin saja nanti saya menginap disini, jika ada sesuatu yang menarik.
Gadis itu berusaha menjawab dengan tenang.
“Tapi saya mau pesan minuman hangat dulu. Hujan disore begini
membuat udaranya kurang bagus untuk kesehatan, ujarnya.
“Ee... bolehkah kali ini saya yang memesankannya untuk anda sebagai
tanda terimakasih saya.
Gadis itu nampak berfikir.
“Silahkan duduk kalau anda tidak keberatan, pintaku meyakinkannya.
Segera kupersilahkan gadis itu duduk meskipun ia belum menyetujuinya.
“Anda serius? Tiba-tiba gadis itu memastikan.
Aku mengagguk.
“Dengan senang hati.
Segera kupanggil seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari tempat dudukku.
“Anda ingin memesan apa? Tanyaku perlahan.
“Ee,,,saya menyukai jahe putih hangat dengan gula merah cair.
Aku terperanjat, bukan kebetulan kalau ternyata seleranya sama denganku. Aku segera kembali duduk dan mengawali sebuah pembicaraan.
“Nama saya Pras, lengkapnya Prahasto.
Saya disini sudah dua hari, tempat ini adalah tempat yang sangat tenang, tempat yang saat ini benar-benar saya butuhkan.
“Benar yang anda katakan, saya juga sering singgah ditempat ini,
nama saya Wulan.
“Anda berasal dari mana mas pras? Ee..maaf kalau saya tiba-tiba
menyebut anda dengan panggilan mas, ucap Wulan sambil tersipu.
“Tidak apa, asal tidak anda panggil om saja, jawabku sambil tersenyum.
“Saya berasal dari sebuah desa yang berada dikaki gunung wilis sebelah
barat, namanya desa Banyu Urip.
“Anda sendiri non wulan?.
“Kalau saya lahir di Yogyakarta, tetapi setelah besar saya pindah ke
Surabaya.
“Ooo...hebat dong.
“Kenapa...tanya wulan seolah ingin tahu.
“Anda lahir dan besar di Yogyakarta, anda pasti dapat berkah dari
keraton, makanya anda orangnya sangat cantik.
“Maaf kalau ucapan saya mengganggu.
“Saya hanya mengatakan yang sebenarnya menurut pandangan saya.
“Oh..tidak apa, terimakasih anda sudah jujur mas Pras.
Tiba-tiba tawa kami berdua meledak. Seorang pelayan yang datang membawakan pesanan Jahe putih hangat dan gula merah cair hampir tak terperhatikan. Silahkan, jahe hangat ini akan mebuat anda lebih nyaman.
Diluar rintik hujan belum berhenti. Jemari tangan wulan yang lentik segera meraih tangkai gelas yang ada didepannya, sementara tangan yang satunya berusaha menuangkan gula merah cair itu kedalam gelas, lalu mengaduknya perlahan-lahan. Syrruup...ia mencoba mencicipi jahe hangat itu. Pipinya terlihat merona merah, saat rasa hangat mulai menyusuri hamparan lidahnya yang tipis.
“Wah...nikmat sekali mas Pras. Apa anda tidak ingin mencobanya.
“Eh...Non Wulan, coba perhatikan yang ada digelas saya.
“Oooh....maaf, saya tidak tahu kalau ternyata anda memiliki selera yang
sama dengan saya. Berarti anda adalah bergolongan darah A.
“Kok anda tahu, tanyaku.
Ia donk, saya kan pernah membacanya saat belanja buku. Disana saya menemukan beberapa tanda-tanda bagi orang yang bergolongan darah A, dan saya juga lebih percaya saat saya tahu kalau anda orangnya cerdas, dan menyenangkan bila diajak ngomong. Aku tersenyum, sambil memperhatikan Wulan yang meneruskan penjelasannya.
Sore itu pembicaraan kami berlangsung hingga tengah malam. Bahkan kami melanjutkan dengan makan malam bersama. Kami tidak tahu, apa yang sebenarnya mempertemukan kami diantara kegelisahan yang menggunung. Namun malam itu, semua catatan yang ada dalam perjalanan hidup serasa tumpah ruah. Penjara-penjara perasaan dan kegalauan menjadi terserak setelah kami bersama-sama saling memporak-porandakan dengan pikiran-pikiran yang bergelora. Buih-buih yang menebal mulai hilang tersapu angin, begitu juga hempasan badai yang keras telah membalikkan karang-karang hati yang angkuh. Kami terus berbincang, menerobos dan mengoyak lipatan-lipatan kehidupan yang semakin lusuh. Hingga perlahan-lahan gelombang yang bergemuruh itu kian surut, dan kami masih terus menjelajah bersama hening pusara waktu. Kami baru menyadari, bawa, kami berdua pernah mengalami rasa keterasingan yang sama. Sebuah keterasingan yang amat putih.
Gelora sukma mulai menggerayangi jiwa kami, dan berusaha menjelmakan diri dalam kesemestaan yang hidup. Tubuh kami serasa berhamburan, terserak menjadi serpihan saraf-saraf kecil yang mencipta segala wujud. Dan pada serpihan-serpihan itu, kami menjadi tak mengerti apa-apa. Karena putih itu menjelma menjadi aku, aku yang tak terhingga. Mereka bermunculan diantara jejak-jejak yang telah hilang. Bahkan tak ada satupun retakan yang dapat menuntun kami kembali pada ingatan, hingga kami telah lupa dimana letaknya arah, karena matahari yang menjadi penunjuk itu telah kami telan sedari tadi. Kini kami kehilangan semuanya, siang dan malam, suka dan duka, bahagia dan sedih yang membuat batas mimpi dan nyata seringkali beradu kesadaran tanpa warna.
Tubuh kami mulai rapuh, melayang dan jatuh tanpa kelamin, tersungkur dalam rengkuhan telaga yang hening. Kini aku bisa merasakan, udara yang tersisa, sejenak menjadi tak bergerak. Mata ini kubuka perlahan, saat kulihat selembar daun yang terjatuh dari ranting pepohonan terasa begitu lama untuk sampai dipelukan bumi. Selama lantunan lagu “angel” yang disuarakan Sarah Mclachlan yang mengiris perasaanku disetiap malam menjelang. Mungkin juga saat ini waktu tak lagi berdetak, dan hari berjalan tanpa meninggalkan bekas hitungan. Aku juga tak lagi menyaksikan matahari yang seperti biasanya.
Telaga itu sangat tenang, tak ada kebisingan yang kudengar. Hanya siluet temaram yang menggurat cakrawala. Tiba-tiba aku melihat gadis yang tertelungkup disampingku perlahan berdiri, tangannya menengadah keatas menyerupai gerakan “four faces buddha”. Ia seperti sedang menari-kan sesuatu, lalu tubuhnya yang indah itu berputar kekiri dan kekanan. Rambut hitam yang berombak membuatnya terlihat semakin anggun. Namun tak berapa lama gadis itu menari, gerimis kecil persembahan dewa-dewi turun mendera tubuh kami yang sedang mencari serpihan makna yang hilang. Kamipun menari bersama hingga pagi datang tanpa terasa.
Matahari berbinar menyambut pagi. Hangat cahayanya menyaput rengat tubuh kami yang terbaring kelelahan. Aku berusaha berdiri dan mengusap kelopak mataku perlahan. Terasa seperti ada serpihan-serpihan tipis yang berjatuhan. Aku terus mengusap, dan semakin kuusap, serpihan itu semakin berjatuhan. Kemudian kuperhatikan sekelilingku, ditempat aku rebah ada berserak serpihan tipis kulit tubuhku yang mengelupas berhamburan tertiup angin. Apa yang telah terjadi semalam. Mengapa pagi ini tubuhku berubah, gumamku dalam hati. Sejenak aku kembali terdiam. Sepertinya aku sedang memasuki keterasingan baru. Keningku mulai berkerut, memaksaku menyusun kembali ingatan disetiap perjalanan. Andai saja ia masih tersisa, mungkin saja aku masih bisa menemukan jawabannya. Namun tak ada satupun ingatan yang kutemukan.
Akhirnya aku menyerah. Menatap kosong pada ruang kehidupan yang baru saja kumulai. Semua terasa begitu asing. Aku baru menyadari, jika duniaku yang sesungguhnya tak pernah ada warna. Aku dilahirkan didunia yang putih. Meskipun merah, aku harus menyebutnya putih. Dan pagi ini, aku seperti menemukan sebuah kelahiran. Dunia yang penuh rona dan keanggunan.
Ahh...sudahlah, aku harus berhenti merenung. Aku segera berdiri, berjalan menghampiri tubuh seorang gadis yang tergolek lemah dihamparan pasir yang lembut ditepi telaga. Kutatap wajahnya perlahan-lahan, agar ia tak terusik olehku. Tapi aku merasakan seperti ada yang berbeda, aku melihatnya benar-benar berbeda. Aku seperti melihat cahaya suci memancar dari tubuhnya yang sempurna. Seperti ada taburan intan berlian yang berenang-renang diatas kulitnya yang bersih. Helai rambut hitam yang bergelombang menjulur diantara bahunya, nampak memancarkan aura keagungan. Ribuan pertanyaan segera mendera jiwaku. Mengapa pagi ini ia berubah. Lalu dimana ia yang semalam menari bersamaku. Apakah..... ohh tidak. Ia belum mati. Ia belum waktunya mati. Aku terperanjat, dan segera berlari ketepi telaga. Mencari-cari seandaikan ia tenggelam disana. Mulutku berusaha berteriak, tapi aku tak tahu harus memanggilnya apa. Kuceburkan tubuhku dan berusaha berenang menyusuri dasar telaga yang bening. Berputar-putar disetiap ceruk dan kedalaman. Namun tak kutemukan tanda-tanda bahwa gadis itu ada disana.
Lalu aku beranjak menepi, duduk disebuah batu yang menggantung dibibir air. Mataku kubiarkan menjala luas pandangan. Menelusuri tiap jengkal waktu agar aku bisa menemukannya. Air telaga yang tadinya bergolak kini mulai terlihat tenang. Menenangkan hatiku yang sedang larut dalam kegundahan.
Sinar matahari jatuh mengusap hening. Pantulan-pantulan cahaya menjelama seperti untaian mutiara yang terhampar. Air telaga itu semakin terlihat jernih, membuat aku ingin menemukan diriku disana. Tanpa sengaja kepalaku perlahan-lahan menunduk. Wajahku mulai tergambar dalam bayangan-bayangan remang. Namun Ohh...betapa terkejutnya aku, saat air telaga itu tiba-tiba berhamburan. Aku segera terhenyak dari dudukku, mencoba menengadahkan wajahku kedalam air, tapi ia kembali bergolak seolah tak kuasa menampakkan bayangan wajahku dalam cerminannya. Kuulangi sekali lagi, dan air telaga itu tetap saja berhamburan. Segera aku berdiri, dan kutampar pipiku dengan tanganku sendiri. Mulutku berteriak-teriak. “Apakah aku juga sudah mati. Mengapa aku tak merasakan apa-apa saat melewati batas tadi”.
Aku segera berlari menuju ketampat gadis itu tergolek, dan berusaha membangunkannya perlahan-lahan. Namun aku mulai cemas, dan bertanya-tanya dalam hati, apakah ia gadis yang semalam bersamaku, lalu apakah ia mengenalku saat ia menatap wajahku nanti. Aku diam sesaat, berusaha untuk tidak memperdulikan lagi semua kecemasan yang menggelayuti perasaanku. Kusentuh bahunya beberapa kali.
Perlahan gadis itu mulai terbangun, jemari lentiknya mengusap-usap lekuk wajahnya yang sungguh mempesona. Bola matannya nampak sayu bergerak kanan dan kiri. Lalu ia memandangku dengan senyum rembulan yang tak pernah layu. Hatiku berdebar lega, karena ia melemparkan pandangannya padaku. Namun seketika ia nampak terkejut, matanya memperhatikan diriku sekali lagi, ia seperti melihat sesuatu yang berubah pada diriku. Aku segera berbisik kepadanya, turunlah ke air, dan lihat dirimu disana. Akupun merasakan apa yang juga kau rasakan. Mungkin kita telah meninggalkan batas itu. Cobalah, turunlah ke air segera. Gadis itu bangkit, dan berusaha mempercayai apa yang aku katakan. Ia melangkah perlahan menuju air telaga yang tenang. Ia berusaha untuk tidak membuat air itu bergerak karenannya. Namun ketika wajahnya menegadah ke telaga, mendadak airnya menjadi berhamburan. Jangan terkejut, aku berusaha menenangkannya saat ia hendak berlari. Tenanglah, pintaku. Cermin telaga itu tak mampu lagi menampakkan wajah kita bila yang kita hadirkan dihadapannya adalah pancaran jiwa. Ia tersenyum panik, lalu gadis itu menyandar kebahuku dan memelukku erat untuk beberapa saat.
Kami berdua larut dalam keteduhan pagi. Bersama keheningan telaga kami merajut kembali lembaran-lembaran jiwa yang terkoyak. Lalu gadis itu membisikan sesuatu yang menyejukkan batinku. Bisikan yang tercipta dari nafas keteduhan. “Lihat, hutan yang kemarin mengelilingi kita sebagai batas perjalanan, kini hanya nampak seperti hamparan fatamorgana”, jalan-jalan yang berkelok dan menyesatkan itu, kini terlihat hanya seperti serpihan sampah-sampah kesangsian yang berserak”, apakah engkau masih menyimpan kebimbangan akan suatu pilihan perjalanan”. Suara bisikan gadis itu mendadak berhenti. Aku menjawab dengan lirih, tidak, karena kita tidak sedang dalam perjalanan itu. Tapi, kita adalah perjalanan itu sendiri, ucapku lirih. Saat mendengar ucapanku ia memelukku semakin erat. Seperti belahan jiwa yang pernah hilang dan bertemu kembali. Lalu kubisikan sesuatu ditelinganya. Bolehkah aku memanggilmu “gadis hujan”. Ia menjawab lirih. Aku sangat menyukai nama itu.
****
Mas Pras, maaas. Aku terkejut sesaat, sepertinya ada suara dikejauhan yang memanggil-manggilku ditengah keheningan. Apa yang barusaja tergambar jelas dalam perenunganku yang belum selesai mendadak buyar. Diriku kembali tersadar bahwa untuk beberapa waktu aku telah mendiamkan Wulan. Ohh... maaf Wulan aku terjerembab dalam jeruji lamunanku. Tidak apa-apa mas, aku juga merasakan hal yang sama. Begini mas, lanjut Wulan. Tunggu, jangan bicara dulu Wulan. Wulan nampak terkejut ketika aku memintanya untuk tidak berbicara. Apalagi saat aku menatap wajahnya dengan sungguh-sungguh. Mataku mulai liar mengembara menyusuri jendela perasaannya yang hening.
“Ada apa mas Pras, tanya wulan ingin tahu.
“Ohh...tidak, aku hanya ingin memastikan.
“Oh..iya, kamu tadi mengatakan apa?
Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Sejenak Wulan terdiam. Nampak ia sedang menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu ia berusaha berbicara kembali. Begini mas Pras, menurutku, apa yang mas lihat sebagai bayi-bayi itu bagiku adalah kematian dari sebuah kelahiran. Tak perlu anda risaukan, bahkan semua yang nampak menjelma menjadi putih itu hanyalah buih. Bersama gelombang ia akan tersapu, dan ketika anda telah menghentikan arah angin. Kejernihan kehidupan yang anda inginkan akan terlihat kembali. Namun beban itu tak akan dapat anda lepas sekarang. Karena ini semua adalah kehendak dari sebuah perjalanan. Seperti tak mungkinya kita, bila memaksakan matahari diatas kepala untuk tenggelam saat itu juga. Anak-anak kecil itu akan mentertawakan kita seharian.
Aku tak menjawab. Kami berdua kembali larut dalam pengelanaan jiwa. Menembus batas-batas sanubari. Sebuah lonceng tua yang berdiri disudut ruangan mendadak berdentang. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.
Udara semakin dingin, ruangan itu sudah nampak sepi, hanya tinggal tiga meja yang masih terisi.
“Non Wulan, apa tidak sebaiknya anda beristirahat dulu.
“Ya, mungkin itu ide yang baik. Saya sepakat mas Pras.
“Semoga besok masih ada waktu, aku berharap.
“Pasti, jawab Wulan dengan tegas.
“Jikalau besok tak ada waktu mas, kita akan melahirkannya sendiri.
“Anda setuju mas Pras.
“Ok, saya setuju”.
“Maaf, jadi non Wulan sudah menemukan sesuatu yang menarik” hingga sudi menginap ditempat ini.
“Wajah Wulan nampak merah merona”
Ia hanya diam dan tidak menjawab apa-apa.
“Ayo non Wulan, pintaku sambil berdiri meninggalkan meja bundar yang telah mempertemukan kami.
“Besuk pagi saya tunggu dibalkon belakang ya mas?. Yang
menghadap ke arah gunung semeru”.
“Ok.
Kami berdua segera menuju ke meja kasir, maaf non Wulan, untuk kali ini biar masuk ke tagihan saya saja. Kalau begitu terimakasih mas Pras, Lalu kami segera bergegas menuju ke kamar masing-masing.
Udara malam itu mulai menusuk tulang, menghantarkan kami pada mimpi yang beku.
****
Sebuah pagi, fajar mulai nampak menyembul diremang perbukitan. Gorden cokelat penutup kaca ku buka sebagian, agar sinar matahari menerobos dan menghangatkan suasana pagi yang lembab. Aku bergegas menuju kamar mandi. Rasanya tubuh ini sudah sangat lelah tergerus waktu, perjalanan membuatnya semakin rapuh. Kurasa akan lebih membaik jika aku berendam sejenak dengan air hangat. Kran yang berwarna merah dan biru kuputar setengah, hingga air yang keluar terasa hangat. Segera kulepas bajuku dan merendamkan diri kedalam bak. Hmmm...rasa hangat itu perlahan-lahan menjalar keseluruh tubuh, seperti tusukan jarum-jarum kecil yang menelusup disela-sela lubang pori-pori yang kian terbuka.
Tanpa terasa duapuluh menit telah berlalu. Aku segera bangkit dan membersihkan diri dengan handuk berwarna putih. Sebuah kaca berukuran besar menempel ditembok. Awalnya aku merasa enggan untuk melihat diriku disana, namun keberanianku mengatakan lain. Kupandangi perlahan-lahan wajahku dengan tatapan yang berat. Setalah berapa lama, ternyata tidak ada yang berubah. Wajahku tetap seperti sedia kala.
Pikiranku menjadi lega. Aku segera mengenakan celana pendek dan kaos putih berkerah yang menjadi kaos kesukaanku selain warna hitam. Setelah kurapikan rambutku yang acak-acakan, aku segera melangkah keluar menuju balkon timur, tempat yang sudah kujanjikan bersama non Wulan untuk pertemuan pagi ini. Beberapa lembar catatan aku bawa, dengan harapan, ia mau menyempatkan diri utuk membacanya. Aku tidak tahu, mengapa juga aku merasa seperti sudah sangat akrab dengannya. Padahal baru semalam aku berkenalan.
Langkah kakiku terasa sangat ringan, seperti menapak diantara serpihan awan yang tak mampu kembali terbang karena kehilangan sayapnya. Dikejauhan terlihat seorang gadis yang mengenakan pakaian putih-putih sedang duduk menerawangkan pandangannya jauh mengangkangi fatamorgana. Aku melangkah mendekatinya perlahan, agar tidak mengusik sedikitpun kebahagiaannya yang tergambar dalam pengelanaan imaginasi. Aku duduk dikursi yang nampaknya sudah dipersiapkan disampingnya. Dua gelas minuman hangat tersedia sedari tadi. Suasana sejenak menjadi hening. Aku segera melemparkan pikiranku jauh melampaui batas waktu, mengejar lamunannya yang sudah dahulu disana.
****
“Apakah kita sedang tersesat”, tanya Wulan tiba-tiba memecah kebekuan.
Sejenak aku menghela nafas panjang.
“Wulan, kita tidak sedang dalam perjalanan, lalu mengapa kita harus
tersesat. Bagaimana pula kita bisa tersesat, jika aku dan kamu adalah
perjalanan itu sendiri. Jawabku dengan pelan.
“Lalu mengapa kita sama-sama memakai baju putih, padahal kita tidak
pernah merencanakan sebelumnya, tanya Wulan sekali lagi.
“Mengapa kita harus merencanakan, bukankah hanya bagi mereka yang
sedang menempuh perjalanan membutuhkan rencana.
Sejenak kami kembali terdiam.
“Ya...seperti matahari ya mas, mungkin ia tak pernah merencanakan
perjalanannya pagi ini.
Aku tersenyum, kata-kata itu membuat hatiku teduh. Kata-kata yang keluar dari pancaran jiwanya yang bangkit. Seperti yang pernah kudengar semalam dari sang gadis hujan. Tiba-tiba Wulan memegang tanganku, aku mendadak terkejut saat ia dengan cepat berenang jauh kedalam mataku dan mengatakan sesuatu,
“Mas. bila engkau ada waktu, suatu saat, jika aku rapuh dan terjatuh,
maukah engkau memelukku untuk sekali saja.
Aku terdiam sejenak.
“Wulan, jika aku bisa menenggelamkan kembali matahari yang terbit pagi
ini, maka aku pasti punya kuasa untuk menolak permintaanmu.
Wulan nampak tersenyum memandangku. Lalu ia melepaskan genggamannya perlahan-lahan, dan menyodorkan minuman kopi jahe yang masih hangat kepadaku. Sebungkus rokok mentol ia keluarkan dari sakunya, lalu ia mengambilkan satu batang dan menyalakan untukku. Terima kasih Wulan. Kami tersenyum bersama. Mas Pras, apa yang mas bawa itu, boleh Wulan melihatnya. Lalu aku menyodorkan beberapa lembar kertas yang didalamya adalah bagian dari tulisan yang kubuat selama perjalanan. Ia nampak membacanya dengan seksama.
Hmmm....sejenak kemudian nampaknya Wulan mulai mengerti. Ia membalik satu-persatu lembaran yang ada. Aku terdiam menungguinya membaca. Tiba-tiba ia mengeraskan suaranya;
“aku melihat bendera itu,
berdiri diatas tiang-tiang kayu yang rapuh.
Anak-anak kurus berbaris melingkar-lingkar,
sembari menguraikan usus-ususnya yang berserak,
diantara kaki-kaki yang tak tegap,
namun ia tetap bernyanyi,
karena hanya lagu itulah yang ia mengerti.
Sementara aku terus melihatnya,
saat wajah-wajah itu berubah dan memutih
lalu mereka memburuku, sambi berteriak serak
merah-merah-merah”.
Wulan sejenak terdiam.
“Mas, apakah mereka telah kehilangan warna. Tanya Wulan.
“Mereka tidak hanya kehilangan warna, tetapi mereka sudah tidak bisa lagi melukiskannya. Karena sejarah yang selalu mereka baca, adalah sejarah yang tidak pernah punya warna. Dan kini mereka kehilangan lembaran-lembaran yang seharusnya mereka mengerti. Makanya, aku melihat diriku dan anak-anak itu menjadi pucat dan memutih. Mereka harus segera melewati batas itu, dan jatuh ditelaga yang hening untuk menari bersama gadis hujan. Agar mereka mengenal kembali, bahwa hidupnya telah lama terpenjara dalam satu warna. Wulan pun terdiam. Hingga terdengar lonceng berdentang sepuluh kali ditanggal ke tujuh belas. Tiba-tiba aku melihat bayangan kakek tua itu tersenyum dibatas langit, dan sebuah kecupan manis terasa mendarat dipipiku.

Sby, 00.07- 17/08/07
Ruang Sepi
eb32





Sabtu, 26 Januari 2008

JEDA KESANGSIAN

Sali....Sali.....
Mengapa kamu masih berdiri disitu...?
Teriak perempuan tua itu dari samping tembok bekas rumah lokomotif yang tak lagi berfungsi disebuah stasiun kereta.
Sali yang masih menatap kepergian mimpinya nampak diam dan berdiri mematung. Seolah ia sedang menantang gedung-gedung tua yang kokoh untuk beradu ketegaran. Gelembung-gelembung imaginya bergolak liar, beterbangan merenggut batas-batas fatamorgana. Sehingga berkas rintihan yang terkoyak dipucuk awan perlahan berguguran seperti butiran salju diujung sebuah musim.
Teriakan perempuan tua yang serak itu kembali terdengar, namun karena beradu dengan gemuruh bunyi roda kereta yang membentur keras alas besi, maka suara itu tak mampu lagi menyentak ujung telinga Sali. Lelaki kecil itupun masih terlihat diam dan berdiri memaku.
Tak berapa lama, deretan gerbong tua yang kuyup oleh deraan hujan itu berlalu menjemput kegalauan. Perempuan tua berambut putih yang tubuhnya terlihat semakin kurus itu tertatih menyusuri kerikil-kerikil tajam yang bertabur disepanjang landasan rel kereta. Langkahnya merambat perlahan, menyangga derita yang kian menindih batas-batas kesabaran. Matanya terus menjarah liar kesemua arah, mencari-cari Sali yang kini entah menelusup pada sisi-sisi ruang yang mana. Sementara, hiruk pikuk dan keriuhan hidup terus berhimpit membelah sesak. Kini, Ia tak hendak berteriak. Tenggorokannya semakin mengering. Bahkan hujan yang datang menawarkan kesejukkan, buktinya hanya mampu menyemaikan rumput-rumput kecil disebuah petak tanah yang tak terjamah.
Sali pun menghilang, meninggalkan kerisauan hati seorang perempuan tua yang sedari tadi menunggui kehadiran. Anak kecil itu seperti terbenam mengejar matahari yang lepas dari pandangan. Hanya bayang-bayang rapuh yang bergelayut dalam ingatan perempuan tua itu, saat melihat Sali berdiri diujung waktu.
Hari yang galau. Disebuah petang, perempuan tua itu kembali menjamah ruang-ruang kosong yang berderet diantara rongga-rongga stasiun kereta. Matanya liar menatap kesegala arah, menyibak resak gelayut sulur waktu yang lebat merumbai. Namun ia segera berhenti, diujung bentang sebuah atap yang berlubang. Dibawah lubang itulah terakhir kalinya ia melihat Sali termangu berdiri. Merajam kepedihan atas mimpi yang terlepas.
Ia segera bersimpuh. Melipat kedua kakinya dalam kepasrahan. Dilihatnya rona-rona awan yang bergelayut ditangkai langit berlalu tanpa pesan. Hatinya merintih, karena periuk nasi yang masih ia pegang, kini dipenuhi ketidakpastian. Hanya anak itu yang selama ini dapat menyambung sumbu lentera yang hampir redup. Namun harapan itu semakin menghilang, bersama kepergian Sali yang tanpa janji.
Sebuah gerbong tua. Temaram cahaya menyambar benih malam yang memadati ruang pengab. Disebuah pintu yang tak lagi berkaca, Sali terduduk kaku. Mencabuti kecemasan yang telah terlanjur bekecambah. Matanya memahat tajam sela-sela gerbong besi yang berkarat. Telinganya seperti mendengarkan kembali suara jerit dari kerongkongan yang tertusuk sebilah pisau tajam. Muncratan darah segar yang menghambur seolah menyirami lusuh wajahnya yang berhari-hari tak tersaput air. Ia segera mengusap-usapkan tangannya. Raut ketakutan seperti telah memenjarakan dirinya dalam lingkar waktu.
Kini ia tak punya pilihan, kecuali berlari sejauh mungkin. Karena, mata-mata garang itu telah menangkap wajahnya saat ia memergoki tragedi pembunuhan yang terjadi dijalur rel kereta dibelakang perkampungan saat pagi subuh. Leher korban yang diletakkan tepat diatas salah satu bilah besi rel kereta, terputus, saat roda-roda keras berlalu menggilasnya. Hingga bekas tusukan yang awalnya nampak menggores tak lagi terlihat. Tubuh Sali menjadi gemetar saat menyaksikan tragedi itu. Namun para penjagal mendadak sadar bahwa ada dua bola mata dari sosok kecil yang bersembunyi dibalik semak sedang menyaksikan kejadian itu. Mereka segera berhambur memburu kearah Sali yang baru saja hendak berlari. Namun Sali yang bertubuh kecil segera menelusup diantara keremangan gelap yang berkabut.
Keesokan harinya, beberapa surat kabar memuat kejadian itu dengan berita seorang pemuda yang mati dengan cara bunuh diri. Polisi yang menyelidiki tempat kejadian juga menyimpulkan hal sama. Bahwa kematian pemuda paruh baya itu diakibatkan karena bunuh diri. Sementara Sali terus berlari dan bersembunyi dibalik lipatan-lipatan kehidupan yang semakin tak terbaca.
Kini Sali hanya bisa meratap, membayangkan apa yang akan terjadi jika disebuah perjalanan nasib, ia berjumpa dengan orang-orang yang saat ini berdebar-debar perasaannya karena kesaksiannya dimalam itu. Air mata bocah kecil itu tak kuasa terbendung. Ia terus menjauh, berjalan dan berganti-ganti kereta. Membawanya pada pengasingan entah kemana. Ia tak lagi berfikir untuk menjual sisa dagangan yang ia taruh disampingnya. Dibalik pintu kereta yang tak berkaca, didepan sebuah kamar kecil yang berbau itulah ia tertidur. Membiarkan ketakutannya terbang berhambur bersama gemuruh roda besi yang membelah kesunyian. Seorang kondektur yang lewat hanya memandanginya dengan perasaan iba.
***
Disebuah pagi, terdengar teriakan histeris dari lorong kecil yang terhimpit diantara bangunan-bangunan perkampungan dan gedung tua bekas rumah lokomotif yang beberapa hari telah ditinggalkan Sali. Seorang perempuan tua berambut putih terlihat menggantung diantara jeruji jendela yang berdiri menjulang. Matanya melotot mencoba mengabarkan kematianya pada Sali. Dari bibirnya mengeluarkan busa karena lelah meneriaki fatamorgana. Perempuan tua itu hanya meninggalkan periuk nasi kering yang tergeletak merana dibawah tubuhnya yang renta.
Beberapa polisi yang datang segera meneliti tempat kejadian. Tak berapa lama jasad perempuan itu diturunkan dan dibawa kerumah sakit. Setelah itu tak ada lagi yang mendengar kabarnya. Ia seperti tenggelam mengejar matahari yang berendam diperut bumi. Hanya saat-saat tertentu, disuatu malam, ada beberapa orang yang bercerita telah melihat sosok perempuan tua yang memegang periuk nasi dan memanggil-manggil siapa saja yang kebetulan lewat disekitar gedung tua itu.
***
Sali kecil masih dalam perjalanan. Goncangan badan kereta yang keras berayun membangunkan tidurnya yang telah lama tertawan dalam bidak mimpi yang hampa. Suara-suara bising gemuruh roda besi itu berhimpit dengan teriakan-teriakan pedagang asongan yang semakin terlihat menjamur.
Ia segera berdiri. Matanya menatap ruas perjalanan dan mencari tahu saat ini sedang berada dimana. Pagi itu ia belum menyadari bahwa perempuan tua yang di tinggalkan distasiun kereta itu telah melepaskan belenggu perjalanannya yang terikat rapuh. Tak ada alasan untuk tetap hidup dengan periuk nasi yang semakin mengering. Tanpa ada yang menjadi beban kepemilikan, tanpa arti yang bisa dimengerti oleh keadaan jika ia tetap bertahan dan mengalir bersama kehidupan yang bising. Perjalanannya adalah kesunyian yang tak berujung, dan kematian adalah batas tipis yang menghapus bentang waktu menuju lubang kecil yang menuntunya pada jalan keabadian.
***
Lelaki kecil itu berhenti distasiun Yogyakarta. Langkahnya yang lunglai dipaksa menyusuri ruas-ruas jalanan untuk merajut kembali sisa-sisa harapannya yang terserak. Matanya liar mencari tahu dimana ia bisa mendapatkan sekedar pengganjal perut. Ia berhenti, saat matanya menyaksikan seorang perempuan gendut sedang melahap makanan disebuah warung. Tatapan yang menghiba segera ia tujukan. Dengan harapan kecil bahwa perempuan itu mau berbagi. Berkali-kali ia menelan ludah. Sementara perempuan itu seperti tak perduli akan kehadirannya.
Tiba-tiba dari arah belakang, ada beberapa sosok tegap yang memegang pundaknya sedikit keras. Mereka segera menanyakan asal Sali. Namun lelaki kecil itu tak sanggup berbohong. Ia sama sekali tak mampu menyebutkan satu pun alamat yang bisa meyakinkannya bahwa ia adalah anak Yogja. Segera petugas menggelandang lelaki kecil itu kesebuah truk. Di sana telah menunggu Sali-Sali yang lainnya dengan muka penuh masam. Tak berapa lama truk yang mengangkut mereka bergerak menuju ke sebuah perkantoran. Beberapa hari kemudian Sali pun dipulangkan ke tempat asalnya.
***
Sembilan belas tahun telah berlalu. Sali yang beranjak dewasa tak nampak lagi meratapi perjalanan nasibnya. Stasiun kereta sudah banyak berubah, pembenahan terjadi dibanyak tempat. Bahkan rel kereta yang ada saat ini nampak semakin kokoh. Hanya kelas ekonomi dan nasib Sali yang tak pernah berubah. Ia masih bertahan sebagai pedagang asongan yang menyusuri garis nasib diatas punggung besi yang membentang dihamparan kesangsian.
Setiap ia melewati sebuah gedung tua yang dulu pernah menjadi rumah lokomotif, matanya seperti menangkap bayangan perempuan tua yang sedang menengadahkan periuk nasinya dan memanggil nama Sali. Saat seperti itu, ia menjadi sangat dendam, pada orang-orang yang telah membuatnya harus bersembunyi melawan ketakutan. Hingga perempuan tua yang ia tinggalkan mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri.
Pagi yang tertahan. Stasiun itu belum bersiap menerima kereta yang akan datang bertandang beberapa waktu lagi untuk menumbuk keriuhan. Sali berjalan menyusuri deretan beton penopang rel yang memanjang menembus ufuk fajar. Ditengah langkahnya yang agak ragu, ia melihat sosok perempuan yang menangis didepan lagi-laki yang berkacak pinggang. Sali tak hendak mendengarkan percakapan itu, namun telinga Sali tetap mendengar percakapan mereka.
Perempuan itu adalah seorang pelacur yang minta bayaran, karena pagi ini ia hendak mengantarkan anaknya berobat ke dokter, namun ia sama sekali tak ada biaya. Sementara lelaki itu menolak memberikan uang kepadanya. Malahan tangannya yang keras menampar wajah perempuan itu hingga lebam dan tersungkur ke tanah.
Dada Sali meregang. Darahnya seolah mendidih melihat perlakuan sekeji itu. Ia mencoba memalingkan tatapannya. Namun mulut lelaki itu buru-buru mengumpatnya. Hee...kamu. Mau coba-coba membelanya ya. Sali yang merasa tidak menatapnya berusaha tidak meladeni ucapan lelaki itu. Namun laki-laki bertubuh kekar itu malah memburu Sali dan melayangkan tangannya ke arah pelipis sebelah kiri.
Perkelahianpun tak terhindarkan tanpa perlu waktu untuk melempar kata-kata. Sali yang terbiasa bergelut dengan kerasnya gerbong kereta meladeni saja apa yang diminta sosok bertubuh kekar itu. Seperti kesetanan, Sali menghajar bertubi-tubi tubuh lelaki yang telah membakar tungku api amarahnya hingga terasa berkobar-kobar. Tubuh lelaki itupun menggelepar tak berdaya. Darah segar keluar dari telinga dan hidungnya. Suara nafasnya meregang seperti hendak mati. Sali yang menyadari kenyataan itu menjadi panik. Perempuan pelacur yang ada disampingnya hanya bisa menatapnya diam. Tapi ia segera merapat ke tubuh Sali dan mengajak lelaki itu pergi menjauh. Suasana masih sepi dan gelap. Tak ada seorangpun terlihat berlalu lalang.
Pagi hari warga dibuat geger. Penemua dua sosok mayat dalam kondisi yang tragis menyebabkan banyak orang ingin menyaksikan. Polisi segera datang ketempat kejadian. Tak berapa lama jenazah preman dan seorang anak gelandangan itu dibawa kerumah sakit. Setelah itu tak ada lagi yang mendengar kabarnya. Ia seperti tenggelam mengejar matahari yang berendam diperut bumi, menyusul cerita-cerita kematian yang sebelumnya.
Seperti biasa, esok hari beberapa media menuliskan kejadian itu dalam berita. Cerita kematian seorang preman yang begitu ditakuti bersama anak gelandangan yang dilindas kereta. Dikabarkan kematian mereka diakibatkan karena menenggak minuman keras hingga mabuk dijalur kereta. Berita tersebut berada dilembar urutan terdepan. Kepala preman itu terputus, sementara anak kecil yang berada disampingnya, tubuhnya remuk tak dikenali. Begitulah cerita demi cerita bermunculan, mengiringi kisah kematian yang selalu tak terungkap, bagi tiap-tiap orang yang tak tercatatkan nasibnya.
Pagi itu, Sali masih bersama perempuan rel kereta yang ia temui semalam. Ia bernama Raswi. Mereka berdua larut dan luruh memadu gaduh gelora jiwa. Sali dan Raswi terus bercengkrama, tanpa memperdulikan keadaan yang menghimpit. Nafasnya berpacu menembus batas-batas keraguan. Membiarkan kereta kehidupan terus berlalu, seperti mereka membiarkan gerbong-gerbong tua itu meninggalkan dirinya yang telah lama kehilangan harapan. Mereka lebih memilih berenang dilautan kegalauan yang kini tak lagi berombak, dan membiarkan esok pagi, jika kematian yang selalu datang akan terus pergi berlalu tanpa gurat nasib yang harus dimengerti.
Sebuah kasur kumal dan keras, kamar kardus dan periuk nasi yang kering menjadi hiasan penyaksi aroma nafas yang berpacu di pagi itu. Keduanya kini nampak terlelap kelelahan, hingga suara adzan dhuhur membangunkannya menjelang siang.


Jeda kesangsian
04.48 pagi
15/09/07
Tulungagung
eb32

Menjumpai Pagi

Menjumpai Pagi

tak juga tersadari, pertarungan itu terus berlanjut, tidak seperti saat saat merepih kematian,tidak juga terlalui, keberadaan itu hanya sementara, meski angin seperti mau bertiup kesana.tidak juga kumengerti, bahwa nafas yang merangkak itu sia sia, dan apa yang mau dikatakan?dan apa yang mau dilakukan?mau tertawa?lebih baik diam..lebih baik tak mengerti...lebih baik begini..lebih baik, dari pada mencarimati..
Hmmmmmmmmmmmm
Namun................
Hari ini, disebuah pagi
Aku hanya belajar menyalakan api pada ranting-ranting kecil,
Seandaikan kelak
Hutan rimba itu mampu terbakar.

Namun angin bertiup begitu kencang
dan hujan datang mencumbui kegalauan
Basah, namun tak menggigil
ku kejar dingin
tapi ia menghilang
T.ksh untuk seorang kawan bicara
eb.32