Minggu, 24 Februari 2008

Cermin

Disini gerimis.
Aku tahu kau melihatnya.

Rumput-rumput mulai tumbuh.
Aku tahu kau juga memandanginya.

Bunga-bunga bermekaran.
Aku tahu kau sedang memetiknya

Tanah-tanah menjadi basah.
Aku juga tahu kau menyaksikannya.

Tapi hatiku semakin kering.
Dan aku ragu jika engkau merasakannya.

>>>>>
Seperti yang aku lihat disetiap pementasan teater.
Dan ataupun panggung lain yang disuguhkan untuk ku nikmati. Di lobby hotel, dicafe-cafe, pada mall-mall, dikampung-kampung kumuh, ditempat pelacuran, dan pada ruang manapun ada pertemuan ragawi tiap-tiap pemeran kehidupan.

Maka, aku seperti menyaksikan fragmen yang memukau sedang diperankan.
Tapi tak selalu kulihat, bahwa yang nyata itu sedang menyimpan lipatan kecil.
Yang tersembunyi dibalik perasaannya.
Semua tertutupi. dan selalu nampak sempurna.
Sebagaimana kerut wajah yang diingkari.
Seperti tubuh yang selalu dibalut pakaian warna-warni.

Begitulah kehidupan.
Dan seperti itulah keadaan.
Yang nampak pada cermin.
Selalu tidak utuh untuk dimengerti.

Dan karena cermin.
Semua belajar untuk mengingkari.

Sabtu, 23 Februari 2008

Biar saja

kenapa harus menertawakan mati?
Apa tak juga tersadari, jika pertarungan itu terus berlanjut, tidak seperti saat saat merepih kematian, yang tak kunjung terlalui.
Meski.
Keberadaan itu hanya sementara, dan angin seperti mau bertiup kesana.

Namun tak juga termengerti, bahwa nafas yang merangkak itu sia sia, dan apa yang mau dikatakan?dan apa yang mau dilakukan?mau tertawa?lebih baik diam..lebih baik tak mengerti...lebih baik begini..lebih baik, dari pada mencarimati..

Hmmmmmmmmmmmm, Tapi...
Aku hanya anak kecil yang belajar menyalakan api pada ranting-ranting kering.
Seandaikan kelak.
Hutan rimba itu mampu terbakar.
*****

Namun angin bertiup begitu kencang
Dan hujan datang mencumbui kegalauan
Basah, namun tak menggigil
ku kejar dingin
tapi ia menghilang

Bertaruh untuk sebuah mimpi

., tiTiK KomA

aku kembali menerka-nerka .
ada yang berubah, ada yang tak lagi bergetar.
pada hujan yang tiba-tiba di dalam rumah.
aku ingin keluar, tadinya dia di sana.
di antara gelap subuh dan pohon-pohon basah.
melambai-lambaikan harapan di antara kecanggungan.

dia telah mendengar kematian yang sebentar lagi datang.
meresak serupa biola di dekat mata.
dan.
aku mulai mendengarkan apa yang ingin dia dengar.
raut mukanya suram memandang kehidupan.
namun mata itu telah menatap panjang
tak telanjang.
serupa kaki yang sedang menjejak .

sanksi, namun ia bertahan.
tak hendak pergi .
****


dan.
benar,
bisa jadi akulah tertuduh itu.
orang yang sedang sinis karena menemukan hujan itu turun didalam rumah.
Padahal sore nanti,
anak-anak katak harus belajar bernyanyi.
untuk sebuah musim yang sedang mereka nanti .
akulah orang yang terlampau cemas .
pada hujan yang kudapati hanya didalam rumah.
dan bagaimana jika kelak.
pesta itu berjalalan.
tanpa anak-anak katak yang mampu bernyanyi .

APOLOGI
atau aku memang telah keliru
mengenali waktu yang berdetak
disaat mata mulai rabun
dari sebuah kamar yang lapuk
tentang katak dan semut

Sinis-me
itu
dulu,
disebuah zaman
diantara batu dan kayu
didalam lipatan buku-buku
hadir dimataku
seperti belati
putih dan suci

SAMPAI DI MIMPI SELANJUTNYA..............!

Jumat, 22 Februari 2008

Sebuah kata untuk KU

Tidurlah dan pejamkan kedua matamu yang parau.
Malam ini kau telah mampu mengamas air mata.
Menjadi cinta atau hujan saja.
Membiarkannya mengalir dan pergi tanpa kaki,
terserak bak daun-daun yang dilupakan musim.
Namun semua terasa beda.
Saat kerapuhan tak lagi bisa.
Kau simpan atau sedekahkan.
Bahkan saat hujan yang tiba-tiba turun.
Dan mengalir didalam rumah.

22,feb,08
Meja merah

Jejak Itu Luka

Eb.32

Masih seperti biasanya, malam itu jalanan nampak padat dan merambat. Hampir tak ada beda antara siang dan malam. Mungkin itulah yang membuat pak tua yang menjadi tukang tambal ban ditepi jalan raya itu seringkali becerita tentang matilah dijalan yang lurus. Nyatanya begitulah yang terjadi, jalan lurus yang membelah ditengah kota itu hampir setiap hari terjadi kecelakaan. Matanya yang sipit dan kulit wajahnya yang kian keriput membuatnya seperti terpejam saat terbahak-bahak mentertawakan ceritanya sendiri. Beberapa orang yang sedang menambal ban ikut tertawa-tawa terbawa oleh cerita itu.
***
Sebuah malam menjelang pagi. Debu-debu mulai berterbangan menghias ruas jalan. Anak-anak sekolah, pengendara sepeda motor, kendaraan umum, mikrolet dan bus serta truk-truk berebut jalan saling mengejar waktu. Sementara dimalam hari yang seharusnya sepi hampir tak ada beda. Semua melaju berderet dan berdempet mencari cara untuk bisa sesegera mungkin mendahului. Maka tak ayal, punggung jalan raya terlihat semakin lusuh dan lunglai. Lekukan-lekukan karena tindihan beban dan lubang-lubang korosi terlihat disana-sini.
Empatbelas tahun yang lalu Tarjo masih menyaksikan deretan sepeda-sepeda kayuh menghiasi sepanjang jalan. Sementara kendaraan yang lalu-lalang terasa sepi, saat ia kembali mudik ke desanya menjelang liburan hari raya. Klakson kendaraan juga terdengar tak sekeras saat ini.
Pagi itu ia memulai perjalanan, setelah hampir lima jam berebut untuk mendapatkan keberuntungan bisa mudik dengan bus dan tempat duduk ke kampung halamannya. Sudah hampir empatbelas tahun ia tidak pernah pulang menengok orangtua dan saudara-saudaranya. Pekerjaan yang kurang menentu tidak memungkinkan ia untuk seringkali pulang kerumah mengunjungi mereka. Bahkan ketika ia mendengar saudara-saudara tuanya meninggal dunia, ia hanya bisa berdoa dari kejauhan. Mungkin dengan itu, ia akan semakin dicap sebagai saudara yang tak tahu diri. Namun begitulah kenyataanya. Ia telah siap untuk berbesar hati jika keluarga dikampung tidak bisa menerimanya dengan baik.
Bus yang ia naiki sudah penuh sesak, namun kondektur dan kenek masih terus berusaha mencari tambahan penumpang. Suara-suara sumbang menggerutu mulai terdengar dari beberapa orang yang lelah berdiri berdesakan. Mengumpat dan mencaci keadaan yang mereka alami. Aroma pengab membuat mereka mudah naik pitam. Belum lagi udara panas yang mulai mengalir disela-sela perasaan yang terpercik api amarah. Sungguh tidak manusiawi, Tapi disaat yang seperti ini pengusaha mana yang perduli kemanusiaan, karena dalam keadaan ekonomi yang serba berhimpit, arti kemanusiaan menjadi sulit untuk difahami, gumam Tarjo melepas penat.
Tiba-tiba terdengar suara mesin dinyalakan. Para penumpang merasa lega, bahkan tanpa dikomando mulut mereka serempak berucap haaaa, sebagai tanda kegembiraan karena perjalanan akan segera dimulai. Beriring dengan kegembiraan itu, klakson bus-bus yang ada dibelakangnya terdengar berteriak hebat, disertai raungan mesin yang riuh bergemuruh. Sesaat telinga-telinga yang ada didalam bus serasa diumpat oleh suara riuh yang memekakkan.
Akhirnya, bus ekonomi yang lusuh dan kusam itu perlahan mulai melaju meninggalkan lautan manusia yang membumbuhi wajahnya dengan aroma masam. Suara krenyit per dan baut yang berkarat terdengar seperti rintihan kerisauan yang menggalau. Namun begitu, para penumpang yang ada nampak mulai tersenyum. Sebuah harapan akan pertemuan dengan sanak famili tergambar lagi dalam raut wajah-wajah yang kering .
Ditengah keriuhan perasaan bahagia penumpang bus itulah Tarjo hanya diam termangu. Pandanganya menerawang tanpa batas. Angannya melambung dipucuk kegalauan. Kepulangannya kali ini tentu tanpa disertai dengan cerita bahagia. Semenjak dahulu ia adalah keturunan yang telah dianggap gagal. Berkali-kali orang tua dan saudaranya memberi bantuan agar hidupnya menjadi lebih baik. Namun bantuan-bantuan itu tidak pernah menolongnya. Justru keadaannya kian hari kian terpuruk. Banyak dari anggota keluarganya yang kecewa atas keadaannya. Sampai suatu saat ia telah dianggap benar-benar menjadi aib.
Semua keluarga telah kehilangan kepercayaan pada diri Tarjo, bahkan tidak jarang keponakannya sendiri mengumpatnya tanpa tanda hormat. Tarjo hanya bisa diam dan sabar atas itu semua. Ia tetap saja berusaha bersikap baik dan tidak memendam perasaan marah dihatinya. Apalagi saat ini, jika ia memberanikan diri pulang berkumpul dengan mereka semua, tentunya ia akan merasa semakin terasing. Kakak dan adiknya yang dapat menyelesaikan perkuliahan kini sudah bekerja pada instansi pemerintah dan adiknya yang perempuan bekerja disebuah perusahaan besar otomotif. Mereka adalah anak-anak yang berhasil membawa harum nama keluarga. Sedangkan Tarjo sendiri tidak pernah menyelesaikan perkuliahannya sampai pihak akademis mengeluarkan surat DO. Bahkan ia sendiri sudah seperti orang yang terbuang dari keluarga itu.
Pakaian sederhana, sepatu lusuh dan tas ransel yang warnanya mulai memudar melekat menjadi penghias perjalanan. Rambutnya sedikit kumal, namun matanya yang jernih membuat siapapun meresa teduh untuk memandangnya. Mata itu seperti hamparan samudera yang berombak landai, berangin spoi. Menyejukkan bagi siapapun yang memandangnya dengan kegalauan hati.
Teman-teman seangkatan Tarjo sudah banyak yang sukses. Mereka ada yang menjadi politisi, pengamat, birokrat, anggota dewan dan kontraktor. Ada juga yang memiliki LSM terkenal dan mendapatkan banyak bantuan keuangan dari luar negeri. Rata-rata mereka sudah memiliki mobil-mobil mengkilap, rumah tinggal dan disertai keberadaan istri dan anak.
Mendadak orang tua yang berambut putih dan duduk dibangku sebelah menyela diantara ketermanguan Tarjo. Nak, anda mau kemana? Tanya pak tua itu dengan sopan. Saya mau pulang ke orang tua saya pak. Baguslah, kamu masih punya orang tua. Jadi masih banyak yang bisa kamu lakukan dengan mereka. Pak Tua itu kembali terdiam. Matanya berkeliling mengamati sekitar. Sepertinya ada sesuatu yang dipendam lewat kata-kata itu.
Nak Tarjo, pak Tua itu memulai kembali pembicaraannya. Bapak ini sedari kecil sudah tidak mengenal orang tua bapak, bahkan sekedar fotonya saja bapak tidak punya. Menurut cerita, mereka semua dibawa oleh aparat pada suatu malam menjelang subuh. Kepiluan itu rasanya masih belum cukup mendera, bapak juga kehilangan satu-satunya anak yang dulu pergi berpamit untuk ikut transmigrasi, sampai sekarang tidak ada lagi kabar beritanya. Bapak sudah berusaha mencari tahu keberadaan mereka, tapi pihak pemerintah tidak pernah memberi jawaban yang pasti. Sampai-sampai bapak sekarang pasrah, dan tidak sanggup lagi kalau harus bertanya.
Tarjo dengan serius mendengarkan keluh kesah pak tua itu yang membelah keriuhan perjalanan. Berhimpit diantara derit dan raungan bus, serta gelak tawa orang-orang yang berdesak sekedar menghibur diri dari kepenatan. Ia menyadari betapa keresahan jiwa pak tua itu tidak akan dapat dibasuh hanya dengan kata-kata yang sejuk.
Sejenak pak Tua itu terdiam, keningnya nampak berkerut sedang mengingat sesuatu. Sudahlah nak, mungkin ini sudah garis nasib dari perjalanan hidup bapak. Lelaki tua itu menghela nafas panjang. Maaf pak, kalau boleh saya tahu bapak ini berasal dari mana, atau saat ini bapak juga akan mudik, Tarjo mulai bertanya. Lelaki tua itu kembali terdiam. Bapak tidak mudik nak, karena sebenarnya bapak tidak punya rumah. Saat ini bapak bekerja menjadi tukang sapu dan pembuat minuman disebuah kantor. Mereka menerima bapak hanya karena rasa kasian saja. Ditempat itulah setiap hari bapak tinggal, disebuah ruang kecil bekas gudang yang tidak dipakai diperbolehkan untuk bapak tinggali.
Tarjo terlihat mengangguk, sejenak ia memandang sosok tua tersebut dengan seksama. Lalu ia kembali bertanya. terus mengapa bapak ikut berdesak-desakan bersama orang-orang yang mudik. Seandaikan bapak bisa menjadi batu, maka bapak akan diam dan mematung disuatu tempat, jawab orang tua itu dengan tenang. Orang-orang dikantor memang tidak ada yang mengerti bahwa bapak tidak punya famili dan tempat tinggal, dan bapak tidak ingin mereka semua terbebani oleh keadaan bapak. Makanya bapak pura-pura ikut mudik. Meskipun bapak sendiri tidak mengerti mengapa harus melakukan ini.
Keduanya menjadi terdiam, langkah kondektur yang sedang menarik uang tiket berdesak diantara deretan penumpang yang berjejal. Sesekali terdengar ocehan para penumpang karena harga tiket dinaikan melebihi batas normal kenaikan. Tarjo dan pak Tua itu segera menyerahkan uangnya saat kondektur itu sampai disamping tempat duduknya. Suara deru mesin semakin keras. Laju kendaraan tua itu dipacu diantara deretan mobil-mobil dan truk-truk yang berhimpit. Sesekali badan bus terayun kekiri dan kekanan.
Tarjo dan pak Tua hampir tak menyisihkan waktu untuk memperhatikan padatnya jalanan. Mereka berdua larut dalam alur perasaan yang mendalam, dan berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Entah mengapa Tarjo hari itu bisa dengan lepas mengalirkan tumpukan kegalauannya yang sudah menggunung pada pak Tua itu. Ia memulai bercerita saat baru memasuki perguruan tinggi dan bertemu dengan kawan-kawan yang sama-sama memupuk idealismenya. Namun perjalanan telah mematahkan gagasan-gagasan besar yang pernah mereka perjuangkan bersama-sama. Kini Tarjo hanya tinggal sendiri, menunggui bangunan idealisme tersebut hingga tak satupun termakan rengat. Hari-harinya diisi dengan mengajar anak-anak jalanan dan kurang mampu, membantu masyarakat miskin dengan apa yang ia bisa. Sementara kawan-kawannya sudah sibuk menghitung upeti dan kekayaan yang mereka dapatkan didalam rumah barunya.
Pak Tua itu mengangguk. Memandang Tarjo hingga kelubuk hatinya. Ia seolah merasakan keras dan keteguhan anak muda yang ada disampingnya seperti gunung batu. Kamu sekarang menjadi miskin kan? Tiba-tiba pak Tua itu menyela. Mereka semua yang dulu pernah menjadi kawanmu, kini telah dengan sadar melupakan dirimu. Itulah hidup nak, dan disinilah bukti, bahwa kebenaran yang sesungguhnya tak pernah bisa dimengerti. Sudah banyak orang yang menjalani sesuatu tanpa harus dimengerti. Pengertian itu tidak lagi menjadi penting. Karena mereka merasa bahawa apa yang nyata dan yang mereka jalani itu lebih dari pengertian. Seperti bapak dan orang-orang yang bersama-sama mudik kali ini. Keadaan-keadaan inilah yang membuat siapapun menjadi semakin terasing. Terbawa pada suatu arus perputaran waktu. Orang sepertimu hanyalah salah satu yang mau menyangsikan kebenaran dari arus perputaran waktu itu. Saat kamu melemparkan diri dari kenyataan, mereka menganggapmu telah tersesat, aneh dan bodoh. Begitu juga dirimu saat memandang mereka semua. Seperti barisan bebek yang mengikuti arah berjalan tanpa mengerti kemana langkah berujung.
Bus itu perlahan menghentikan lajunya untuk menurunkan beberapa penumpang disebuah terminal. Namun ditempat pemberhentian itu juga sudah menunggu banyak penumpang yang hendak menuju kampung halamanya. Beberapa pengamen terlihat menelusup diantara penumpang yang sudah penat. Ocehan ringan sebagai pembuka mereka lontarkan. Sebuah lagu Ebit G Ad yang menceritakan tentang perjalanan yang menyedihkan menjadi ironi yang nyata. Telinga penumpang yang mendengar seperti ditusuk-tusuk oleh belati keresahan.
Pak Tua itu nampak tersenyum, sembari menyiapkan beberapa uang recehan ditangannya. Perlahan-lahan bus itu melaju diantara deretan penumpang yang mengantri, beriring nyanyian para pengamen yang terhimpit oleh sesaknya tubuh-tubuh kumal kaum kelas ekonomi. Perjalanan itu memang susah untuk dimengerti, pak Tua itu mengulang kembali kata-katanya. Tarjo hanya diam mengangguk, merasakan kedalaman setiap kata dari pak Tua yang hanya tukang sapu itu, meskipun Tarjo sendiri adalah orang yang sangat dikenal dikalangan para budayawan aktivis dan kaum pergerakan sebagai orang yang memiliki kedalaman pengetahuan. Namun ia lebih memilih untuk bertahan hidup dalam prinsip dan pemikirannya.
Tak berapa lama pak Tua itu berdiri. Tarjo sangat terkejut melihat hal itu. Bapak akan turun disini, ucap Tarjo terperangah. Benar, jawab pak Tua itu. Mengapa pak? Tanya Tarjo mendesak. Sedari tadi bapak sudah katakan nak Tarjo, bahwa bapak tidak memiliki tujuan, dan betapa hidup memang benar-benar susah untuk dimengerti. Seperti pilihan bapak untuk turun ditempat ini, bapak juga tidak mengerti. Tapi satu nak, yang bapak mulai mengerti, bahwa kamu adalah orang yang baik, namun kehidupan ini yang sedang membangun nilai, dan dirimu ada disebuah persimpangan. Tarjo terperangah dengan kata-kata yang menyindir itu.
Orang muda yang gelisah itu hanya bisa diam memandangi pak Tua yang menyodorkan tangan kepadanya sebagai tanda perpisahan. Sampai ketemu suatu saat, ucap pak Tua itu. Ia lalu melangkah dengan pasti menuju pintu depan. Sopir bus perlahan mengurangi kecepatan. Pak Tua itu segera turun dan melambaikan tangannya kepada Tarjo. Lelaki itu mengulum senyuman yang sejuk disudut bibirnya yang keriput.
Deru raungan mesin bus terdengar semakin berat saat memulai perjalanan. Pak tua itu pun menghilang dibelakang bus yang perlahan meninggalkannya. Tarjo merasa kehilangan orang yang baru saja menjadi teman berbagi keresahannya. Mungkin pak Tua itu juga merasakan hal yang sama, kehilangan teman untuk membantu merajam perasaannya.
Bus tua itu tetap melaju. Suara klakson berkali-kali terdengar memekakkan telinga. Kenek bus yang berada dipintu depan sebelah kiri seringkali mengumpat para pengguna jalan karena dipenuhi iring-iringan sepeda motor yang menyemut. Ia juga tidak pernah menyadari bahwa uang yang ia dapatkan tak sebanding dengan umpatan yang terus-menerus ia lontarkan. Beginilah hidup dalam dunia yang serba berhimpit, gumam Tarjo dalam hati.
Seorang perempuan setengah baya segera mengambil tempat duduk yang ditinggalkan pak Tua. Bau keringat yang menyengat dari tubuh perempuan itu membuat hidung Tarjo seperti tertusuk-tusuk. Ia segera menggeser kaca lebih luas agar udara yang masuk bisa mengurangi bau keringat yang terus menggelayuti hidungnya. Belum selesai ia mendorong kaca itu kedepan, tiba-tiba penumpang yang berada didepan menjerit histeris. Sontak semua penumpang dibuatnya panik, apalagi setelah tubuh mereka mendadak terayun-ayun karena bus yang ditumpanginya oleng dalam kecepatan yang tinggi. Sebuah ledakan keras terdengar dari arah kanan depan. Asap dengan cepat mengepul diringi sekali lagi suara benturan yang sangat keras. Bus tua itupun terguling berkali-kali dan terpental hingga keluar jalan.
Orang-orang yang kebetulan berada disekitar segera berhamburan keluar menyaksikan kejadian tragis yang hanya berjalan sekian detik itu. Sebuah bus tua yang melaju dengan kecepatan tinggi mengalami kecelakaan dan menghantam beberapa truk serta pengendara motor yang kebetulan berada tepat disaat bus itu oleng mengalami pecah ban. Orang-orang itu berlari mendekati ke arah badan bus yang terguling dengan posisi terbalik.
Asap mulai mengepul. Beberapa orang yang melihat percikan api segera berteriak untuk mengambil air dan apa saja yang bisa digunakan untuk memadamkannya. Kebetulan disamping tempat bus itu terguling terdapat jalur irigasi pesawahan yang airnya sedang menggenang. Orang-orang itu segera bahu-membahu mematikan sumber api yang hampir membakar bus tua itu.
Jalanan mendadak macet, karena terhalang oleh badan truk yang mencoba menghindar dari hantaman bus. Enam orang pengendara sepeda motor tergeletak dibadan jalan dengan kondisi yang mengenaskan. Tubuhnya terlindas bus saat badan bus itu terguling beberapa kali. Diantaranya terdapat seorang anak balita yang tubuhnya tergencet hingga organ bagian dalamnya terburai dijalan aspal yang legam.
Dengan cepat orang-orang sekitar menutupi mayat-mayat itu dengan lembaran-lembaran koran dan tikar yang mereka dapati disekitar lokasi. Polisi yang mendengar kabar kecelakaan segera menuju ke lokasi disertai aparat medis. Sementara beberapa rintih dan jerit kesakitan terdengar dari dalam bus. Mereka masih hidup, ada yang masih hidup. Orang-orang itu berteriak-teriak sambil mencari tahu keadaan korban yang berada didalam bus yang penuh sesak oleh penumpang.
Polisi dan tim medis yang agak terlambat datang segera bekerja dibantu para warga. Satu-persatu korban yang berada didalam bus dikeluarkan. Itupun setelah badan bus yang terbalik bisa didirikan kembali. Terhitung delapanpuluh tiga orang penumpang dalam kondisi yang mengenaskan. Beberapa wartawan segera meluncur untuk mengabadikan tragedi tersebut menjadi berita esok pagi. Sementara reporter televisi dengan cepat mengambil gambar dan melaporkan kejadian itu secara langsung, ditengah-tengah polisi dan para medis bekerja dibantu oleh orang-orang sekitar yang memberikan pertolongan pada para korban.
Mereka yang mengalami luka-luka dan masih dalam keadaan hidup diketahui berjumlah tigapuluh sembilan orang, segera dilarikan kerumah sakit terdekat. Sementara empatpuluh-empat korban dinyatakan tewas meninggal ditempat kejadian. Korban meninggal itu segera diidentifikasi dari tanda pengenalnya dan dibawa kerumah sakit untuk selanjutnya diberitahukan pada pihak keluarga. Tarjo, adalah salah satu korban diantara empatpuluh empat korban meninggal lainnya. Dalam tanda pengenalnya ia berasal dari kota surabaya. Polisi segera menghubungi kepolisian surabaya untuk memberitahukan kepada keluarga Tarjo bahwa anggota keluarganya yang bernama Tarjo menjadi korban kecelakaan bus naas tersebut.
Polisi setempat mencari alamat dimana Tarjo tinggal. Sebuah rumah kecil diperkampungan kumuh dan padat itulah Tarjo tinggal. Beberapa orang nampak menyambut kedatangan polisi itu dengan tatapan sanksi. Namun mereka segera mempersilahkan polisi itu masuk. Dengan perlahan, polisi itu mengabarkan pada mereka bahwa Tarjo menjadi korban kecelakaan bus dan meninggal dunia ditempat kejadian. Jasadnya kini berada di sebuah rumah sakit umum daerah di Nganjuk.
Kabar itu terdengar seperti gemuruh merapi yang menyemburkan lahar. Dengan cepat orang-orang kampung yang mendengar mas Tarjo mati spontan menjadi seperti kesetanan. Orang-orang itu tak pernah percaya bahwa mas Tarjo mati karena kecelakaan. Sosok muda yang bersahaja dan sangat dekat dengan orang-orang susah itu berpulang dengan keadaan yang mengenaskan. Kabar kematian tragis mas Tarjo segera tersiar kemana-mana.
Beberapa orang yang mengenal mas Tarjo segera berdatangan menuju perkampungan tersebut. Belasan mobil berparkir disisi-sisi gang sempit. Sementara pemiliknya yang mengenal dengan baik mas Tarjo segera berlari kecil menuju ke sebuah rumah kontrakan kecil yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Setelah mereka semua berkumpul, digelarlah rapat kecil untuk bersama-sama mengambil jenazah mas Tarjo. Namun beberapa diantaranya mengusulkan untuk langsung diantarkan kerumah duka didaerah Ngawi. Karena mas Tarjo pernah memberitahukan alamat asalnya dari sebuah desa didaerah Ngawi, meskipun sudah duabelas tahun mas Tarjo tidak berkunjung kesana karena tidak diterima oleh keluarganya, cerita salah seorang tetangga dekat rumah kontrakan mas Tarjo tersebut.
Rapat kecil itu segera memutuskan untuk mengambil jenazah dan mengantarkan langsung kerumah duka. Beberapa orang yang msih menyimpan alamat kampung mas Tarjo segera bergegas mengambil kerumah masing-masing. Mereka semua sepakat dan segera berangkat menuju kerumah sakit umum yang berada di daerah Nganjuk. Belasan mobil entah dari mana asalnya melaju menyemut menyusuri jalanan yang padat. Mas Tarjo adalah sosok yang memiliki jasa besar bagi banyak orang khususnya bagi orang-orang kampung itu. Ia sudah menjadi denyut nadi dan sanubari sekian banyak orang. Sehingga kabar kematiannya menjadi berita yang sangat menghenyakkan hati mereka.
Sementara disebuah desa kecil yang berada dikaki gunung lawu suasananya nampak mulai semarak oleh anggota keluarga mereka yang berangsur-angsur mudik dari kota. Hiasan-hisan jalanan dan lampu-lampu penerangan rumah mulai ditambah. Gelak tawa ceria terdengar dari sudut rumah-rumah yang sanak-saudaranya datang berkunjung. Begitu juga dirumah keluarga mas Tarjo. Orang tuanya nampak bahagia menimang-nimang cucu-cucu mereka yang mulai tumbuh besar dan lucu-lucu. Dua buah mobil terparkir dihalaman rumah, sedan itu adalah milik kakak dan adiknya yang kini sukses menjadi orang kaya dan menjadi kebanggan keluarga. Saudara-saudara dari keluarga yang lain nampak ikut berkumpul dirumah yang kini sudah dipugar menjadi lebih luas. Lantai marmer dan tembok yang dilapisi keramik memberi kesan mewah untuk sebuah rumah yang berdiri dipedesaan pinggiran. Sebuah televisi besar lengkap dengan DVD player terpampang disana. Lemari es yang jarang ada dikampung itu juga tersedia dengan ukuran dua pintu berdiri disudut ruangan.
Keluarga itu tidak pernah lagi membicarakan tentang Tarjo. Nama Tarjo seolah telah menjadi aib besar dalam keluarga. Ditahun-tahun sebelumnya jika keluarga itu berkumpul, sesekali masih mendengar sebutan Tarjo, namun mereka semua cepat-cepat menertawakan dengan terbahak-bahak. Hanya Narti yang bisu dan neneknya saja yang terlihat seperti memendam luka, meski perasaan itu tidak pernah mereka tampakkan. Narti dan Neneknya seperti mengerti betul tentang Tarjo, namun mereka memilih untuk berdiam dan tidak membicarakannya.
Diujung kampung beberapa orang yang sedang duduk-duduk disebuah garsu pinggir jalan, dikejutkan oleh rombongan belasan mobil yang menyemut menyusuri pesawahan menuju kearahnya. Didepan terlihat sebuah mobil putih yang diatasnya ada lampu yang dinyalakan berputar-putar. Itu ambulan, kata seorang anak yang sedang ikut menyaksikan rombongan mobil-mobil itu.
Pelan-pelan deretan mobil yang menyemut itu mendekati batas desa. Mereka berhenti sejenak untuk bertanya pada penduduk yang nampak termangu menyaksikan sesuatu yang jarang terjadi. Seseorang keluar dari ambulan. Permisi pak, apa disini ada warga yang bernama mas Tarjo.
Orang-orang itu terdiam sesaat.
Tarjo....jawab seorang yang memegang kepala dan mengerutkan jidatnya. Ohh...ada mas, Tarjo itu anak pak Sodikun adiknya Gunardi yang punya mobil sedan itu.
Iya mas, ada.
Ee..maaf, apa bapak bisa mengantarkan kami kerumahnya.
Ohh...iya mas, tidak apa-apa. Mari mas, kami antarkan.
Beberapa orang desa itu segera menyalakan motornya dan menyusuri jalan kampung yang berdebu. Mereka belum mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi dan mengapa rombongan itu mencari rumah pak Sodikun. Tiba didepan rumah pak Sodikun orang-orang yang berkumpul didalam rumah sontak terkejut, melihat belasan iring-iringan mobil yang berdatangan. Mata mereka semakin terbelalak ketika sebuah ambulan memasuki halaman. Segera tim medis membuka pintu belakang. Beberapa rombongan yang lainnya menemui orang tua mas Tarjo dan mengabarkan tentang kematian mas Tarjo. Sebuah peti mati mereka angkat memasuki rumah yang kini telah banyak berubah.
Keluarga itu hampir tak percaya dengan apa yang terjadi. Mereka nampak kebingungan menerima keadaan yang tak pernah terbayangkan sebalumnya. Semua tawa dan cerita akan kebanggaan atas anak-anaknya yang sukses serentak terkubur. Seorang anak laki-lakinya kini terbujur kaku dalam peti mati. Padahal baru saja petang itu mereka mentertawakannya. Sementara orang-orang yang tidak pernah mereka kenal terus berdatangan memberi bela sungkawa. Mobil-mobil mewah memadati jalan desa itu hingga pagi datang menjelang. Penguburanpun dilaksanakan dengan upacara kecil. Beberapa pejabat penting, mahasiswa, akademisi, politisi, dan beberapa pengusaha yang berempati kepada mas Tarjo hadir dan memberikan sambutan sebelum jenazah diberangkatkan. Orang-orang kampung dimana mas Tarjo tinggal juga memberikan sepatah kata perpisahan.
Semua menceritakan perjalanan mas Tarjo dengan sangat baik. Memori yang mengendap disanubari orang-orang yang memberi sambutan telah menghantarkan isak tangis mereka tanpa bisa dibendung. Anak-anak kecil yang selama ini dididik dan dibesarkan oleh mas Tarjo sontak menangis histeris dan memeluk peti mati yang ada didepannya. Mereka berteriak-teriak tak rela atas kematian mas Tarjo.
Keluarga mas Tarjo sendiri semakin bingun bercampur sedih melihat kenyataan didepannya. Mereka semakin tak mengerti apa yang telah mereka lakukan selama ini pada Tarjo, seorang anak yang telah dengan sadar mereka buang. Apalagi orang-orang desanya yang selama ini hanya mendengar cerita tentang Tarjo dari keluarganya. Mereka kini larut dalam tangis kebisuan.
Hanya Narti dan neneknya sedari tadi duduk disudut ruangan justru menguntai senyum bahagia dan bangga dibibirnya. Nenek tua itu berujar pada Narti yang bisu, semua telah ia tebus, lihat yang benar dan baik itu kini telah mereka mengerti, meskipun harus dilaluinya dengan jejak yang penuh luka. Lalu nenek tua itu terdiam. Sorot matanya menatap tajam peti mati yang berada didepannya. Dari arah belakang juga terdapat sepasang mata lelaki tua berambut putih yang berdiri diantara kerumunan. Lelaki tua itu terlihat mengulum senyuman yang sejuk disudut bibirnya yang keriput. Seperti senyum perpisahan yang ia sungging dipertemuan sebelumnya.
Dan beberapa wartawan pagi itu ikut mengabadikan prosesi pemakaman yang amat sederhana itu.


Tak terlalu berharap
13/09/07 00.22
Kediri

Semar Gugat

Eb.32

Alam murka, hutan terbakar, hujan dan banjir melanda dimana-mana, petir menyambar-nyambar, angin puting beliung mengamuk tiada henti. Gunung-gunung meletus, bumi memuntahkan cairan panas kental berwarna hitam legam. Manusia berlarian kesana-kemari mencari selamat. Mereka dibuat bingung dan gelisah hampir tak ada yang sempat memikirkan orang lain. Sementara saat kemarau air menghilang, tanah-tanah mengering, tanaman menjadi layu dan mati. Hewan dan manusia banyak yang sakit dan kelaparan. Udara panas karena polusi. Itulah buah yang harus dipetik sebagai hasil dari perbuatannya sendiri.
Sekelumit gambaran diatas adalah kenyataan kehidupan manusia saat ini. Alam dipaksa dan ditundukkan tanpa memperhatikan kelestariannya. Semua yang ada diambil dan dikuras untuk memenuhi kerakusan manusia yang berujung pada murkanya alam. Ngunduh Wohing Pakarti, itulah kolo bendu yang harus ditanggung karena manusia mau dan rela menjalani Jaman Edan. Semua alur kehidupan tergerus dalam Jaman edan, manusia edan, dewa-dewa edan dan seluruh lakon kehidupan juga sama-sama edan, semua tokoh wayang dalam kotak ikut terseret dalam krisis besar kehidupan yang dapat difahami dengan istilah KRISIS KEBUDAYAAN, sebagaimana contoh; Narodo yang ikut larut dan menyusup dalam tubuh Kanekojati. Tak mau kalah dalam menyemarakan jaman edan, Dosomuko ikut menyusup pila pada tubuh Ontorejo. Maka kehidupan menjadi kacau balau, karena semuanya larut dalam prahara. Dewa-dewa menyusup pada manusia dan ikut mendorong lahirnya pertempuran dan penghancuran tatanan kehidupan. Inilah yang menjadi awal cerita tentang “Semar Gugat”. Gugat karena tinggal Kresno, Wisanggeni dan Semar sendiri yang dapat bertahan dari arus krisis kehidupan dan menjadi kekuatan Tri Tunggal yang berusaha untuk menata kembali kehidupan.
Adalah sebuah kisah tentang krisis yang terjadi di kerajaan Amarta, karena raja Puntodewo yang bertahta dan memegang titah kurang memperhatikan jalannya roda pemerintahan dengan baik, dan justru terdengar kabar bahwa Prabu Puntodewo hendak menyatukan kerajaan Amarta dengan kerajaan Astina yang dipimpin oleh Prabu Duryudono. Mendengar kabar tersebut maka Prabu kresna mengadakan pertemuan agung yang diikuti oleh Bolodewo, Setyaki, Sombo, Udowo untuk membahas persoalan krisis yang terjadi di kerajaan Amarta. Pada saat pertemuan digelar, ditengah-tengah pembicaraan munculah Ontorejo yang mengadu kepada Prabu Kresna tentang sikap Puntodewo yang tidak lagi memikirkan masa depan masyarakat dan pemudanya. Ontorejo berbicara dengan nada marah dan menyalahkan Prabu Kresna karena dianggap sebagai sesepuh dan penuntun yang tidak dapat mengendalikan sikap dan perilaku Prabu Puntodewo. Ontorejo yang wajahnya nampak merah padam itu sebenarnya telah disusupi oleh Dosomuko.
Mendengar kemarahan Ontorejo, maka Baladewa tidak dapat membendung amarahnya. Ontorejo sudah dianggap kurang ajar dan tidak punya tata karma. Terjadilah perang mulut yang sengit. Ontorejo diseret keluar oleh Bolodewo. Keadaan semakin memanas. Disaat perang tanding hampir dimulai, muncullah Semar melerai pertengkaran tersebut. Lalu Semar mengingatkan pada Prabu Kresno untuk melihat keadaan semakin rusaknya kerajaan Amarta. Semar menyindir pada Prabu Kresna sebagai dewa ketentraman dan Puntodewo sebagai dewa kebahagiaan tidak berbuat apa-apa ketika melihat para pemuda dan masyarakat semakin kacau balau dalam terpaan krisis yang semakin besar. Semar menyerahkan persoalan besar tersebut pada Prabu Kresno untuk dapat menarik kembali pendowo agar tidak berkumpul dan menyatu dengan kurawa di Astina. Sementara Semar akan segera naik ke kahyangan karena ia merasakan ada keganjilan di kadewatan yang menjadi sebab atas berbagai persolan yang terjadi di Amarta. Ia merasa ada pandito yang bernama Sabdo Dewo yang ternyata telah disusupi oleh Batara Guru.

Kerajaan Ombak Samudera
Prabu Kanekojati bersama-sama dengan Togok dan Bilung berada dalam suatu pembicaraan. Prabu Kanekojati yang didalam dirinya telah disusupi oleh Narodo mengutarakan niatnya yang memiliki keinginan yang kuat untuk menjajah tanah JAWA. Maka dari itu prabu Kanekojati dari awal sudah menyiapkan siasat dengan jalan mengutus begawan Sabdo Dewo untuk menyatu dengan Astina. Bagi Prabu Kanekojati, tanah Jawa adalah tanah yang dikaruniahi dengan kekayaan alam yang maha melimpah. Masyarakatnya hidup dalam suasana tentram dan damai. tradisi dan kebudayaan yang adi luhung membuat masyarakat yang hidup ditanah Jawa memiliki pengetahuan yang tinggi serta budi pekerti yang luhur. Tanah Jawa adalah tanah yang didalamnya terbangun peradaban yang maju, terutama dibidang kesusastraan, pertanian, ketataprajaan, keprajuritan, seni budaya dan lain sebagainya. Tanah Jawa juga dikenal dengan kedalaman cipta, rasa dan karsa yang mewujud berupa ketinggian dan keluasan akal budi, kedalaman spiritual dan ke adi luhungan seni budayanya. Namun hasrat untuk menjajah tanag Jawa itu mendapat nasehat dari Togog dan Bilung agar tidak dilanjutkan. Mereka berdua mengharap agar Prabu Kanekajati mengurungkan niatnya. Namun Prabu Kanekojati tidak menggubris nasihat tersebut, bahkan ia segera menyiapkan pasukannya untuk menyerang tanah Jawa. Ditengah perjalanan pasukan mereka bertemu dengan prajurit Dorowati yang diikuti oleh putera-putera Pandawa seperti Gatutkoco, Wisanggeni, Ontoseno dan lain-lain. Terjadilah pertempuran yang sangat hebat.

Werkudoro dan Nogo Gini
Nogo Gini memendam amarahnya pada Werkudoro karena sebagai istri ia sangat jarang diperhatikan. Namun Werkudoro selalu berkilah jikalau ia dianggap tidak memperhatikan Nogo Gini. Karena sangat kesal pembicaraan yang membahas tentang biduk keluarga mereka sedikit memanas. Nogo Gini mengungkit bahwa Werkudoro tidak sayang dan memperhatikan keluarga dengan baik. Ini terbukti dengan diamnya Werkudoro padahal anaknya sendiri Ontorejo dihajar dan dijadikan bulan-bulanan oleh Bolodewo. Akhirnya beranglah hati Werkudoro mendengar kalau anaknya dihajar oleh Bolodewo. Ia segera berangkat menacari Bolodewo. Pertempuran sengit tak bisa dihindarkan. Namun belum sempat jatuh korban segera Prabu Kresno melerai pertempuran diantara mereka. Segera Prabu Kresno mendatangkan Hanoman yang memiliki aji pengkabaran untuk melihat kedalam diri Ontorejo yang ternyata sudah disusupi oleh Dosomuko. Maka wajar bila

sikap Ontorejo menjadi sangat kasar pada Prabu Kresno dalam pertemuan agung. Hanoman segera mengeluarkan Dasamuka dari diri Ontorejo. Prabu Kresno memberikan wejangan bahwa pemuda-pemuda harus memiliki pengetahuan dan membangun dirinya dengan pengetahuan agar hidupnya menjadi lebih baik. Karena jika para pemuda tidak memiliki konsep dan aktivitas yang jelas, maka akan sangat gampang dirinya disusupi oleh Dosomuko sebagai simbul ganasnya penyusupan kebudayaan asing ditengah-tengah kita. Prabu Kresna juga menyampaikan pada Werkudoro dan Bolodewo bahwa ia sedang mencari siapa yang mampu menandingi kesaktian Sabdo Dewo dan Kanekojati. Bahkan Prabu Kresna mencarinya hingga ke kahyangan.

Pertapaan Sapto Argo
Begawan Abiyoso menerima kedatanag Abimanyu yang diiringi oleh Gareng, Petruk, Bagong. Disana mereka diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus diemban sebagai kesatria. Begawan Abiyasa memberikan lima prinsip dasar yang harus dilaksanakan seorang kesatria; Pertama; Rumekso Kayuwaning Projo. Kedua; Ngayomi Poro Pandito Resi. Ketiga; Tresno Marang Bongso lan Welas-Asih Marang Sapodo-Padaning Tumitah. Keempat; Setyo Tuhu Marang Janji Sarto Nuhoni Marang Sabdo Kang Wus Kawedar. Kelima; Tunduk Marang Bebener Kang Adedasar Adil. Serta lima hal yang harus dimiliki oleh seorang kesatria; Satu; Guno, Dua; Sudiro, Tiga; Susilo, Empat; Anurogo, dan Lima; Sambirogo.
Setelah mendapatkan wejangan dari bagawan Abiyoso, Abimanyu diminta untuk segera berangkat mencari begawan Pamintosih (perwujudan dari Semar) yang sedang laku “Topo ngrame”artinya bertirakat dikeramaian. Diperjalanan, Abimanyu dihadang bala tentara Ombak Samudera dan terjadilah perang kembang. Pertempuran yang hebat itu dimenangkan oleh Abimanyu.

Pertapaan Condro Wulan
Begawan Kanesworo Yekso dan Putri Dewi Kanesworo Wati ingin mencari ketenangan dan ketentraman batin, namun jalan ketenangan itu terganggu karena ia tergila-gila pada Janoko. Akhirnya Kanesworo Wati berangkat menuju Amarta. Diperjalanan bertemu dengan Abimanyu dan terjadilah perang yang sangat hebat. Karena kesaktiannya Abimanyu terpenatal hanya dengan bentakan saja. Tubuhnya terlempar sangat jauh hingga jatuh dipangkuan begawan Pamintosih (Semar).
Di Astina pura juga sedang terjadi pembicaraan serius. Duryudono, Puntodewo, Janoko, Nakulo dan Sadewo, berkumpul dengan Begawan Sapto Dewo membicarakan gagalnya perang barotoyudho. Perang itu akan gagal dengan cara membunuh Semar. Janoko menyanggupi menjalankan misi tersebut. Lalu Janoko mencari Semar untuk dibunuh, namun tidak disadari bahwa dibalik itu begawan Sapto Dewo ikut bermain dan mendorong Janoko secara halus.
Diperjalanan Janoko bertemu dengan Kanesworo Yekso, terlibatlah perang tanding hingga Janoko tak mampu meladeni kesaktiannya. Tubuh Janoko terpental sangat jauh dan terjatuh dipangkuan begawan “Pamintosih” yang sesungguhnya adalah Semar. Janoko akhirnya bertemu dengan Abimanya. Mereka tidak mengetahui bahwa begawan Pamintosih itu adalah Semar. Janoko dan Abimanyi meminta pertolongan pada begawan Pamintosih agar mereka bisa mengalahkan Sabdo Dewo. Terjadilah perang antara Pamintosih dengan Kanesworo Yekso. Pertempuran tersebut sampai merubah Pamintosih ke wujud asal sebagai Semar dan Kanesworo Yekso sebagai Betari Kanestren yang tidak lain adalah istri semar sendiri. Lalu kanesworo Wati disabda oleh Semar dan kembali ke wujud awal yakni menjadi Sumpingnya Puntadewa.
Terjadilah perang alang-alang kumitir yang melibatkan Kresna, Wisanggeni dan Semar. Mereka bertiga berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negaranya yang sedang dilanda krisis disegala bidang. Semar mengatakan pada Kresna dan Wisanggeni untuk memetik hikmah dari semua kejadian ini. Sebab ada kalanya dijaman edan ini dewa-dewa juga sama-sama ikut edan. Orang yang sadar dan ingat tiba-tiba ikut hanyut pada keadaan. “Sing iling dadi gendeng sing gendeng dadi eling”. Inilah dinamika kehidupan dijaman yang serba gila ini. Semar terus bertutur pada Kresna dan Wisanggeni untuk meneguhkan mereka menjadi Tri tunggal yang dapat bersama-sama menata kembali kehidupan. Disertai Kresna dan Wisanggeni inilah Semar melakukan Gugat pada kehidupan dan mengadu pada Sang Hyang Wenang Tuhan Yang Maha Kuasa.

Demikian sekelumit pengantar cerita yang saya sajikan untuk pementasan Ringgit Purwa bersama ki dalang Minto Darsono
Eb,32

Kamis, 21 Februari 2008

Arah Yang Tersamar

Aku menghilang dibalik lorong kabut
Tersesat diantara bilik waktu
Seandaikan malam memang gelap
Mengapa engkau tersamar begitu jelas
Bukan karena bayangan
Atau pendar cahaya
Tapi sebuah perasaan

Jumat, 08 Februari 2008

TOGEL "R"

(Tombo Gelone Rakyat) eb.32

Malam itu kami singgah sesaat disebuah warung yang berada diperbatasan desa Tanggunggunung. Ada beberapa orang yang sedari tadi nampak berbincang-bincang sambil menikmati kopi cete, sajian khas didaerah itu. Asap rokok memadati ruangan, sementara riuh rendah tawa terdengar saat kakiku melangkah menuju warung, setelah memarkir mobilku diseberang jalan. Sugeng dalu bapak-bapak, ucapku mencoba ramah. Monggo, silahkan nak mas, mereka serentak menjawab. Beberapa orang segera bergeser merapat memberikan tempat duduk untukku.
Seorang gadis cantik yang menjadi penjaga warung kopi itu segera menghampiriku dengan ramah; mas minumnya apa? Aku terdiam sesaat dan berfikir. Saya minum kopi jahe saja. Kemudian dua temanku yang lain meminta kopi susu dan kopi hitam. Gadis cantik itu segera beranjak dari tempatnya berdiri dengan menyisakan sunggingan senyuman disela bibirnya yang menawan.
Pembicaraan kembali ramai. Sesaat aku mencoba beradaptasi dan mendengarkan apa saja yang sedang mereka perdebatkan. Pelan-pelan aku mulai mengerti. Orang-orang kampung itu ternyata sedang membicarakan tentang cerita yang berkembang dari zaman ke zaman. Orang-orang itu membanding-bandingkan keadaan hidupnya mulai zaman Bung Karno hingga Zaman Andi Malarangeng. Lidah mereka agak sulit melafalkan nama yang kedua itu, karena lidah mereka adalah lidah desa yang sederhana.
Suasana warung terasa begitu hidup. Banyak pikiran unik yang muncul dari guyonan kampung yang selalu dianggap pinggiran itu. Aku merasa betah duduk mendengarkan pembicaraan mereka yang semakin lama semakin seru. Kesederhanaan tutur dan keluguan mereka menjadi pengetahuan yang jauh lebih berharga dibanding waktu aku belajar sekian teori diperkuliahanku. Aku mengangguk-angguk saja saat mereka menyampaikan pikiran-pikirannya nylenehnya kepadaku. Aku berusaha untuk tidak merubah keluguan tutur mereka dengan pandanganku yang mungkin akan sangat berbeda.
Sekarang itu susah mas, kata seorang bernama Tumikun yang tiba-tiba memandangku. Dulu, setiap dikampung kami ada selamatan kelahiran anak, tradisinya semalam suntuk tidak tidur. Kami ini punya kebiasaan main kartu pakai duit kecil-kecilan. Lha duitnya itu tidak kami bawa pulang, tetapi disumbangkan kepada yang punya hajat. Maksudnya main kartu itu ya main saja, biar semalaman kami tidak bengong. Kalau bengong bisa kerasukan setan mas. Eee...sekarang malah dianggap sebagai judi. Belum kalau kami ditangkap, taruhannya kalau dihitung tidak sampek duaratus ribu, tetapai ngurusnya di aparat bisa habis jutaan mas. Aku haya termangu mendengarkan cerita pak Tukimun. Padahal mas, kalau bicara judi, mata kami itu menyaksikan sendiri, kalau aparat itu banyak terlibat didalamnya. Kalau nggak gitu, mana ada aparat yang rumahnya bagus-bagus. Haa...haaa...haa, semua tertawa nyaring. Benar Mun, mereka kan butuh setoran, sekarang kan sedikit malu kalau jadi pak ogah dijalanan, sahut seorang lainnya yang berada dipojok warung yang ternyata adalah bekas sopir truk. Mantri hutan yang ada didesaku itu Mun sekarang kaya raya, semenjak penjarahan hutan zaman reformasi Mun. Padahal setahuku, sejarahnya mantri hutan sejak zaman sepur lempung, sampai sepur besi yang sering naas, hidupnya selalu pas-pasan. Nah...berarti itu namanya pagar makan tanaman. Iya kan Mun. Kata-kata mantan sopir itu disambut gelak tawa diantara mereka. Aku sendiri sampai tak kuasa menahan perasaanku. Akhirnya tawaku juga ikut meledak.
Sejenak suasana menjadi tenang. Tiba-tiba salah satu dari mereka menyela, Mun, kamu pilihan kepala desa kemarin dari Rusman dapet berapa? Ha..ha...ha..., mendadak semua tertawa terpingkal-pingkal. Belum lagi Tukimun menjawab, Parno mendahului; walah, Tukumun itu dapat duit dari semua calon. Rusman dapet, Hartono dapet, terus dari bu Ismiati dapet. Pokonya idiologinya Tukimun itu sabet sana sabet sini pak Jo, yang penting dapet . Tawa mereka meledak lagi. Lalu Tukimun menjawab dengan santai, hanya orang pikun dan sakit ingatan yang menolak kedatangan rezeki. Bener Mun sahut pak Matal. Ni, Marni, Tukimun tiba-tiba memanggil Marni. Kamu keseni sebentar. Ehh...aku nanya sama kamu. Iya pak Mun, jawab Marni dengan lembut. Ini Mar, kalau orang beli wedang kopi, bayarnya masih pakek uang kan?. Ya pasti to pak de, jawab Marni mendadak ketus. Waras kamu Mar, itu dengar pakai pantatmu Noooo...Parno. Ha..ha..ha.., rasain Noo...Parno, kena kamu sekarang, cletuk Bagio.
Sebenarnya kasihan ya Mun, kang Rusman yang jadi kepala desa itu kabarnya habis seratus duapuluh juta, sementara bengkok sawah untuk kepala desa kalau digadaikan selama lima tahun, paling-paling lakunya cuma seratus juta. Jadinya kan tekor alias rugi. Kata Karyo. Makanya, siapa suruh jadi kepala desa, jawab Katenan, sambil bercanda. Lalu ia menambahi ucapannya, sebentar lagi akan ada pilihan bupati dan gubernur. Ini modalnya pasti lebih gede, kira-kira suaramu harganya berapa Mun. Mereka semua nampak serius menunggu Jawaban Tukimun. Kita ini kan tidak minta uang to kang. Tapi mereka yang mengajari kita seperti ini. Setelah kita ketagihan, mereka kini yang bingung. Ya sudah, karena kita sudah terlalu lama mereka bikin bingung, ya kini gantian kita yang membuat mereka bingung. Ha..ha...ha..., tawa mereka meledak kembali untuk kesekian kalinya.
***
Gadis penjaga warung itu datang membawakan pesanan minuman untuk kami. Senyumnya yang manis sesaat menjebak mataku untuk memandangnya. Pak Tukijo tiba-tiba menyela, lha bener to, Marni ini kalau ada orang muda ngganteng sikapnya jadi lebih ramah. Tapi kalau kami yang datang, heee, apalagi senyum. Ngasih kopi saja sambil balik badan. Lha iya to pak Jo, mereka kan masih muda, ganteng lagi, ya jelas klop dengan selera. Jawab Marni dengan tenang. Di daerah ini memang terkenal dengan warung kopi yang pelayannya gadis-gadis muda yang sikapnya ramah.
Sesaat pembicaraan terpotong. Marni segera duduk menemani kami dan terlibat dalam gurauan kecil. Lalu mas Kasan yang masih muda menyela diantara pembicaraan kami. Pak Yo, sekarang ini kan sudah zamannya, jadi kalau ada yang kasih duit, ya terima saja. Toh mereka nantinya juga mencari untung setelah jadi pejabat. Bedanya cuman, kalau kita dapet untung tetep aman, kalau mereka ketahuan jadi bulan-bulanan aparat. Karyo segera menyambung ucapan kasan. Ya jelas kan San, panggilan untuk Kasan, kita ini adalah rakyat. Undang-undang kita telah menyebutkan bahwa kedaulatan ditangan rakyat, makanya kalau pejabat nyuri duit, kalau ketahuan pasti dihukum. Tapi kalau dibagikan ke kita, kamu tetep aman, kita kan rakyat San.... Gelak tawa mengiringi ucapan Karyo.
Tepat Yo, ini sudah zaman edan, kalau tidak ikut edan ya nggak kebagian. Makanya bener, kita ini sudah memasuki era demokrasi, demokrasi itu artinya bagi-bagi, buktinya, kamu saja punya kaos partai yang kamu simpan dirumahmu itu jumlahnya ada enam belas partai, iya kan? Ledek Kasan. Haa..haa...haa, mereka kembali tertawa.
***
Diluar nampak ada sepeda motor datang, orang-orang sejenak memperhatikan siapa gerangan. Seorang lelaki bertubuh tegap memakai baju hitam. Rambutnya nampak klimis. Walah-walah, itu kan si Wawan, blandong kayu. Hee Wan, panggil pak Jo, sini, masuk kedalam, kumpul sama kere-kere ini, biar panjang umur. Wawan segera masuk. Bener pak Jo. Kalau orang jarang kumpul sama para kere, umur dan nasibnya jadi pendek-pendek. Kayak pejabat-pejabat itu. Mereka terjungka gara-gara jauh sama kere-kere ini kan, kata Wawan sambil meledek pak Jo. Wan, tanya Tukimun, gara-gara kamu nyuri kayu dihutan, kami sekarang yang kebagian tanahnya. Terimakasih ya Wan, kamu itu sesungguhnya harus disebut pahlawan lho. Pahlawan blandong kayu, gelarmu Wawan B.K. Ha...Ha..Ha. Tapi Wan Tukimun tetaplah Tukimun, ahli politik kampung yang tidak pernah mleset, ungkap Karyo. Contohnya apa mas Karyo, tanya Wawan ingin tahu. Lha itu, kerja sama penanaman hutan itu. Tukimun ini kan cerdas. Kalau membiarkan kayu tumbuh, ya enam tahun saja tanah itu kan sudah tidak dapat ditanami tanaman pangan oleh Tukimun, dan dia harus menunggu sekian tahun lagi untuk mendapat bagian dari hasil penebangan. Waktunya lama banget. Makanya, pohon yang barusaja tumbuh, oleh Tukimun batangnya ditarik, sampai akar tunjangnya patah. Kan pasti mati to Wan. Lalu Tukimun melapor, kalau tanamannya mati. Ya kan sama to kang Karyo, sahut Wawan. Itu kan modusnya mirip seperti saat ada bantuan kambing yang sudah disunat duluan oleh dinas peternakan. Kambing yang turun kan kambing sudah penyakitan. Sama orang-orang dikasih makanan daun trembesi. Ya kambingnya jadi mendem semua. Lalu kita melapor kalau kambingnya keracunan makanan, padahal kita sembelih untuk menambah gizi. Masa Cuma pejabat yang boleh gemuk. Ha..ha...ha.. Tawa renyah terdengar lagi oleh mereka.
Sejauh ini aku dan beberapa kawanku hanya diam dan menikmati cerita-cerita unik dari orang-orang dusun yang sedang bersiasat untuk bertahan hidup. Lalu tiba-tiba aku terperangah, saat seseorang yang sedari tadi terdiam dipojok warung sambil memegang bolpoint dan kertas mendadak bersuara. Pak Jo, enam dua itu nomernya apa? Maksudmu apa Met. Slamet mencoba menjelaskan. Kita ini kan menghadapi hari ulang tahun kemerdekaan yang ke enampuluh dua. Dimana-mana digelar pesta besar-besaran. Siapa tahu nomor enampuluh dua tembus. Kan kita bisa ikut berpartisipasi mengadakan pesta kan pak Jo. Pak Jo masih terdiam sesaat. Semua yang diwarung itu tertawa terpingkal-pingkal oleh ide Slamet. Kemudian Slamet melanjutkan bicaranya. Niat kita kan ingin berpartisipasi, sesuai amanat demokrasi. Jadi kita ini kan warga negara yang baik.
Pak Jo berusaha mengingat-ingat kitab primbon seribu mimpi. Ada...tiba-tiba ia menyela. Enampuluh dua itu nomornya belalang dan selendang. Jadi saatnya kita ini melompat-lompat seperti belalang dan menari-nari dengan selendang. Tapi ingat, ada lagu yang berjudul selendang sutra, kalau kebablasan pasti akan banyak yang terluka. Tiba-tiba semua orang yang ada menjadi terdiam. Suasana warung itu seperti tercekam kebisuan. Kata-kata pak Jo yang nama sesungguhnya adalah Kartijo seolah menelusuk kedalam sanubari mereka.
“Inilah Indonesia, yang bukan sekedar nyanyian dari sabang sampai merauke, yang berjajar pulau-pulau, dan bukan sekedar perkara sambung-menyambung. Inilah Indonesia, yang kita dengar dari warung sebuah desa. Mereka masih setia mentertawakan diri sendiri”, gumamku diperjlanan pulang.

Tombo = Obat
Gelone = Kecewanya
Ruang Hampa
Eb.32. 21/08/07 00.22

Sabtu, 02 Februari 2008

MENUNDUKKAN WAKTU

".... Amenangi jaman edan, ora edan ora kumanan. Sing waras padha nggagas, wong tani padha ditaleni, wong dora padha ura-ura. Beja-bejani sing lali, isih beja kang eling lan waspadha" -- Prabu Jayabaya.