Minggu, 27 April 2008

SAYU

‘Dimanakah berhentinya angin
Saat ia merasa lelah untuk bergerak
Apakah tertidur dipucuh-pucuk rimba
Ataukah diam tertelan riuh resah kehidupan’

Sepertinya, serpihan angin ini telah menerbangkan belati-belati, hingga saat aku menghirupnya perlahan, goresan luka dihatiku semakin menganga. Bahkan ketika musim telah berlalu. Luka ini rasanya tak sembuh jua. Mungkin aku lebih baik menjadi edan, daripada bertahan dalam kehidupan yang sakit.
Malam itu, Winda berjalan menyusuri sisa harapan, menembus lorong-lorong pekat yang menyajikan kehampaan. Baginya hidup hanya tinggal menunggu janji, atas kematian yang sedang ia nanti. Perjalanan yang telah terangkai bersama Bagas, menjadi akhir dari tunas harapan yang harusnya bersemai. Laki-laki itu, kini terkulai menunggu sisa waktu, untuk sebuah kematian yang tak pernah ia harapkan. Lima hari lagi, selongsong peluru akan menembus dadanya. Demi menebus luka yang telah ia tabur, dari dendam yang tak terencakan.
Jalan nampak gelisah. Langkah Winda terlihat berat. Semua peluh ratap telah ia habiskan. Anginpun menahan hembusan. Berusaha mengerti kepanikan yang menggelayut dibenaknya yang rapuh. “Aku sudah tidak punya biaya, untuk melakukan pembelaan. Bahkan anak dikandunganku ini, tak tahu bagaimana harus kulahirkan”. Didasar hati, Winda meratapi kesedihan dengan lirih.
Sebuah lorong gang menganga didepan mata. Beberapa pemuda terlihat bersantai dan menikmati kegersangan harapan. Winda yang sedang menumpuk kegundahan berlalu tanpa menghiraukan tatapan mata yang terpancar menghiba. Sebuah kamar kecil berukuran dua kali tiga meter yang ia sewa bersama bagas penat menanti sepi. Ia segera masuk dan merebahkan diri disebuah kasur kapuk yang mengeras. Segera lamunannya menerawang menembus atap-atap rengat. Tanpa terasa, air mata kepedihan tumpah ruah membanjiri rona pipinya yang memerah.
***
Kandungannya sudah berumur delapan bulan. Tiap kali ia merasakan janinya menendang-nendang dinding rahim, seolah ikut larut dalam galau batin yang ia rasakan. Hanya tinggal perasaan keibuan yang membuatnya bertahan. Tak ada lagi yang bisa ia harapkan untuk bersandar. Bagas satu-satunya orang yang bisa ia ajak berbagi. Namun kematiannya esok, membuatnya tak memiliki siapa-siapa lagi. Semua keluarga Winda tewas dalam kerusuhan massal. Semua gara-gara KTP. Saat itu mereka mengadu nasib dipulau seberang. Keributan dengan issue sara semakin meluas. Karena ketegangan yang semakin mengganas, keluarga Winda pun menjadi korban. Mereka dibantai tanpa pertanyaan apa salah mereka.
Beruntung Winda tidak menyertai perjalanan menjemput nasib itu. Lelaki yang bernama Bagas telah mengucapkan janji untuk menjadi sandaran hidupnya kelak. Saat itu, Bagas mengantarkan keluarga Winda sampai dipelabuhan. Winda tidak pernah menyangka, kalau keberangkatan itu adalah pertemuannya yang terakhir.
***
Pagi mulai menggerayang. Menjamah kebekuan yang mengendap diantara retakan-retakan kegersangan. Winda sudah bersiap menuju penjara tempat suaminya ditahan. Patung tanah liat yang menjadi tabungan ia pecah dengan tangis yang mengiris. Ia membawa beberapa lembar uang yang diperlukan untuk membeli makanan kesukaan suaminya itu. Beberapa tetangga yang mengetahui penderitaan Winda hanya berani memandang dari balik kaca rumah yang gelap. Perempuan muda itu menuju warung mbok Marsini yang tak jauh dari bibir gang. Tak begitu lama sebungkus nasi pecel dan rempeyek udang ia tenteng dalam tas plastik.Bus kota yang kusam membawanya dikeriuhan jalan.
Perjalanan pagi terasa begitu lama. Berkali-kali Winda menarik nafas panjang. Ia duduk berhimpit disebuah kursi hitam yang kumal. Perasaan gundah terus bertalu. Dalam diam ia terus menguntai kata. “Mungkin aku tak sendiri. Diperjalanan ini setiap orang tentunya menyimpan kegalauan, akan nasib yang tak pernah dimengerti”. Lirih suara itu membekas diharinya.
Haahh....! Winda melepas nafasnya yang tertahan. Tak lama kemudian, ia kembali bergumam dalam hati. “Mengapa terlalu banyak hal yang kita simpan. Setiap perjalanan ini nyatanya adalah rentetan kepalsuan. Siapa didalam bus ini yang tahu, bahwa aku sedang membawa sekarung bara kepedihan. Mungkin begitu juga yang terjadi pada mereka”. Tapi semua hanya bisa diam. Atau bisa jadi, berbagi adalah aib yang akan menjadi cela. Ahh...Biarkan. Mungkin siapapun akan membawa kepedihan hidup hingga mati, dan hanya akan diceritakan pada tanah yang menemaninya kelak.
***
Winda merintih menguatkan diri. Pagi ini mendadak ia merasa seperti malaikat, yang tahu ketentuan dimana perjalanan akan berakhir. Empat hari lagi peluru itu akan bersarang ditubuh Bagas. Lalu aku akan terluka saat pemakamannya. Bahkan, anakku akan turut menghantarkan kematiannya, saat ia belum menjejakkan kaki dalam hidup.
Winda mencoba terus merangkai ketegarannya. Namun tak dapat dipungkiri, masih saja matanya terlihat berkaca-kaca. Sebuah saputangan telah ia persiapkan untuk menghapus buliran-buliran tipis air mata yang hendak menghujani benih kerisauannya. Ia segera bangkit saat kondektur menghentikan bus tepat didepan pintu masuk penjara. Beberapa orang memandanginya dengan perasaan bertanya-tanya.
Langkah kakinya terlihat berat ketika memasuki pintu gerbang. Dua orang petugas lapas memandangi kedatangan perempuan muda yang sedang hamil itu dengan perasaan iba.
“Mau menjenguk mbak?
“Winda hanya mampu mengangguk saat mendekati petugas lapas tersebut.
“Siapa yang akan anda temui?
“Suami saya pak, namanya Bagas. Jawab Winda dengan singkat.
“Silahkan anda menunggu didalam, nanti akan ada petugas yang membantu mbak.
“Terimakasih pak.
Lalu petugas itu memeriksa barang yang dibawa. Setelah pemeriksaan selesai, Winda perlahan-lahan memasuki ruang tunggu untuk para pengunjung tahanan. Winda menyaksikan kesekitar. Wajah-wajah pengunjung menyimpan murung yang menggunung. Tak berapa lama dua petugas lapas menemui Winda, satu laki-laki dan satunya seorang perempuan setengah baya. Mereka mengatakan tidak bisa membawa Bagas keluar sel tahanan. Karena sesuatu hal. Mereka mengajak Winda untuk menemui suaminya diruang tahanan. Winda menyepakati permintaan petugas lapas tersebut.
Mereka bertiga menyusuri lorong-lorong penat yang berhias mata-mata merah. Winda tak hendak memperhatikan mereka. Namun pemandangan dibalik jeruji hanya akan merunyamkan perasaannya. Langkahnya sampai dibelokan terakhir, tempat suaminya ditahan dalam sebuah sel khusus. Dengan cepat dua orang sipir memanggil Bagas untuk mendekat kepintu sel.
Tempat itu sangat pengap, bahkan lorong udara yang ada berukuran sangat kecil. Sejenak Winda memandangi suaminya dan tak mampu berkata-kata. Air matanya terus mengalir karena kecamuk perasaan yang bergemuruh. “Seandaikan dulu aku bisa menunda keluarnya mas Bagas lima detik saja, mungkin semua tidak berakhir seperti ini, bisiknya dalam hati.
Dua sipir penjara itu berdiri tidak jauh dari Winda. Bagas nampak tersenyum menghibur istrinya yang berdiri menjenguk kematiannya.
“Winda, sudahlah, tangis tak akan membawa semuanya kembali.
“Waktuku tinggal empat hari lagi.
“Mungkin aku akan merasa bersalah, karena meninggalkanmu dalam keadaan yang seperti ini.
“Aku tahu, kamu akan menanggung beban ini selamanya sendiri.
“Lalu aku akan segera terbujur kaku, dan tak akan mampu lagi mendengar jerit tangis anakku.
Winda hanya terdiam, menatap mata suaminya dalam-dalam. Ia seperti melihat cahaya keteduhan. Ia mencoba berenang semakin dalam, menapaki jejak-jejak perasaan lelaki didepannya yang tak secuilpun terlihat rapuh.
“Aku mungkin bisa menolak hidup, tapi aku tak akan bisa menunda kematian.
“Ini telah menjadi batas dari perjalananku.
“Simpanlah dengan baik sebagai kenangan.
“Jangan engkau jadikan semua ini beban dan keputusasaan.
“Aku tidak ingin menyiksamu lebih, setelah kematianku nanti.
Ia, mas...namun, kata-kata Winda terhenti, saat suaminya memintanya untuk tidak menangis lagi. Winda menuruti apa yang diminta suaminya. Lalu ia segera menyerahkan bungkusan makanan kesukaan Bagas.
Sebungkus nasi pecel dan rempeyek udang dilahap habis oleh Bagas. Tangan perempuan itu bergetar saat menyerahkan bungkusan plastik itu pada suaminya. Ia sangat sadar, bahwa makanan yang ia berikan hanya sekedar. Karena tak lama lagi keputusan itu akan berubah menjadi takdir. Winda tersenyum lekit melihat suaminya berusaha menyembunyikan kepedihan yang teramat dalam. Mungkin ia bermaksud meneguhkan jiwaku, jerit Winda. Kedua sipir itu tiba-tiba mengingatkanku akan batas waktu berkunjung. Aku mengabaikan saja kedua sipir yang memperingatkan batas waktu. Waktuku sudah terbatas. Tanpa siapapun yang membatasi. Namun sedikit waktu ini, bairlah mataku menatap suamiku. Untuk melapaskanya sesaat lagi. Tak lama kemudian, kedua sipir itu menarik lenganku. Mereka segera mengajakku kelauar. Aku hanya diam dan mengikuti saja. Meski setiap langkah kakiku meninggalkan suamiku terasa meremuk hati.
Keesokan harinya aku kembali ke penjara. Kali ini aku meminta sipir untuk memberikan keluasan waktu untuk menemani suami diakhir-akhir hidupannya. Selama tiga hari sisa hidupnya, mas Bagas banyak bercerita kepadaku tentang apa saja yang pernah ia alami. Ternyata terlalu banyak lipatan tersembunyi yang tak sempat kubaca. Hanya karena Ia tidak ingin aku menderita dan marah jika ia menceritakan sejujurnya. Aku benar-benar baru mengerti sesungguhnya suamiku justru disaat-saat akhir kehidupannya. Kadang kami merasa terharu dan sesekali tertawa lirih.
***
Pukul duabelas malam dihari kelima. Aku termenung sendiri disebuah ruang sepi disamping penjaga lapas. Berkali-kali sipir itu memintaku untuk pulang. Namun aku berusaha keras menolaknya. Ia suamiku, dan itu satu-satunya yang kumiliki. Aku harus menemaninya, meskipun malam ini ia harus mati.
Sebuah mobil bercat hijau tua bertuliskan “mobil tahanan” memasuki gerbang penjara. Nampak beberapa petugas yang berseragam lengakap keluar dari mobil itu. Dari dalam penjara terlihat beberapa orang sipir tahanan membawa suamiku yang tangannya terbogol untuk masuk mobil yang sudah disiapkan. Aku segera berlari mendekat dengan kandunganku yang tersa berat. Namun beberapa sipir segera bereaksi menghalau. Suamiku menoleh sesaat, ia melemparkan sebuah senyuman kepadaku sebagai senyuman perpisahan. Bibirnya nampak bergetar mengatakan sesuatu. Lalu Petugas yang membawanya menghentikan langkah dan memanggilku untuk mendekat. Sesaat aku memeluk mas Bagas dan mencium keningnya yang berkeringat. Aku sudah tak sanggup lagi meneteskan air mata, karena akan menjadi beban bagi perjalanan kepasrahannya.
Petugas segera menggiring suamiku masuk ke mobil tahanan. Beberapa aparat beserta didalamnya memberikan pengawalan. Suara mesin dinyalakan. Dengan segera mobil itu menderu meninggalkan penjara meluncur tertelan keremangan. Dor...dor...dor...., aku membayangkan suara itu tepat pukul satu malam. Aku menangis sekuat tenaga.
***
Pagi ini nampak buram. Langit mendung bergelayut menaburkan benih hujan yang datang merintik. Aku menunggu jenazah suamiku dipemakaman dengan terpaku beku. Menurut aparat, mereka akan membantu pemakamannya, dengan pertimbangan karena aku dan suamiku sudah tidak memiliki keluarga lagi. Ayahnya meninggal dunia karena tertimpa tembok pasar yang dihantam bolduser saat ia menolak penggusuran. Lalu ibunya meninggal karena serangan jantung yang menimpanya saat ketakutan tempat berjualannya diobrak dan digusur oleh aparat.
Aku sangat terkejut, mengapa begitu banyak orang yang hadir dipemakaman ini. Hampir semua pedagang pasar dan mereka yang berada di gang tempat aku menyewa kamar kos ikut serta. Mereka semua segera mengerubungi sambil memandangiku iba. Aku baru menyadari kalau mereka semua berempati atas vonis mati yang dijatuhkan pada suamiku. Meskipun ia terbukti sebagai pembunuh yang sudah menghilangkan empat nyawa. Seorang pengusaha, kontaktor beserta anaknya dan salah satu preman yang menjadi pengawalnya. Mereka semua menjadi korban amarah suamiku. Ia sangat dendam atas kematian ayah dan ibunya. Dua kematian yang disebabkan oleh kerakusan pengusaha dan kontraktor.
Mobil jenazah terlihat merambat memasuki pintu pemakaman. Orang-orang yang sedari tadi menunggu segera bangkit berlari untuk mengangkat jenazah yang terbalut peti mati. Beberapa ibu segera memapahku untuk menunggu didekat liang lahat. Air mataku mulai terurai. Janin diperutku terasa menendang-nendang seolah mengerti apa yang sedang terjadi.
Para pelayat itu dengan serentak mengangkat peti jenazah menuju ketempat aku menantinya untuk yang terakhir kali. Peti itu diletakkan perlahan-lahan. Beberapa paku dicabut sehingga tutup peti bagian atas mulai terbuka. Nampak didalamnya terbujur jasad kaku terbungkus kain putih yang dilapisi plastik. Prosesi pemakaman segera dimulai. Aku hanya bisa menitikkan air mata. Perempuan-perempuan yang ada disekitarku juga tidak sanggup menyembunyikan kesedihannya. Mereka semua larut dalam isak tangis yang mendalam.
Tanah urukan mulai diturunkan. Tak berapa lama jasad suamiku tertelan bumi. Tiba-tiba aku meraskan kepalaku begitu berat. Suasana sekeliling menjadi gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa. Tubuhku jatuh tersungkur ditanah basah pekuburan. Hanya suara-suara teriakan yang berkali-kali terdengar memanggilku, dan tak lama kemudian suara-suara itu menghilang entah kemana. Dunia menjadi sangat gelap.
***
Aku terbangun disebuah sore. Sekujur tubuhku terasa sangat lemas. Tanganku tak kuasa untuk digerakan. Sebuah selang kecil terpasang rapi dengan botol infus yang tergantung disamping tempat tidurku. Seorang lelaku muda yang bermata teduh segera mendekatiku, diikuti beberapa perempuan tua yang ternyata adalah tetangga kosku. Mereka nampak tersenyum dan gembira melihat aku kembali tersadar. Lalu mereka mengabarkan kepadaku atas kelahiran anakku. Dokter mengambil keputusan untuk dioperasi karena menyelamatkan bayi dalam kandunganku.
“Anakmu laki-laki Win”, ucap lelaki muda itu. Sesaat aku menikmati gelora kebahagiaanku yang membuncah. Tetapi air mataku tak mampu berbohong, bahwa aku tetap memendam rasa kehilangan yang teramat sangat. Meskipun aku kini mendapati disekililingku orang-orang perduli, yang bisa sedikit mengobati kelabu hatiku. Mendadak aku tergeragap, dan menanyakan kepada mereka tentang pembiayaan operasi persalinanku. Aku sadar, jika aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk menyelesaikan semuanya. Tabungan itu sudah aku pecah dan tak menyisakan sedikitpun uang. Namun laki-laki itu tersenyum teduh. Sudahlah Win, kamu istirahat dulu, tidak usah berfikir masalah pembayaran. Toh semua tetap dibayar dengan uang kan. Laki-laki itu nampak menghiburku, disertai tawa kecil beberapa ibu-ibu yang menemaniku.
Beberapa hari setelah aku mendapatkan perawatan, dokter mengizinkan untuk pulang. Sesuatu yang membahagiakan. Namun segera aku tersadar bahwa kepulanganku adalah awal yang baru. Aku tidak punya pekerjaan, hidup disebuah kamar kos dengan seorang bayi kecil yang membutuhkan biaya untuk merawatnya. Untuk sementara, kupendam semua kegelisahanku, saat ibu-ibu tetangga kos menjemputku beramai-ramai. Semua biaya persalinan dan perawatan sudah dilunasi oleh lelaki muda itu. Ucap ibu-ibu itu kepadaku. Hatiku sedikit lega, meski selalu bertanya-tanya siapa sebenarnya lelaki muda itu.
***
Beberapa minggu telah berlalu. Setelah suamiku meninggal, aku menjadi sibuk sendiri mengurus anakku yang masih bayi. Lelaki yang menolong persalinanku ternyata adalah pemuda yang sangat baik. Ia selalu memberikan apa yang aku butuhkan dimasa sulitku. Aku pernah menanyakan dengan jujur, apa maksud dia dengan semua ini. Namun lelaki muda itu diam saja dan malah beranjak pergi, setelah meninggalkan beberapa uang dan kebutuhan untuk anak lelaki kecilku.
Semenjak saat itu, laki-laki muda tidak lagi datang ketempatku untuk mengantarkan beberapa kebutuhanku. Mungkin kata-kataku membuatnya tersinggung. Semenjak saat itu ia selalu menitipkan barang-barang kebutuhanku kebeberapa tetangga sekitar tampat kostku. Suatu saat aku mencoba menanyakan pada mereka siapa sesungguhnya laki-laki itu. Namun mereka juga diam, seperti ada rahasia yang disimpan, bahkan hanya untuk sekedar memberitahu namanya saja. Semua ini membuatku semakin bertanya-tanya. Aku sadar, bahwa saat ini aku telah menjadi janda. Parasku memang cantik, banyak lelaki yang ingin mendampingiku. Bahkan orang-orang di gang tempatku menyewa kamar selalu memanggiku dengan sebutan “sayu”, karena mereka merasa teduh ketika melihat tatapan mataku.
***
Pagi ini aku membersihkan kamar kos-kosanku yang sedikit terserak. Aku menata baju-baju peninggalan suamiku untuk aku kuburkan bersama kenangan yang terlanjur pedih. Mendadak laki-laki muda itu datang kerumah dengan beberapa barang bawaanya. Aku tertegun sejenak dan mempersilahkan dia masuk kekamar. Ia langsung menimang anakku yang saat itu baru saja terbangun. Sejenak aku pandangi ia dengan tatapan yang rapuh. Air mataku menetes perlahan. Aku tidak percaya masih ada lelaki yang sebaik dia dengan sukarela membantu kesulitanku.
Aku harus bicara, aku harus bicara. Gumamku dalam hati.
“Mas, saya sangat berterimakasih atas semua bantuan mas.
“Tapi, saya tidak bisa terus-terusan begini.
“Bahkan sampai kini, nama mas saja saya tidak tahu.
“Semua orang disini seolah menyembunyikan sesuatu yang aku tidak boleh untuk
mengetahuinya.
Lelaki muda itu sejenak terdiam. Ia meletakkan anakku yang kembali tertidur dalam pelukannya perlahan-lahan. Lalu ia duduk bersandar ditembok kamar tepat disamping pintu. Akupun segera duduk tepat berhadapan dengannya.
“Win... baiklah kalau kamu benar-benar memintaku untuk bercerita
Namaku Hardi, aku memang belum berkeluarga. Namun sesungguhnya, aku berbuat seperti ini bukan hanya karena aku iba melihatmu. Tetapi....., mendadak pria itu menghentikan ucapannya sejenak. Win.., ia melanjutkan pembicaraannya. Aku dan keluargaku, dan banyak orang memiliki hutang budi yang tak terbayar kepada suamimu, bahkan kedua orang tuanya. Bagas dan ayahnya adalah orang yang telah menebus budinya dengan nyawa mereka sendiri. Bagi orang lain mungkin ia seorang pembunuh, tetapi bagi kami, mereka adalah nafas dan detak penyambung kehidupan kami dan semua keluarga kami. Karena mereka penggusuran itu digagalkan. Sehingga kami semua masih dapat berjualan sampai sekarang, dan bahkan tempat kami berjualan itu, kini sudah dibangun menjadi lebih baik, sementara kami tetap menjadi pemilik tempat itu. Ini semua berkat kenekatan mas Bagas, yang sudah tidak mampu lagi membendung kepedihannya. Karena kedua orang tunya meninggal atas tragedi yang sama. Tiga nyawa telah ia pertaruhkan untuk menghentikan kerakusan segelintir perut. Mereka adalah pahlawan bagi kami, meskipun ada yang menghujatnya sebagai pembunuh.
Hardi nampak tidak kuas menahan air matanya, saat ia menuturka apa yang dialami mas Bagas dan keluarganya. Sementara Winda hanya tertegun mematung diantara perasaan sedih dan bahagia yang beraduk.
Sebelum pulang, hardi mengeluarkan lembaran-lembaran kertas yang ternyata berisi catatan-catatan yang ditulis suami Winda didalam tahanan untuk anak dan istrinya.
“Sepertinya, serpihan-serpihan angin ini telah menerbangkan belati-belati, hingga saat aku menghirupnya perlahan, goresan luka dihatiku semakin menganga. Bahkan ketika musim telah berlalu. Luka ini rasanya tak sembuh jua. Mungkin aku lebih baik menjadi edan, daripada bertahan terus menyaksikan kehidupan yang sakit”. (Bagas, semua harus diakhir, sebelum banyak air mata mengalir)

“Win, malam ini tataplah sesekali wajah bintang. Biarkan pijar cahaya itu mengembun dalam tangkai hatimu. Agar nafas tak mengeringkan ia, dan patah kemudian”. (Bagas, bila engkau merasa sepi dan patah)

“Malam ini, bila tangis itu menjadi ratap pengakuan, adakah tawa menjadi tempat bersembunyinya air mata. Lalu dimanakah terbenamnya mimpi yang datang tadi pagi, yang membuat langit runtuh dan bintang-bintang terjatuh. Padahal, diujung gerhana itu, aku masih kuasa menunggu purnama memerah dengan senyum rembulan. Meski yang kutemui hanya bintang sebiji dan mendung setangkai”. (Bagas. Saat aku melihat tangismu dimalam terakhirku).

“Win, aku sangat mencintaimu, namun dalam perjalanan ini, kamu tak perlu melangkah sendiri”. (Bagas, batas akhir)

Pagi itu, Winda tenggelam dalam tiap gores catatan-catatan dengan isak tangis yang membahana.


Batas Kegalauan
22/08/07 - 00.13
Sby
eb32

Sabtu, 05 April 2008

Hanya sekedar

aku hanya sekedar air yang mengalir diantara kerelaan lembah dan ngarai.
Aku hanya sekedar angin yang berhembus diantara kerelaan ranting dan dedaunan.
Dan aku hanya sekedar mimpi yang hinggap pada jendela lapuk kamar-kamar pengharapan.
dan aku hanya sekedar api yang menyajikan hangat bila sang nona merasa kedinginan.

Dan kini, aku adalah pelacur yang tertuduh itu.
yang termaki karena kerelaan.
Yang terbuang karena kebosanan.
karena petangmu kini.
hadir tanpa rasa.

2008 Maret 26 21:18

singgah

Seharusnya aku singgah dirumah ini.
merapatkan diri diantara keretakan dinding-dinding yang kusam.
Mendengarkan sepi yang mengalun diantara desahan waktu.
menatap gambaranmu hingga bayangannya tak hendak beranjak.
dan waktu semakin malam
memakan mimpi yang hendak menemui pagi
aku semakin kelelahan
menghentikan tetes air yang meriuhkan atap rumah.