Minggu, 27 Januari 2008

Gadis Hujan

Ini seperti ketersesatan, ahhh tidak. Itu kata-kata yang terlalu mengerikan untuk didengar banyak orang. Kita sedang bingung. Bukan.....bukan kita, mungkin hanya aku saja. Saat tiba-tiba langkahku terhenti, aku merasa seperti terjebak didalam perkampungan kumuh yang penuh dengan kubangan disana-sini. Diantara kubangan-kubangan itu aku melihat tonggak-tonggak kayu lapuk berhiaskan bendera-bendera kuyup yang menangis. Sementara anak-anak kurus terlihat berbaris melingkar-lingkar, sembari mengurai ususnya yang berserak diantara kaki-kaki yang tak tegap. Mereka dikelilingi serpihan triplek dan atap seng yang berkarat. Seolah menjadi penggambaran keterasingan yang kian sekarat. Baju-baju kotor bergelayutan terpampang disisi-sisi gang yang berhimpit. Ahh.......mataku, ia terus mengajaku menyaksikan anak-anak kecil yang masih terus berputar-putar sambil bernyanyi. Raut wajah mereka terlihat kelelahan, karena terus-menerus melantumkan lagu yang sama. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang menepuk punggungku dari belakang.
“Nak....bantu kakek menyeberang ya?
“Oh.....Iya kek......! jawabku spontan.
Aku segera memegang tangan kakek tua itu dan menuntunnya perlahan melewati jalanan yang gaduh. Suasana pasar tradisional yang berada tidak jauh dari stasiun kereta api, siang itu memang berubah menjadi sangat ramai.
“Besok akan ada upacara dikampung ini”, kata kakek tua kepadaku.
“Zaman kakek, upacara bendera itu hanya dilakukan dikantor-kantor dan
lapangan kecamatan nak.
“Sekarang setiap kampung membuat upacaranya sendiri. Semua menggelar pesta raya sendiri-sendiri,
“sepertinya kemerdekaan itu sudah mirip dengan pasar malam.
“Saya tidak tahu, apa yang sesunggunya ada didalam benak mereka sekarang.
“Mungkin saja orang-orang itu sudah sangat penat menjalani hidup,
sehingga kemerdekaan ini cukup mereka lampiaskan dengan panjat pinang dan gebuk bantal.
“Ya...nasionalisme pohon pinang dan gebuk bantal, ha...ha...ha.
Kakek tua itu bercerita sambil tertawa-tawa menyusuri jalan. Tak menghiraukan aku yang beusaha menyeberangi jalan dengan kendaraan padat berlalu lalang.
“ Tapi biarkan saja, kakek tua itu setengah berteriak. Kelak mereka akan mengerti bahwa pesta itu hanyalah sebuah ritual dari ketidakberdayaan, tempat tertawanya kaum paria.
Ha...ha...haa. Aku sedikit terperangah mendengar apa yang ia ucapkan.
Sesampainya di seberang jalan, ia langsung menunjuk kesebuah warung kopi yang tak jauh dari tempat kami berhenti. Aku sepertinya tak sanggup menolak permintaannya. Kami segera menuju angkringan kecil yang berada disudut perempatan jalan.
Kopi dua mas...ucap kakek tua itu. Nak...kamu ambil sendiri apa yang kau mau.
Ia Kek, jawabku sambil mengangguk.
Kakek tua itu melanjtukan pembicaraanya, dan menyelipkan suaranya diantara bising kendaraan yang lalu lalang.
Dipenjara, hidup tak ada pilihan, kecuali menikmati tembok dan jeruji. Sesekali keluar ke lapangan, melihat beberapa pohon dan rumput-rumput liar. Mereka sedikit terhibur jika datang hari-hari seperti ini, dan setelah pesta sesaat itu berlangsung, hidup berjalan seperti biasanya, terkurung, penat, dan hanya lamunan saja yang bebas menjarah dunia.
Aku terdiam mendengarkan perkataan demi perkataan kakek tua itu.
“Ayo...ini diwarung, ambil yang kamu suka, jangan diam saja.
“Ini ada rokok, ambil saja. Pinta kakek tua itu kepadaku.
“Kamu mau jadi seperti orang-orang kebanyakan itu, yang hidupnya
sudah susah, dan tidak punya pilihan.
Segera kuambil pisang goreng untuk menutupi rasa malu karena terus dicemooh kakek tua itu.
Kek, kakek dulu pernah belajar dimana? Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Kakek hanya sekolah di SR nak, sekolah rakyat.
Setahu kakek, sekolah itu membuat rakyatnya menjadi pintar.
“Kalau sekarang tidak ada sekolah rakyat, tetapi sekolah pejabat alias SP,
jadi pejabatnya yang pintar, rakyatnya yang jadi bodo-bodo, ha...ha...ha.
Tawa renyah keluar dari mulut tua yang kehilangan banyak gigi itu.
“Oh..iya namamu siapa nak?. Nama saya Prahasto kek. Oooo...Prahasto,
nama yang baik.
“Panggil saja kakek mbah Man, tapi nama lengkap kakek
adalah Suhardiman. ***

Percakapan kami berlangsung dengan santai. Tawa kami berdua sering meledak-ledak dan bahkan kami sempat terpingkal-pingkal. Mbah Man memang orang yang nampak sederhana, namun ia seperti menyembunyikan segudang misteri. Siang ini aku hanya mampu mengintip dari retakan kecil yang ada pada jendela rumah hidupnya. Selang beberapa waktu, kakek tua itu mengucapkan terimakasih kepadaku. Ia bermaksud memberikan sesuatu, karena ia merasa sudah ditolong. Segera aku menahannya. Sudah Kek, tidak usah repot-repot, ini kan tidak seperti acara televisi kek. Saya senang kok bisa membantu kakek. Saya telah banyak belajar dari kakek. Saya baru sadar kalau pemuda seperti saya itu ternyata tidak punya banyak pilihan. Seperti orang yang dipenjara.
Ya...sudah kalau begitu, kata mbah Man. Kapan-kapan perjalanan akan mempertemukan kita lagi. Hati-hati ya nak, semoga kamu nanti bisa mengibarkan bendera lebih tinggi dari yang kakek bisa. Sama-sama mbah Man, jawabku. Aku tersenyum mendengar apa yang ia ucapkan. Siang itu kami berpisah. Tukang becak terlihat membawanya pergi menelusup diantara jalanan yang sedang macet.
Aku melangkah menyusuri trotoar kecil menuju ke belakang pasar sambil merenungkan kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut keriput kakek tua diwarung tadi. Sebenarnya sangat susah mulutku menyebut kakek, aku lebih nikmat dengan memanggilnya pak tua saja. Rasanya lebih akrab, dan lebih memiliki kedalaman.
Tanpa terasa aku telah jauh menyusuri jalanan kecil yang membawaku kesebuah perkampungan kumuh. Aku tidak mengerti, hari ini kaki-kakiku seolah punya keinginan sendiri untuk melangkah. Justru aku yang dipaksa mengikuti kemana arahnya. Sepertinya ia hendak menunjukkan sesuatu padaku. Atau mungkin kaki-kakiku lebih mengerti apa yang diucapkan pak tua itu daripada otakku. Bisa jadi....aku mulai tersenyum kecut.
Langkahku berhenti sejenak. Diujung gang nampak berdiri termangu seorang perempuan setengah baya. Tangannya nampak berat memegangi dagu, ia seperti sedang memperhatikan sesuatu yang ada dihadapannya. Tak berapa lama aku melangkah, aku sudah sampai didekatnya. Hingga saat diriku tepat berada disampingnya, ia seperti sedang mengatakan sesuatu.
“anak-anak itu akan bertugas, esok pagi mereka harus bernyanyi.
“Aku dulu juga seperti mereka, menyanyikan lagu yang sama.
“Aku mulai cemas dengan nasib mereka kelak.
“Apa harapan yang terbaik bagi orang-orang seperti kami.
Kata perempuan itu menggerutu.
Aku menganggukkan kepala, berusaha membaca mimik wajahnya yang nampak khawatir. Meski aku tidak tahu ia sedang bertutur pada siapa. Namun aku berusaha tersenyum menyambut apa yang dia ucapkan.
Aku masih berdiri termangu. Ikut menyaksikan sekumpulan anak-anak yang berputar-putar mengelilingi tonggak kayu sambil bernyanyi. Suara mereka terdengar parau meresak-resak seperti sembilu. Mendadak aku terperangah, dan disaat yang sama jantungku terasa berhenti. Aku teringat kembali apa yang baru saja kulamunkan dipasar tadi, kini semuanya seolah menjelma menjadi nyata. Ku usap mataku berkali-kali, memastikan bahwa ini hanya sebuah halusinasi liarku. Tapi...tunggu dulu, ini bukan bukan halusinasi. Ini benar-benar nyata, teriaku lirih.
Perasaanku menjadi cemas, bayangan anak-anak dalam lamunanku kini ada dihadapan, dan cerita pak tua yang baru saja kudengarkan seolah ikut mengusik membakar keresahan. Ini nyata, aku telah terjebak dalam sebuah perkampungan kumuh dengan bendera-bendera lusuh yang tertancap ditengah-tengah kubangan. Sementara anak-anak kecil itu terus berputar-putar menyanyikan lagu kebangsaan dengan usus terurai diantara kaki-kakinya yang tak tegap.
Aku masih terus berusaha memperhatikan mereka. Saat tiba-tiba, wajah bocah-bocah kecil yang lugu itu berubah menjadi layu dan pucat pasi, warna hitam dibola matanya berangsur semakin mengecil, hingga yang nampak tinggal warna putih dengan bintik hitam ditengahnya. Mereka serentak melangkah menuju ketempat aku berdiri. Pandangannya yang tajam menatapku tanpa berkedip, seolah mereka akan merajami setiap jengkal kulit tubuhku tanpa tersisa. Seorang perempuan yang sedari tadi ada disampingku juga terlihat semakin aneh. Kulit wajah dan tubuhnya berubah memutih, kedua bola matanya seperti mau keluar saat ia memelototiku. Aku terjebak, teriaku. Semua yang kutemui ditempat itu tubuhnya berubah jadi memutih. Bahkan yang sedari tadi berada didalam rumah-rumah triplek dan kardus, satu-persatu mulai keluar. Mereka sama, kulitnya, matanya semuanya berubah memutih. Bulu kuduku serempak berdiri, sementara dadaku terasa berdegub kencang. Seperti menahan luapan ketakutan yang teramat sangat.
Ini adalah kematian, teriaku.
Sebuah perkampungan yang mati.
Aku segera berlari, berusaha meninggalkan mereka sebelum aku ditangkapnya beramai-ramai.
Tunggu, jangan mendekat, aku tidak bermaksud mengganggu kalian.
Jangan, aku akan pergi.
Aku berusaha berteriak dan mengatakan sesuatu pada mereka. Tapi mereka sepertinya tidak memperhatikan teriakanku. Aku harus segera pergi, kataku lirih. Dengan secepat kilat aku berlari meninggalkan para penghuni perkampungan itu tanpa sempat berfikir kemana arah yang sedang kutuju. Berlari dan terus berlari.
Diujung gang, aku menemukan jalan raya yang ramai. Aku berhenti sejenak, nampak beberapa petugas sedang duduk-duduk dipos polisi yang lusuh. Hatiku sedikit lega, lalu aku segera menengok ke belakang dengan perasaan khawatir. Namun tak ada tanda-tanda bahwa mereka sedang mengejarku. Gang kecil yang membentang dibelakangku terlihat sepi. Sejenak aku menenangkan diri, untuk menata nafasku yang masih terengah-engah. Rasa lelah menggelayut diantara urat kaki yang penat. Dengan hati yang masih diliputi kecemasan, aku mencoba melangkah kembali. Menyusuri pagar pembatas jalan yang berdiri memanjang.
Tepat didepan sebuah toko kecil yang menjual makanan aku berhenti. Disampingnya ada toilet umum tempat tukang becak dan anak jalanan serta para kuli yang tidak punya rumah tinggal mandi dan membuang hajat. Segera saja aku masuk. Seorang penjaga menatapku dengan senyuman ringan. Aku tak begitu memperhatikannya dan terus saja melangkah untuk membasuh wajahku yang terasa berat. Kebetulan didalam aku menemukan sebuah wastafel, diatasnya menempel potongan cermin berukuran sedang yang dilekatkan kedinding dengan beberapa paku. Sebuah kran air berwarna kuning emas yang sudah tua kubuka perlahan. Sesaat aku menunduk, dan mulai mebasahi mukaku beberapa kali.
Siraman air kran yang dingin terasa begitu segar, apalagi siang ini matahari bersinar sangat terik. Aku kembali berdiri dan menghadapkan wajahku ke arah cermin. Tiba-tiba hatiku seperti disambar kereta api. Aku terkejut bukan kepalang, saat melihat seluruh wajahku berubah menjadi tua dan keriput, rambutku yang hitam kini juga terlihat memutih. Mendadak mulutku ingin berteriak sekeras-kerasnya, namun ketika kulihat semua gigi-gigiku berwarna hitam kelam, lidahku seperti meregang tertahan.
“Jangan pergi”, tiba-tiba ada suara yang terdengar sangat dekat
ditelingaku.
Suara yang serak dan berat itu membuat tubuhku menjadi gemetaran, otot-ototku seperti terserang lumpuh layu. Aku sangat ketakutan karenanya. Ohh...mengapa disekelilingku tidak ada siapa-siapa.
“Lihatlah ke cermin”, ia memberikan perintah kepadaku.
Aku tiba-tiba mengikuti apa saja yang ia katakan. Kaki dan tanganku seperti terpatri, sehingga tidak ada kuasa bagiku untuk bergerak sedikitpun.
“Kau telah melihat dirimu sendiri, mengapa engkau hendak berlari”.
Suara itu muncul kembali, namun terasa lebih dalam masuk ditelingaku.
“Bukankan engakau sudah mati sedari kau tidak menyadari bahwa
engkau telah mati”.
Aku terperangah. Keringat ditubuh kini mengalir bak air bah. Dengan sekuat tenaga aku berusaha meronta. Kucoba menggerakkan jari-jemari tanpa menghiraukan pada suara-suara yang mengusikku semakin keras. Tiba-tiba kaki dan tanganku serempak bisa bergerak. Lalu cepat-cepat aku berlari keluar, tanpa memperdulikan penjaga toilet. Aku terus berlari sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Orang-orang disekitar yang melihat tingkahku nampak terkejut dengan sikapku yang aneh. Namun aku tak berani menatap mereka, dalam pikiranku, mereka semua juga telah berubah menjadi keriput dan memutih. Aku kembali berlari tanpa arah dan berusaha menghindari kaca-kaca yang bisa memantulkan bayanganku disana.
***
Diatas, langit terbalut mendung gelap, perubahan musim membuat cuaca jadi tak menentu. Persis seperti tak menentunya nasib mereka yang sedari dulu berlindung pada setiap kata yang menjanjikan harapan. Keadilan, kesejahteraan, dua kata yang telah lama mereka jadikan penjara bagi harapan-harapan yang kini hampir mati. Nafasku terasa mulai sesak. Aku melihat beberapa lalat berputar-putar didekat kepalaku. Bau anyir dari sampah yang membusuk terasa menusuk pangkal hidung. Segera aku pergi menjauh. Mencoba mengusir bayangan-bayangan kecemasan yang sedari tadi menderaku.
***
Sinar matahari semakin redup, tertutup awan hitam yang berarak. Angin dingin terasa menyengat tulang-tulang igaku hingga terasa ngilu. Tiba-tiba jantungku seperti berhenti berdetak, dan mataku menjadi berkunang-kunang, bahkan seperti ada ribuan kunang sedang mengelilingiku. Rasanya seperti mau mati saja.
Kaki-kaki ini kupaksa untuk berhenti. Namun rasa cemas dihatiku belum juga usai. Aku bertanya-tanya, apakah saat ini mataku kembali berubah menjadi memutih. Ahh...aku juga tak berani melihatnya. Tubuh ini terasa semakin lemah, dan aku membiarkan saja saat ia rebah dan tersungkur ke tanah.
Dunia seolah menjadi berputar-putar, dan aku seperti sedang merasakan sesuatu. Ada getaran lirih menyingkap lembut disela-sela bulu kuduku. Aroma dingin yang menenangkan mulai menggerayang, sementara putaran-putaran waktu mengalir perlahan menyelimuti ragaku yang rapuh.
Cahaya putih berpendar menari mengitar di ubun-ubun kepalaku. Aku seperti sedang terbang, meninggalkan diriku hingga tak tau kini berada dimana. Tiba-tiba beberapa bayangan nampak melintas didepanku, bersamanya terdengar alunan merdu sebuah lagu yang sudah sangat aku kenal. Namun aku tak mendengar syair yang mengiring, dan yang ada hanya suara anak-anak yang bersenandung menggumam. Suara itu mengiringi bayangan-bayangan tipis yang bergerak berarak seperti kapas tetiup angin.
Bayangan-bayangan itu kini menjelma menjadi anak-anak kecil yang sedang menggendong janin dengan tali pusar yang masih melilit ditubuhnya. Mereka terbang perlahan mengikuti alunan awan. Pandanganku terpaku melihatnya. Bahkan nafasku kini benar-benar terhenti, mataku tak mampu lagi berkedip, dan mulutku tak kuasa untuk bersuara, sementara lidahku sepertinya sudah beku sedari tadi.
****
Suara-suara............!
Merdeka.....Merdeka.....Merdeka haa...ha...ha...ha. Teriakan suara-suara yang keras itu mengusik daun telingaku. Aku merasa seperti tersentak, jatuh dan runtuh dari magi-magi yang membawaku kepuncak maya. Sebuah buku yang tadinya kupegang mendadak terjatuh. Aku segera memperbaiki posisi dudukku, sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi. Aliran keringat dingin tiba-tiba menjalar keseluruh tubuh. Belum selesai aku mencari tau, seorang perempuan cantik yang melihatku segera mendekat dan berusaha mengambilkan bukuku yang tergeletak dilantai. Aku baru sadar kalau ternyata aku sedang tertidur disebuah sofa dibalkon tempat aku menginap.
Perempuan cantik itu dengan ramah segera menyerahkan buku itu kepadaku sambil berkata;
”Maaf pak, buku anda terjatuh....?
“Bapak kelihatannya sangat
kelelahan.....?
“Aku tak kuasa menjawab, mulutku seperti masih terkunci rapat.
“Apa tidak sebaiknya anda istirahat dulu dikamar..... ?
“Gadis itu menanyaiku kembali.
“Ohh...terimakasih, ee... saya lebih baik minum jahe hangat saja, jawabku
dengan berat.
Aku berdiri mengangkat tubuhku, namun sepertinya baru kusadari jika mataku sedari tadi terpaku menatap sosok perempuan yang berdiri didepanku itu. Kuperhatikan wajahnya yang nampak berseri-seri, kedua bola matanya telihat seperti sepasang permata. Kecantikannya kian sempurna ketika sekuntum bunga merah terselip diatas daun telinganya yang Indah. Aku menjadi nekat, kupegang saja tangannya untuk memastikan apakah kulitnya akan berubah menjadi memutih dan keriput. Ia nampak kebingungan dengan sikapku. Maaf... maafkan saya, saya tidak bermaksud......, aku berusaha menenangkannya. Saya benar-benar mohon maaf. Mungkin benar apa yang anda katakan. Bisa jadi saya memang sangat kelelahan. Perempuan itu hanya tersenyum, seolah memaklumi apa yang baru saja kulalakukan. Baiklah, saya lebih baik ke restoran dulu, terimakasih sudah mengingatkan saya.
Segera ku bergegas melangkah menuju restoran yang berada dibagian depan penginapan. Pandanganku tertuju pada sebuah meja bundar yang dikelilingi tiga kursi rotan disisi kiri ruang tepat menghadap kearah selatan, sementara pintu masuk berada disebelah barat. Beberapa batang bunga sedap malam menghias diatas meja, tangkainya memenuhi pot kaca yang berisi gel warna-warni namun terlihat bening. Bunga itu nampak putih bersih, beberapa kuntumnya mulai bermekaran. Aroma wangi yang bertabur memberikan sentuhan ketenangan batin yang teramat dalam.
Sebuah buku dan tas kecil segera aku letakkan disisi kiri meja. Tak berapa lama, seorang gadis pelayan yang cantik dengan seragam putih berjarit datang menghampiriku. Hiasan bunga merah yang terselip diatas daun telinga menambah keanggunannya semakin menawan. Dengan senyum yang ramah ia berikan daftar menu itu kepadaku. Aku tak sempat membacanya. Langsung saja kupesan minuman jahe putih hangat dengan gula merah cair. Gadis itu mengangguk tanda mengiyakan. Ia segera bergegas mengambilkan pesananku dengan senyuman yang masih membekas dilembaran imaginasiku.
“ Mbak...mulutku tiba-tiba memanggilnya.
Gadis itu berbalik, dan menjawab.
“Ada apa bapak?.
Mataku tiba-tiba seperti bergerak sendiri, menatapnya tajam-tajam ke setiap lekuk tubuhnya yang mempesona. Namun aku merasa cemas, apakah kulitnya yang halus itu juga akan berubah menjadi putih dan keriput. Gadis itu terlihat kebingungan ketika kutatap matanya dalam-dalam. Dengan cepat aku berusaha menjelaskannya.
“Ee...begini mbak, panggil saja saya Pras, nggak usah pakai “pak”,
nama saya Prahasto.
“Gadis itu tersenyum ramah, terimakasih mas Pras.
Ia segera bergegas untuk memenuhi pesanan yang kupinta.
Mataku belum mau berhenti, sepertinya hari ini aku benar-benar tidak mampu mengendalikannya. Seperti saat aku tak kuasa mengendalikan kakiku siang tadi. Ia mengajakku berkeliling mengitari loby penginapan dari dalam restoran yang hanya dibatasi oleh kaca bening, menatap setiap lekukan-lekukan yang ada diruang itu. Mencoba menemukan guratan-guratan yang masih menyimpan berkas-berkas cerita. Beberapa lukisan bergenre suryalis yang bergantung seperti menjelma menjadi semacam ilustrasi. Perlahan-lahan pandanganku terus bergerak tertuju pada lembaran kain berwarna-warni dan jatuh pada rangkaian yang ada disana. Ahh....dipenginapan ini juga terlihat semarak bendera-bendera dan simbul-simbul perayaan.
Perhatianku mulai tertuju kearah meja-meja disekitarku. Beberapa orang nampak duduk mengitarinya. Sepertinya mereka sedang asyik terlibat dalam sebuah pembicaraan. Mereka adalah orang-orang yang tadi berteriak merdeka-merdeka lalu tertawa-tawa. Dari gaya bicaranya, mereka tidak sedang membicarakan tentang kemerdekaan. Orang-orang itu terlihat sedang menikmati liburannya sambil menghabiskan waktu untuk membelanjakan limpahan uangnya. Tubuh mereka nampak bersih, sepertinya panas matahari tak pernah leluasa menyentuh permukaan kulitnya, aksesoris yang melekat pada tubuh dan pakaian yang bermerek itu menandakan status sosialnya sebagai orang mapan. Hmmm... aku mencoba memperhatikannya sejenak. Mungkin mereka para pengusaha perayaan, dan kali ini keuntungan besar sedang mereka peroleh. Ahh...dasar VOC lokal gumamku.
Seorang gadis tiba-tiba muncul dari arah samping, sambil menyapaku dengan lirih.
“Bapak, mohon maaf, ini pesanannya.
Aku agak tergugup karena telah dibuatnya sedikit terkejut.
“Ohh, iya, terimaksih.
Gadis yang membawakan minuman pesananku ternyata bukan gadis yang tadi mengantarkan daftar menu. Namun ia juga meninggalkan bekas keanggunan dari senyum ramah yang hampir mirip. Benakku bergumam, apakah ditempat ini setiap gadis pelayan memiliki senyum sama. Apakah senyum itu datang dari lubuk hati yang terdalam, ataukah hanya sekedar senyum keharusan untuk dianggap berperilaku sopan. Ahh...pusing aku, dimimpiku tadi, baru saja aku melihat baju lusuh dan tubuh dekil yang sama. Anak-anak yang hidup dikampung kumuh itu mengumandangkan sebuah lagu yang sama pula. Bayangan anak-anak kecil yang sama juga terlihat berterbangan menggendong janin dengan usus yang masih melilit ditubuhnya. Lalu apakah yang sama, diantara beberapa yang kulihat berbeda itu.
Kuraih gelas yang berisi jahe hangat, dan menuangkan gula merah cair kedalamnya, kemudian mengaduknya perlahan. Aroma jahe yang harum mulai terasa mengitari hidungku yang sedikit terganggu oleh flu. Aku mencoba mencicipi dengan sendok pengaduk. Mmmmm...sriuuup, enak sekali rasanya.
Hujan turun merintik, rasa hangat dari jahe dan gula merah menjalar perlahan didalam dadaku. Mengusik benih-benih lamunan yang kusimpan dalam-dalam untuk segera bersemi. Sensasinya mengantarkan ingatanku pada sebuah kebun kecil dipekarangan rumah, bila musim penghujan tiba banyak tumbuh jahe dan tanaman lainnya. Aku mulai terjerembab, bayangan-bayangan masa lalu satu-persatu berusaha melintas, menyeret ingatanku pada masa dimana aku masih kanak-kanak. Perayaan tujuh belasan menjadi mimpi besar saat itu. Janur yang berwarna kuning menjadi penghias disetiap rumah, disertai bambu-bambu yang di ujungnya digantungi mainan yang dibuat dari bahan yang sama. Bendera-bendera dipasang disisi-sisi jalan desa. Banyak sekali orang-orang yang menjajakan makanan dan mainan untuk anak-anak ditempat dimana perayaan digelar. Tujuh belasan benar-benar menjadi perayaan besar yang selalu ditunggu-tunggu oleh anak-anak sepertiku. Itulah kesan, dan menjadi awal dari perkenalanku dengan Indonesia. Bendera, janur, mainan, upacara, lagu kebangsaan dan perayaan-perayaan yang begitu menyenangkan.
Permisi bapak, buku anda terjatuh. Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis muda yang nampak terpelajar menegurku dari arah samping, sembari menyodorkan sebuah buku ditangannya. Aku segera menoleh kearahnya. Ohh...iya, terimakasih. Hari ini untuk yang kesekian kalinya aku terkejut. Sesaat kami masih berpandangan, kedua bola mata ini seperti sedang mempertemukan sesuatu yang tak dimengerti. Segera kuraih buku itu dari tangannya. Bibirnya nampak menyungging senyuman yang menawan. Kami berdua sejenak terpenjara dalam kebisuan.
“Ee...maaf, apa anda juga tamu disini? Tanyaku perlahan.
Gadis itu masih terdiam sejenak.
“Ia..... mungkin saja nanti saya menginap disini, jika ada sesuatu yang menarik.
Gadis itu berusaha menjawab dengan tenang.
“Tapi saya mau pesan minuman hangat dulu. Hujan disore begini
membuat udaranya kurang bagus untuk kesehatan, ujarnya.
“Ee... bolehkah kali ini saya yang memesankannya untuk anda sebagai
tanda terimakasih saya.
Gadis itu nampak berfikir.
“Silahkan duduk kalau anda tidak keberatan, pintaku meyakinkannya.
Segera kupersilahkan gadis itu duduk meskipun ia belum menyetujuinya.
“Anda serius? Tiba-tiba gadis itu memastikan.
Aku mengagguk.
“Dengan senang hati.
Segera kupanggil seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari tempat dudukku.
“Anda ingin memesan apa? Tanyaku perlahan.
“Ee,,,saya menyukai jahe putih hangat dengan gula merah cair.
Aku terperanjat, bukan kebetulan kalau ternyata seleranya sama denganku. Aku segera kembali duduk dan mengawali sebuah pembicaraan.
“Nama saya Pras, lengkapnya Prahasto.
Saya disini sudah dua hari, tempat ini adalah tempat yang sangat tenang, tempat yang saat ini benar-benar saya butuhkan.
“Benar yang anda katakan, saya juga sering singgah ditempat ini,
nama saya Wulan.
“Anda berasal dari mana mas pras? Ee..maaf kalau saya tiba-tiba
menyebut anda dengan panggilan mas, ucap Wulan sambil tersipu.
“Tidak apa, asal tidak anda panggil om saja, jawabku sambil tersenyum.
“Saya berasal dari sebuah desa yang berada dikaki gunung wilis sebelah
barat, namanya desa Banyu Urip.
“Anda sendiri non wulan?.
“Kalau saya lahir di Yogyakarta, tetapi setelah besar saya pindah ke
Surabaya.
“Ooo...hebat dong.
“Kenapa...tanya wulan seolah ingin tahu.
“Anda lahir dan besar di Yogyakarta, anda pasti dapat berkah dari
keraton, makanya anda orangnya sangat cantik.
“Maaf kalau ucapan saya mengganggu.
“Saya hanya mengatakan yang sebenarnya menurut pandangan saya.
“Oh..tidak apa, terimakasih anda sudah jujur mas Pras.
Tiba-tiba tawa kami berdua meledak. Seorang pelayan yang datang membawakan pesanan Jahe putih hangat dan gula merah cair hampir tak terperhatikan. Silahkan, jahe hangat ini akan mebuat anda lebih nyaman.
Diluar rintik hujan belum berhenti. Jemari tangan wulan yang lentik segera meraih tangkai gelas yang ada didepannya, sementara tangan yang satunya berusaha menuangkan gula merah cair itu kedalam gelas, lalu mengaduknya perlahan-lahan. Syrruup...ia mencoba mencicipi jahe hangat itu. Pipinya terlihat merona merah, saat rasa hangat mulai menyusuri hamparan lidahnya yang tipis.
“Wah...nikmat sekali mas Pras. Apa anda tidak ingin mencobanya.
“Eh...Non Wulan, coba perhatikan yang ada digelas saya.
“Oooh....maaf, saya tidak tahu kalau ternyata anda memiliki selera yang
sama dengan saya. Berarti anda adalah bergolongan darah A.
“Kok anda tahu, tanyaku.
Ia donk, saya kan pernah membacanya saat belanja buku. Disana saya menemukan beberapa tanda-tanda bagi orang yang bergolongan darah A, dan saya juga lebih percaya saat saya tahu kalau anda orangnya cerdas, dan menyenangkan bila diajak ngomong. Aku tersenyum, sambil memperhatikan Wulan yang meneruskan penjelasannya.
Sore itu pembicaraan kami berlangsung hingga tengah malam. Bahkan kami melanjutkan dengan makan malam bersama. Kami tidak tahu, apa yang sebenarnya mempertemukan kami diantara kegelisahan yang menggunung. Namun malam itu, semua catatan yang ada dalam perjalanan hidup serasa tumpah ruah. Penjara-penjara perasaan dan kegalauan menjadi terserak setelah kami bersama-sama saling memporak-porandakan dengan pikiran-pikiran yang bergelora. Buih-buih yang menebal mulai hilang tersapu angin, begitu juga hempasan badai yang keras telah membalikkan karang-karang hati yang angkuh. Kami terus berbincang, menerobos dan mengoyak lipatan-lipatan kehidupan yang semakin lusuh. Hingga perlahan-lahan gelombang yang bergemuruh itu kian surut, dan kami masih terus menjelajah bersama hening pusara waktu. Kami baru menyadari, bawa, kami berdua pernah mengalami rasa keterasingan yang sama. Sebuah keterasingan yang amat putih.
Gelora sukma mulai menggerayangi jiwa kami, dan berusaha menjelmakan diri dalam kesemestaan yang hidup. Tubuh kami serasa berhamburan, terserak menjadi serpihan saraf-saraf kecil yang mencipta segala wujud. Dan pada serpihan-serpihan itu, kami menjadi tak mengerti apa-apa. Karena putih itu menjelma menjadi aku, aku yang tak terhingga. Mereka bermunculan diantara jejak-jejak yang telah hilang. Bahkan tak ada satupun retakan yang dapat menuntun kami kembali pada ingatan, hingga kami telah lupa dimana letaknya arah, karena matahari yang menjadi penunjuk itu telah kami telan sedari tadi. Kini kami kehilangan semuanya, siang dan malam, suka dan duka, bahagia dan sedih yang membuat batas mimpi dan nyata seringkali beradu kesadaran tanpa warna.
Tubuh kami mulai rapuh, melayang dan jatuh tanpa kelamin, tersungkur dalam rengkuhan telaga yang hening. Kini aku bisa merasakan, udara yang tersisa, sejenak menjadi tak bergerak. Mata ini kubuka perlahan, saat kulihat selembar daun yang terjatuh dari ranting pepohonan terasa begitu lama untuk sampai dipelukan bumi. Selama lantunan lagu “angel” yang disuarakan Sarah Mclachlan yang mengiris perasaanku disetiap malam menjelang. Mungkin juga saat ini waktu tak lagi berdetak, dan hari berjalan tanpa meninggalkan bekas hitungan. Aku juga tak lagi menyaksikan matahari yang seperti biasanya.
Telaga itu sangat tenang, tak ada kebisingan yang kudengar. Hanya siluet temaram yang menggurat cakrawala. Tiba-tiba aku melihat gadis yang tertelungkup disampingku perlahan berdiri, tangannya menengadah keatas menyerupai gerakan “four faces buddha”. Ia seperti sedang menari-kan sesuatu, lalu tubuhnya yang indah itu berputar kekiri dan kekanan. Rambut hitam yang berombak membuatnya terlihat semakin anggun. Namun tak berapa lama gadis itu menari, gerimis kecil persembahan dewa-dewi turun mendera tubuh kami yang sedang mencari serpihan makna yang hilang. Kamipun menari bersama hingga pagi datang tanpa terasa.
Matahari berbinar menyambut pagi. Hangat cahayanya menyaput rengat tubuh kami yang terbaring kelelahan. Aku berusaha berdiri dan mengusap kelopak mataku perlahan. Terasa seperti ada serpihan-serpihan tipis yang berjatuhan. Aku terus mengusap, dan semakin kuusap, serpihan itu semakin berjatuhan. Kemudian kuperhatikan sekelilingku, ditempat aku rebah ada berserak serpihan tipis kulit tubuhku yang mengelupas berhamburan tertiup angin. Apa yang telah terjadi semalam. Mengapa pagi ini tubuhku berubah, gumamku dalam hati. Sejenak aku kembali terdiam. Sepertinya aku sedang memasuki keterasingan baru. Keningku mulai berkerut, memaksaku menyusun kembali ingatan disetiap perjalanan. Andai saja ia masih tersisa, mungkin saja aku masih bisa menemukan jawabannya. Namun tak ada satupun ingatan yang kutemukan.
Akhirnya aku menyerah. Menatap kosong pada ruang kehidupan yang baru saja kumulai. Semua terasa begitu asing. Aku baru menyadari, jika duniaku yang sesungguhnya tak pernah ada warna. Aku dilahirkan didunia yang putih. Meskipun merah, aku harus menyebutnya putih. Dan pagi ini, aku seperti menemukan sebuah kelahiran. Dunia yang penuh rona dan keanggunan.
Ahh...sudahlah, aku harus berhenti merenung. Aku segera berdiri, berjalan menghampiri tubuh seorang gadis yang tergolek lemah dihamparan pasir yang lembut ditepi telaga. Kutatap wajahnya perlahan-lahan, agar ia tak terusik olehku. Tapi aku merasakan seperti ada yang berbeda, aku melihatnya benar-benar berbeda. Aku seperti melihat cahaya suci memancar dari tubuhnya yang sempurna. Seperti ada taburan intan berlian yang berenang-renang diatas kulitnya yang bersih. Helai rambut hitam yang bergelombang menjulur diantara bahunya, nampak memancarkan aura keagungan. Ribuan pertanyaan segera mendera jiwaku. Mengapa pagi ini ia berubah. Lalu dimana ia yang semalam menari bersamaku. Apakah..... ohh tidak. Ia belum mati. Ia belum waktunya mati. Aku terperanjat, dan segera berlari ketepi telaga. Mencari-cari seandaikan ia tenggelam disana. Mulutku berusaha berteriak, tapi aku tak tahu harus memanggilnya apa. Kuceburkan tubuhku dan berusaha berenang menyusuri dasar telaga yang bening. Berputar-putar disetiap ceruk dan kedalaman. Namun tak kutemukan tanda-tanda bahwa gadis itu ada disana.
Lalu aku beranjak menepi, duduk disebuah batu yang menggantung dibibir air. Mataku kubiarkan menjala luas pandangan. Menelusuri tiap jengkal waktu agar aku bisa menemukannya. Air telaga yang tadinya bergolak kini mulai terlihat tenang. Menenangkan hatiku yang sedang larut dalam kegundahan.
Sinar matahari jatuh mengusap hening. Pantulan-pantulan cahaya menjelama seperti untaian mutiara yang terhampar. Air telaga itu semakin terlihat jernih, membuat aku ingin menemukan diriku disana. Tanpa sengaja kepalaku perlahan-lahan menunduk. Wajahku mulai tergambar dalam bayangan-bayangan remang. Namun Ohh...betapa terkejutnya aku, saat air telaga itu tiba-tiba berhamburan. Aku segera terhenyak dari dudukku, mencoba menengadahkan wajahku kedalam air, tapi ia kembali bergolak seolah tak kuasa menampakkan bayangan wajahku dalam cerminannya. Kuulangi sekali lagi, dan air telaga itu tetap saja berhamburan. Segera aku berdiri, dan kutampar pipiku dengan tanganku sendiri. Mulutku berteriak-teriak. “Apakah aku juga sudah mati. Mengapa aku tak merasakan apa-apa saat melewati batas tadi”.
Aku segera berlari menuju ketampat gadis itu tergolek, dan berusaha membangunkannya perlahan-lahan. Namun aku mulai cemas, dan bertanya-tanya dalam hati, apakah ia gadis yang semalam bersamaku, lalu apakah ia mengenalku saat ia menatap wajahku nanti. Aku diam sesaat, berusaha untuk tidak memperdulikan lagi semua kecemasan yang menggelayuti perasaanku. Kusentuh bahunya beberapa kali.
Perlahan gadis itu mulai terbangun, jemari lentiknya mengusap-usap lekuk wajahnya yang sungguh mempesona. Bola matannya nampak sayu bergerak kanan dan kiri. Lalu ia memandangku dengan senyum rembulan yang tak pernah layu. Hatiku berdebar lega, karena ia melemparkan pandangannya padaku. Namun seketika ia nampak terkejut, matanya memperhatikan diriku sekali lagi, ia seperti melihat sesuatu yang berubah pada diriku. Aku segera berbisik kepadanya, turunlah ke air, dan lihat dirimu disana. Akupun merasakan apa yang juga kau rasakan. Mungkin kita telah meninggalkan batas itu. Cobalah, turunlah ke air segera. Gadis itu bangkit, dan berusaha mempercayai apa yang aku katakan. Ia melangkah perlahan menuju air telaga yang tenang. Ia berusaha untuk tidak membuat air itu bergerak karenannya. Namun ketika wajahnya menegadah ke telaga, mendadak airnya menjadi berhamburan. Jangan terkejut, aku berusaha menenangkannya saat ia hendak berlari. Tenanglah, pintaku. Cermin telaga itu tak mampu lagi menampakkan wajah kita bila yang kita hadirkan dihadapannya adalah pancaran jiwa. Ia tersenyum panik, lalu gadis itu menyandar kebahuku dan memelukku erat untuk beberapa saat.
Kami berdua larut dalam keteduhan pagi. Bersama keheningan telaga kami merajut kembali lembaran-lembaran jiwa yang terkoyak. Lalu gadis itu membisikan sesuatu yang menyejukkan batinku. Bisikan yang tercipta dari nafas keteduhan. “Lihat, hutan yang kemarin mengelilingi kita sebagai batas perjalanan, kini hanya nampak seperti hamparan fatamorgana”, jalan-jalan yang berkelok dan menyesatkan itu, kini terlihat hanya seperti serpihan sampah-sampah kesangsian yang berserak”, apakah engkau masih menyimpan kebimbangan akan suatu pilihan perjalanan”. Suara bisikan gadis itu mendadak berhenti. Aku menjawab dengan lirih, tidak, karena kita tidak sedang dalam perjalanan itu. Tapi, kita adalah perjalanan itu sendiri, ucapku lirih. Saat mendengar ucapanku ia memelukku semakin erat. Seperti belahan jiwa yang pernah hilang dan bertemu kembali. Lalu kubisikan sesuatu ditelinganya. Bolehkah aku memanggilmu “gadis hujan”. Ia menjawab lirih. Aku sangat menyukai nama itu.
****
Mas Pras, maaas. Aku terkejut sesaat, sepertinya ada suara dikejauhan yang memanggil-manggilku ditengah keheningan. Apa yang barusaja tergambar jelas dalam perenunganku yang belum selesai mendadak buyar. Diriku kembali tersadar bahwa untuk beberapa waktu aku telah mendiamkan Wulan. Ohh... maaf Wulan aku terjerembab dalam jeruji lamunanku. Tidak apa-apa mas, aku juga merasakan hal yang sama. Begini mas, lanjut Wulan. Tunggu, jangan bicara dulu Wulan. Wulan nampak terkejut ketika aku memintanya untuk tidak berbicara. Apalagi saat aku menatap wajahnya dengan sungguh-sungguh. Mataku mulai liar mengembara menyusuri jendela perasaannya yang hening.
“Ada apa mas Pras, tanya wulan ingin tahu.
“Ohh...tidak, aku hanya ingin memastikan.
“Oh..iya, kamu tadi mengatakan apa?
Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Sejenak Wulan terdiam. Nampak ia sedang menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu ia berusaha berbicara kembali. Begini mas Pras, menurutku, apa yang mas lihat sebagai bayi-bayi itu bagiku adalah kematian dari sebuah kelahiran. Tak perlu anda risaukan, bahkan semua yang nampak menjelma menjadi putih itu hanyalah buih. Bersama gelombang ia akan tersapu, dan ketika anda telah menghentikan arah angin. Kejernihan kehidupan yang anda inginkan akan terlihat kembali. Namun beban itu tak akan dapat anda lepas sekarang. Karena ini semua adalah kehendak dari sebuah perjalanan. Seperti tak mungkinya kita, bila memaksakan matahari diatas kepala untuk tenggelam saat itu juga. Anak-anak kecil itu akan mentertawakan kita seharian.
Aku tak menjawab. Kami berdua kembali larut dalam pengelanaan jiwa. Menembus batas-batas sanubari. Sebuah lonceng tua yang berdiri disudut ruangan mendadak berdentang. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.
Udara semakin dingin, ruangan itu sudah nampak sepi, hanya tinggal tiga meja yang masih terisi.
“Non Wulan, apa tidak sebaiknya anda beristirahat dulu.
“Ya, mungkin itu ide yang baik. Saya sepakat mas Pras.
“Semoga besok masih ada waktu, aku berharap.
“Pasti, jawab Wulan dengan tegas.
“Jikalau besok tak ada waktu mas, kita akan melahirkannya sendiri.
“Anda setuju mas Pras.
“Ok, saya setuju”.
“Maaf, jadi non Wulan sudah menemukan sesuatu yang menarik” hingga sudi menginap ditempat ini.
“Wajah Wulan nampak merah merona”
Ia hanya diam dan tidak menjawab apa-apa.
“Ayo non Wulan, pintaku sambil berdiri meninggalkan meja bundar yang telah mempertemukan kami.
“Besuk pagi saya tunggu dibalkon belakang ya mas?. Yang
menghadap ke arah gunung semeru”.
“Ok.
Kami berdua segera menuju ke meja kasir, maaf non Wulan, untuk kali ini biar masuk ke tagihan saya saja. Kalau begitu terimakasih mas Pras, Lalu kami segera bergegas menuju ke kamar masing-masing.
Udara malam itu mulai menusuk tulang, menghantarkan kami pada mimpi yang beku.
****
Sebuah pagi, fajar mulai nampak menyembul diremang perbukitan. Gorden cokelat penutup kaca ku buka sebagian, agar sinar matahari menerobos dan menghangatkan suasana pagi yang lembab. Aku bergegas menuju kamar mandi. Rasanya tubuh ini sudah sangat lelah tergerus waktu, perjalanan membuatnya semakin rapuh. Kurasa akan lebih membaik jika aku berendam sejenak dengan air hangat. Kran yang berwarna merah dan biru kuputar setengah, hingga air yang keluar terasa hangat. Segera kulepas bajuku dan merendamkan diri kedalam bak. Hmmm...rasa hangat itu perlahan-lahan menjalar keseluruh tubuh, seperti tusukan jarum-jarum kecil yang menelusup disela-sela lubang pori-pori yang kian terbuka.
Tanpa terasa duapuluh menit telah berlalu. Aku segera bangkit dan membersihkan diri dengan handuk berwarna putih. Sebuah kaca berukuran besar menempel ditembok. Awalnya aku merasa enggan untuk melihat diriku disana, namun keberanianku mengatakan lain. Kupandangi perlahan-lahan wajahku dengan tatapan yang berat. Setalah berapa lama, ternyata tidak ada yang berubah. Wajahku tetap seperti sedia kala.
Pikiranku menjadi lega. Aku segera mengenakan celana pendek dan kaos putih berkerah yang menjadi kaos kesukaanku selain warna hitam. Setelah kurapikan rambutku yang acak-acakan, aku segera melangkah keluar menuju balkon timur, tempat yang sudah kujanjikan bersama non Wulan untuk pertemuan pagi ini. Beberapa lembar catatan aku bawa, dengan harapan, ia mau menyempatkan diri utuk membacanya. Aku tidak tahu, mengapa juga aku merasa seperti sudah sangat akrab dengannya. Padahal baru semalam aku berkenalan.
Langkah kakiku terasa sangat ringan, seperti menapak diantara serpihan awan yang tak mampu kembali terbang karena kehilangan sayapnya. Dikejauhan terlihat seorang gadis yang mengenakan pakaian putih-putih sedang duduk menerawangkan pandangannya jauh mengangkangi fatamorgana. Aku melangkah mendekatinya perlahan, agar tidak mengusik sedikitpun kebahagiaannya yang tergambar dalam pengelanaan imaginasi. Aku duduk dikursi yang nampaknya sudah dipersiapkan disampingnya. Dua gelas minuman hangat tersedia sedari tadi. Suasana sejenak menjadi hening. Aku segera melemparkan pikiranku jauh melampaui batas waktu, mengejar lamunannya yang sudah dahulu disana.
****
“Apakah kita sedang tersesat”, tanya Wulan tiba-tiba memecah kebekuan.
Sejenak aku menghela nafas panjang.
“Wulan, kita tidak sedang dalam perjalanan, lalu mengapa kita harus
tersesat. Bagaimana pula kita bisa tersesat, jika aku dan kamu adalah
perjalanan itu sendiri. Jawabku dengan pelan.
“Lalu mengapa kita sama-sama memakai baju putih, padahal kita tidak
pernah merencanakan sebelumnya, tanya Wulan sekali lagi.
“Mengapa kita harus merencanakan, bukankah hanya bagi mereka yang
sedang menempuh perjalanan membutuhkan rencana.
Sejenak kami kembali terdiam.
“Ya...seperti matahari ya mas, mungkin ia tak pernah merencanakan
perjalanannya pagi ini.
Aku tersenyum, kata-kata itu membuat hatiku teduh. Kata-kata yang keluar dari pancaran jiwanya yang bangkit. Seperti yang pernah kudengar semalam dari sang gadis hujan. Tiba-tiba Wulan memegang tanganku, aku mendadak terkejut saat ia dengan cepat berenang jauh kedalam mataku dan mengatakan sesuatu,
“Mas. bila engkau ada waktu, suatu saat, jika aku rapuh dan terjatuh,
maukah engkau memelukku untuk sekali saja.
Aku terdiam sejenak.
“Wulan, jika aku bisa menenggelamkan kembali matahari yang terbit pagi
ini, maka aku pasti punya kuasa untuk menolak permintaanmu.
Wulan nampak tersenyum memandangku. Lalu ia melepaskan genggamannya perlahan-lahan, dan menyodorkan minuman kopi jahe yang masih hangat kepadaku. Sebungkus rokok mentol ia keluarkan dari sakunya, lalu ia mengambilkan satu batang dan menyalakan untukku. Terima kasih Wulan. Kami tersenyum bersama. Mas Pras, apa yang mas bawa itu, boleh Wulan melihatnya. Lalu aku menyodorkan beberapa lembar kertas yang didalamya adalah bagian dari tulisan yang kubuat selama perjalanan. Ia nampak membacanya dengan seksama.
Hmmm....sejenak kemudian nampaknya Wulan mulai mengerti. Ia membalik satu-persatu lembaran yang ada. Aku terdiam menungguinya membaca. Tiba-tiba ia mengeraskan suaranya;
“aku melihat bendera itu,
berdiri diatas tiang-tiang kayu yang rapuh.
Anak-anak kurus berbaris melingkar-lingkar,
sembari menguraikan usus-ususnya yang berserak,
diantara kaki-kaki yang tak tegap,
namun ia tetap bernyanyi,
karena hanya lagu itulah yang ia mengerti.
Sementara aku terus melihatnya,
saat wajah-wajah itu berubah dan memutih
lalu mereka memburuku, sambi berteriak serak
merah-merah-merah”.
Wulan sejenak terdiam.
“Mas, apakah mereka telah kehilangan warna. Tanya Wulan.
“Mereka tidak hanya kehilangan warna, tetapi mereka sudah tidak bisa lagi melukiskannya. Karena sejarah yang selalu mereka baca, adalah sejarah yang tidak pernah punya warna. Dan kini mereka kehilangan lembaran-lembaran yang seharusnya mereka mengerti. Makanya, aku melihat diriku dan anak-anak itu menjadi pucat dan memutih. Mereka harus segera melewati batas itu, dan jatuh ditelaga yang hening untuk menari bersama gadis hujan. Agar mereka mengenal kembali, bahwa hidupnya telah lama terpenjara dalam satu warna. Wulan pun terdiam. Hingga terdengar lonceng berdentang sepuluh kali ditanggal ke tujuh belas. Tiba-tiba aku melihat bayangan kakek tua itu tersenyum dibatas langit, dan sebuah kecupan manis terasa mendarat dipipiku.

Sby, 00.07- 17/08/07
Ruang Sepi
eb32





Tidak ada komentar: