Minggu, 27 April 2008

SAYU

‘Dimanakah berhentinya angin
Saat ia merasa lelah untuk bergerak
Apakah tertidur dipucuh-pucuk rimba
Ataukah diam tertelan riuh resah kehidupan’

Sepertinya, serpihan angin ini telah menerbangkan belati-belati, hingga saat aku menghirupnya perlahan, goresan luka dihatiku semakin menganga. Bahkan ketika musim telah berlalu. Luka ini rasanya tak sembuh jua. Mungkin aku lebih baik menjadi edan, daripada bertahan dalam kehidupan yang sakit.
Malam itu, Winda berjalan menyusuri sisa harapan, menembus lorong-lorong pekat yang menyajikan kehampaan. Baginya hidup hanya tinggal menunggu janji, atas kematian yang sedang ia nanti. Perjalanan yang telah terangkai bersama Bagas, menjadi akhir dari tunas harapan yang harusnya bersemai. Laki-laki itu, kini terkulai menunggu sisa waktu, untuk sebuah kematian yang tak pernah ia harapkan. Lima hari lagi, selongsong peluru akan menembus dadanya. Demi menebus luka yang telah ia tabur, dari dendam yang tak terencakan.
Jalan nampak gelisah. Langkah Winda terlihat berat. Semua peluh ratap telah ia habiskan. Anginpun menahan hembusan. Berusaha mengerti kepanikan yang menggelayut dibenaknya yang rapuh. “Aku sudah tidak punya biaya, untuk melakukan pembelaan. Bahkan anak dikandunganku ini, tak tahu bagaimana harus kulahirkan”. Didasar hati, Winda meratapi kesedihan dengan lirih.
Sebuah lorong gang menganga didepan mata. Beberapa pemuda terlihat bersantai dan menikmati kegersangan harapan. Winda yang sedang menumpuk kegundahan berlalu tanpa menghiraukan tatapan mata yang terpancar menghiba. Sebuah kamar kecil berukuran dua kali tiga meter yang ia sewa bersama bagas penat menanti sepi. Ia segera masuk dan merebahkan diri disebuah kasur kapuk yang mengeras. Segera lamunannya menerawang menembus atap-atap rengat. Tanpa terasa, air mata kepedihan tumpah ruah membanjiri rona pipinya yang memerah.
***
Kandungannya sudah berumur delapan bulan. Tiap kali ia merasakan janinya menendang-nendang dinding rahim, seolah ikut larut dalam galau batin yang ia rasakan. Hanya tinggal perasaan keibuan yang membuatnya bertahan. Tak ada lagi yang bisa ia harapkan untuk bersandar. Bagas satu-satunya orang yang bisa ia ajak berbagi. Namun kematiannya esok, membuatnya tak memiliki siapa-siapa lagi. Semua keluarga Winda tewas dalam kerusuhan massal. Semua gara-gara KTP. Saat itu mereka mengadu nasib dipulau seberang. Keributan dengan issue sara semakin meluas. Karena ketegangan yang semakin mengganas, keluarga Winda pun menjadi korban. Mereka dibantai tanpa pertanyaan apa salah mereka.
Beruntung Winda tidak menyertai perjalanan menjemput nasib itu. Lelaki yang bernama Bagas telah mengucapkan janji untuk menjadi sandaran hidupnya kelak. Saat itu, Bagas mengantarkan keluarga Winda sampai dipelabuhan. Winda tidak pernah menyangka, kalau keberangkatan itu adalah pertemuannya yang terakhir.
***
Pagi mulai menggerayang. Menjamah kebekuan yang mengendap diantara retakan-retakan kegersangan. Winda sudah bersiap menuju penjara tempat suaminya ditahan. Patung tanah liat yang menjadi tabungan ia pecah dengan tangis yang mengiris. Ia membawa beberapa lembar uang yang diperlukan untuk membeli makanan kesukaan suaminya itu. Beberapa tetangga yang mengetahui penderitaan Winda hanya berani memandang dari balik kaca rumah yang gelap. Perempuan muda itu menuju warung mbok Marsini yang tak jauh dari bibir gang. Tak begitu lama sebungkus nasi pecel dan rempeyek udang ia tenteng dalam tas plastik.Bus kota yang kusam membawanya dikeriuhan jalan.
Perjalanan pagi terasa begitu lama. Berkali-kali Winda menarik nafas panjang. Ia duduk berhimpit disebuah kursi hitam yang kumal. Perasaan gundah terus bertalu. Dalam diam ia terus menguntai kata. “Mungkin aku tak sendiri. Diperjalanan ini setiap orang tentunya menyimpan kegalauan, akan nasib yang tak pernah dimengerti”. Lirih suara itu membekas diharinya.
Haahh....! Winda melepas nafasnya yang tertahan. Tak lama kemudian, ia kembali bergumam dalam hati. “Mengapa terlalu banyak hal yang kita simpan. Setiap perjalanan ini nyatanya adalah rentetan kepalsuan. Siapa didalam bus ini yang tahu, bahwa aku sedang membawa sekarung bara kepedihan. Mungkin begitu juga yang terjadi pada mereka”. Tapi semua hanya bisa diam. Atau bisa jadi, berbagi adalah aib yang akan menjadi cela. Ahh...Biarkan. Mungkin siapapun akan membawa kepedihan hidup hingga mati, dan hanya akan diceritakan pada tanah yang menemaninya kelak.
***
Winda merintih menguatkan diri. Pagi ini mendadak ia merasa seperti malaikat, yang tahu ketentuan dimana perjalanan akan berakhir. Empat hari lagi peluru itu akan bersarang ditubuh Bagas. Lalu aku akan terluka saat pemakamannya. Bahkan, anakku akan turut menghantarkan kematiannya, saat ia belum menjejakkan kaki dalam hidup.
Winda mencoba terus merangkai ketegarannya. Namun tak dapat dipungkiri, masih saja matanya terlihat berkaca-kaca. Sebuah saputangan telah ia persiapkan untuk menghapus buliran-buliran tipis air mata yang hendak menghujani benih kerisauannya. Ia segera bangkit saat kondektur menghentikan bus tepat didepan pintu masuk penjara. Beberapa orang memandanginya dengan perasaan bertanya-tanya.
Langkah kakinya terlihat berat ketika memasuki pintu gerbang. Dua orang petugas lapas memandangi kedatangan perempuan muda yang sedang hamil itu dengan perasaan iba.
“Mau menjenguk mbak?
“Winda hanya mampu mengangguk saat mendekati petugas lapas tersebut.
“Siapa yang akan anda temui?
“Suami saya pak, namanya Bagas. Jawab Winda dengan singkat.
“Silahkan anda menunggu didalam, nanti akan ada petugas yang membantu mbak.
“Terimakasih pak.
Lalu petugas itu memeriksa barang yang dibawa. Setelah pemeriksaan selesai, Winda perlahan-lahan memasuki ruang tunggu untuk para pengunjung tahanan. Winda menyaksikan kesekitar. Wajah-wajah pengunjung menyimpan murung yang menggunung. Tak berapa lama dua petugas lapas menemui Winda, satu laki-laki dan satunya seorang perempuan setengah baya. Mereka mengatakan tidak bisa membawa Bagas keluar sel tahanan. Karena sesuatu hal. Mereka mengajak Winda untuk menemui suaminya diruang tahanan. Winda menyepakati permintaan petugas lapas tersebut.
Mereka bertiga menyusuri lorong-lorong penat yang berhias mata-mata merah. Winda tak hendak memperhatikan mereka. Namun pemandangan dibalik jeruji hanya akan merunyamkan perasaannya. Langkahnya sampai dibelokan terakhir, tempat suaminya ditahan dalam sebuah sel khusus. Dengan cepat dua orang sipir memanggil Bagas untuk mendekat kepintu sel.
Tempat itu sangat pengap, bahkan lorong udara yang ada berukuran sangat kecil. Sejenak Winda memandangi suaminya dan tak mampu berkata-kata. Air matanya terus mengalir karena kecamuk perasaan yang bergemuruh. “Seandaikan dulu aku bisa menunda keluarnya mas Bagas lima detik saja, mungkin semua tidak berakhir seperti ini, bisiknya dalam hati.
Dua sipir penjara itu berdiri tidak jauh dari Winda. Bagas nampak tersenyum menghibur istrinya yang berdiri menjenguk kematiannya.
“Winda, sudahlah, tangis tak akan membawa semuanya kembali.
“Waktuku tinggal empat hari lagi.
“Mungkin aku akan merasa bersalah, karena meninggalkanmu dalam keadaan yang seperti ini.
“Aku tahu, kamu akan menanggung beban ini selamanya sendiri.
“Lalu aku akan segera terbujur kaku, dan tak akan mampu lagi mendengar jerit tangis anakku.
Winda hanya terdiam, menatap mata suaminya dalam-dalam. Ia seperti melihat cahaya keteduhan. Ia mencoba berenang semakin dalam, menapaki jejak-jejak perasaan lelaki didepannya yang tak secuilpun terlihat rapuh.
“Aku mungkin bisa menolak hidup, tapi aku tak akan bisa menunda kematian.
“Ini telah menjadi batas dari perjalananku.
“Simpanlah dengan baik sebagai kenangan.
“Jangan engkau jadikan semua ini beban dan keputusasaan.
“Aku tidak ingin menyiksamu lebih, setelah kematianku nanti.
Ia, mas...namun, kata-kata Winda terhenti, saat suaminya memintanya untuk tidak menangis lagi. Winda menuruti apa yang diminta suaminya. Lalu ia segera menyerahkan bungkusan makanan kesukaan Bagas.
Sebungkus nasi pecel dan rempeyek udang dilahap habis oleh Bagas. Tangan perempuan itu bergetar saat menyerahkan bungkusan plastik itu pada suaminya. Ia sangat sadar, bahwa makanan yang ia berikan hanya sekedar. Karena tak lama lagi keputusan itu akan berubah menjadi takdir. Winda tersenyum lekit melihat suaminya berusaha menyembunyikan kepedihan yang teramat dalam. Mungkin ia bermaksud meneguhkan jiwaku, jerit Winda. Kedua sipir itu tiba-tiba mengingatkanku akan batas waktu berkunjung. Aku mengabaikan saja kedua sipir yang memperingatkan batas waktu. Waktuku sudah terbatas. Tanpa siapapun yang membatasi. Namun sedikit waktu ini, bairlah mataku menatap suamiku. Untuk melapaskanya sesaat lagi. Tak lama kemudian, kedua sipir itu menarik lenganku. Mereka segera mengajakku kelauar. Aku hanya diam dan mengikuti saja. Meski setiap langkah kakiku meninggalkan suamiku terasa meremuk hati.
Keesokan harinya aku kembali ke penjara. Kali ini aku meminta sipir untuk memberikan keluasan waktu untuk menemani suami diakhir-akhir hidupannya. Selama tiga hari sisa hidupnya, mas Bagas banyak bercerita kepadaku tentang apa saja yang pernah ia alami. Ternyata terlalu banyak lipatan tersembunyi yang tak sempat kubaca. Hanya karena Ia tidak ingin aku menderita dan marah jika ia menceritakan sejujurnya. Aku benar-benar baru mengerti sesungguhnya suamiku justru disaat-saat akhir kehidupannya. Kadang kami merasa terharu dan sesekali tertawa lirih.
***
Pukul duabelas malam dihari kelima. Aku termenung sendiri disebuah ruang sepi disamping penjaga lapas. Berkali-kali sipir itu memintaku untuk pulang. Namun aku berusaha keras menolaknya. Ia suamiku, dan itu satu-satunya yang kumiliki. Aku harus menemaninya, meskipun malam ini ia harus mati.
Sebuah mobil bercat hijau tua bertuliskan “mobil tahanan” memasuki gerbang penjara. Nampak beberapa petugas yang berseragam lengakap keluar dari mobil itu. Dari dalam penjara terlihat beberapa orang sipir tahanan membawa suamiku yang tangannya terbogol untuk masuk mobil yang sudah disiapkan. Aku segera berlari mendekat dengan kandunganku yang tersa berat. Namun beberapa sipir segera bereaksi menghalau. Suamiku menoleh sesaat, ia melemparkan sebuah senyuman kepadaku sebagai senyuman perpisahan. Bibirnya nampak bergetar mengatakan sesuatu. Lalu Petugas yang membawanya menghentikan langkah dan memanggilku untuk mendekat. Sesaat aku memeluk mas Bagas dan mencium keningnya yang berkeringat. Aku sudah tak sanggup lagi meneteskan air mata, karena akan menjadi beban bagi perjalanan kepasrahannya.
Petugas segera menggiring suamiku masuk ke mobil tahanan. Beberapa aparat beserta didalamnya memberikan pengawalan. Suara mesin dinyalakan. Dengan segera mobil itu menderu meninggalkan penjara meluncur tertelan keremangan. Dor...dor...dor...., aku membayangkan suara itu tepat pukul satu malam. Aku menangis sekuat tenaga.
***
Pagi ini nampak buram. Langit mendung bergelayut menaburkan benih hujan yang datang merintik. Aku menunggu jenazah suamiku dipemakaman dengan terpaku beku. Menurut aparat, mereka akan membantu pemakamannya, dengan pertimbangan karena aku dan suamiku sudah tidak memiliki keluarga lagi. Ayahnya meninggal dunia karena tertimpa tembok pasar yang dihantam bolduser saat ia menolak penggusuran. Lalu ibunya meninggal karena serangan jantung yang menimpanya saat ketakutan tempat berjualannya diobrak dan digusur oleh aparat.
Aku sangat terkejut, mengapa begitu banyak orang yang hadir dipemakaman ini. Hampir semua pedagang pasar dan mereka yang berada di gang tempat aku menyewa kamar kos ikut serta. Mereka semua segera mengerubungi sambil memandangiku iba. Aku baru menyadari kalau mereka semua berempati atas vonis mati yang dijatuhkan pada suamiku. Meskipun ia terbukti sebagai pembunuh yang sudah menghilangkan empat nyawa. Seorang pengusaha, kontaktor beserta anaknya dan salah satu preman yang menjadi pengawalnya. Mereka semua menjadi korban amarah suamiku. Ia sangat dendam atas kematian ayah dan ibunya. Dua kematian yang disebabkan oleh kerakusan pengusaha dan kontraktor.
Mobil jenazah terlihat merambat memasuki pintu pemakaman. Orang-orang yang sedari tadi menunggu segera bangkit berlari untuk mengangkat jenazah yang terbalut peti mati. Beberapa ibu segera memapahku untuk menunggu didekat liang lahat. Air mataku mulai terurai. Janin diperutku terasa menendang-nendang seolah mengerti apa yang sedang terjadi.
Para pelayat itu dengan serentak mengangkat peti jenazah menuju ketempat aku menantinya untuk yang terakhir kali. Peti itu diletakkan perlahan-lahan. Beberapa paku dicabut sehingga tutup peti bagian atas mulai terbuka. Nampak didalamnya terbujur jasad kaku terbungkus kain putih yang dilapisi plastik. Prosesi pemakaman segera dimulai. Aku hanya bisa menitikkan air mata. Perempuan-perempuan yang ada disekitarku juga tidak sanggup menyembunyikan kesedihannya. Mereka semua larut dalam isak tangis yang mendalam.
Tanah urukan mulai diturunkan. Tak berapa lama jasad suamiku tertelan bumi. Tiba-tiba aku meraskan kepalaku begitu berat. Suasana sekeliling menjadi gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa. Tubuhku jatuh tersungkur ditanah basah pekuburan. Hanya suara-suara teriakan yang berkali-kali terdengar memanggilku, dan tak lama kemudian suara-suara itu menghilang entah kemana. Dunia menjadi sangat gelap.
***
Aku terbangun disebuah sore. Sekujur tubuhku terasa sangat lemas. Tanganku tak kuasa untuk digerakan. Sebuah selang kecil terpasang rapi dengan botol infus yang tergantung disamping tempat tidurku. Seorang lelaku muda yang bermata teduh segera mendekatiku, diikuti beberapa perempuan tua yang ternyata adalah tetangga kosku. Mereka nampak tersenyum dan gembira melihat aku kembali tersadar. Lalu mereka mengabarkan kepadaku atas kelahiran anakku. Dokter mengambil keputusan untuk dioperasi karena menyelamatkan bayi dalam kandunganku.
“Anakmu laki-laki Win”, ucap lelaki muda itu. Sesaat aku menikmati gelora kebahagiaanku yang membuncah. Tetapi air mataku tak mampu berbohong, bahwa aku tetap memendam rasa kehilangan yang teramat sangat. Meskipun aku kini mendapati disekililingku orang-orang perduli, yang bisa sedikit mengobati kelabu hatiku. Mendadak aku tergeragap, dan menanyakan kepada mereka tentang pembiayaan operasi persalinanku. Aku sadar, jika aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk menyelesaikan semuanya. Tabungan itu sudah aku pecah dan tak menyisakan sedikitpun uang. Namun laki-laki itu tersenyum teduh. Sudahlah Win, kamu istirahat dulu, tidak usah berfikir masalah pembayaran. Toh semua tetap dibayar dengan uang kan. Laki-laki itu nampak menghiburku, disertai tawa kecil beberapa ibu-ibu yang menemaniku.
Beberapa hari setelah aku mendapatkan perawatan, dokter mengizinkan untuk pulang. Sesuatu yang membahagiakan. Namun segera aku tersadar bahwa kepulanganku adalah awal yang baru. Aku tidak punya pekerjaan, hidup disebuah kamar kos dengan seorang bayi kecil yang membutuhkan biaya untuk merawatnya. Untuk sementara, kupendam semua kegelisahanku, saat ibu-ibu tetangga kos menjemputku beramai-ramai. Semua biaya persalinan dan perawatan sudah dilunasi oleh lelaki muda itu. Ucap ibu-ibu itu kepadaku. Hatiku sedikit lega, meski selalu bertanya-tanya siapa sebenarnya lelaki muda itu.
***
Beberapa minggu telah berlalu. Setelah suamiku meninggal, aku menjadi sibuk sendiri mengurus anakku yang masih bayi. Lelaki yang menolong persalinanku ternyata adalah pemuda yang sangat baik. Ia selalu memberikan apa yang aku butuhkan dimasa sulitku. Aku pernah menanyakan dengan jujur, apa maksud dia dengan semua ini. Namun lelaki muda itu diam saja dan malah beranjak pergi, setelah meninggalkan beberapa uang dan kebutuhan untuk anak lelaki kecilku.
Semenjak saat itu, laki-laki muda tidak lagi datang ketempatku untuk mengantarkan beberapa kebutuhanku. Mungkin kata-kataku membuatnya tersinggung. Semenjak saat itu ia selalu menitipkan barang-barang kebutuhanku kebeberapa tetangga sekitar tampat kostku. Suatu saat aku mencoba menanyakan pada mereka siapa sesungguhnya laki-laki itu. Namun mereka juga diam, seperti ada rahasia yang disimpan, bahkan hanya untuk sekedar memberitahu namanya saja. Semua ini membuatku semakin bertanya-tanya. Aku sadar, bahwa saat ini aku telah menjadi janda. Parasku memang cantik, banyak lelaki yang ingin mendampingiku. Bahkan orang-orang di gang tempatku menyewa kamar selalu memanggiku dengan sebutan “sayu”, karena mereka merasa teduh ketika melihat tatapan mataku.
***
Pagi ini aku membersihkan kamar kos-kosanku yang sedikit terserak. Aku menata baju-baju peninggalan suamiku untuk aku kuburkan bersama kenangan yang terlanjur pedih. Mendadak laki-laki muda itu datang kerumah dengan beberapa barang bawaanya. Aku tertegun sejenak dan mempersilahkan dia masuk kekamar. Ia langsung menimang anakku yang saat itu baru saja terbangun. Sejenak aku pandangi ia dengan tatapan yang rapuh. Air mataku menetes perlahan. Aku tidak percaya masih ada lelaki yang sebaik dia dengan sukarela membantu kesulitanku.
Aku harus bicara, aku harus bicara. Gumamku dalam hati.
“Mas, saya sangat berterimakasih atas semua bantuan mas.
“Tapi, saya tidak bisa terus-terusan begini.
“Bahkan sampai kini, nama mas saja saya tidak tahu.
“Semua orang disini seolah menyembunyikan sesuatu yang aku tidak boleh untuk
mengetahuinya.
Lelaki muda itu sejenak terdiam. Ia meletakkan anakku yang kembali tertidur dalam pelukannya perlahan-lahan. Lalu ia duduk bersandar ditembok kamar tepat disamping pintu. Akupun segera duduk tepat berhadapan dengannya.
“Win... baiklah kalau kamu benar-benar memintaku untuk bercerita
Namaku Hardi, aku memang belum berkeluarga. Namun sesungguhnya, aku berbuat seperti ini bukan hanya karena aku iba melihatmu. Tetapi....., mendadak pria itu menghentikan ucapannya sejenak. Win.., ia melanjutkan pembicaraannya. Aku dan keluargaku, dan banyak orang memiliki hutang budi yang tak terbayar kepada suamimu, bahkan kedua orang tuanya. Bagas dan ayahnya adalah orang yang telah menebus budinya dengan nyawa mereka sendiri. Bagi orang lain mungkin ia seorang pembunuh, tetapi bagi kami, mereka adalah nafas dan detak penyambung kehidupan kami dan semua keluarga kami. Karena mereka penggusuran itu digagalkan. Sehingga kami semua masih dapat berjualan sampai sekarang, dan bahkan tempat kami berjualan itu, kini sudah dibangun menjadi lebih baik, sementara kami tetap menjadi pemilik tempat itu. Ini semua berkat kenekatan mas Bagas, yang sudah tidak mampu lagi membendung kepedihannya. Karena kedua orang tunya meninggal atas tragedi yang sama. Tiga nyawa telah ia pertaruhkan untuk menghentikan kerakusan segelintir perut. Mereka adalah pahlawan bagi kami, meskipun ada yang menghujatnya sebagai pembunuh.
Hardi nampak tidak kuas menahan air matanya, saat ia menuturka apa yang dialami mas Bagas dan keluarganya. Sementara Winda hanya tertegun mematung diantara perasaan sedih dan bahagia yang beraduk.
Sebelum pulang, hardi mengeluarkan lembaran-lembaran kertas yang ternyata berisi catatan-catatan yang ditulis suami Winda didalam tahanan untuk anak dan istrinya.
“Sepertinya, serpihan-serpihan angin ini telah menerbangkan belati-belati, hingga saat aku menghirupnya perlahan, goresan luka dihatiku semakin menganga. Bahkan ketika musim telah berlalu. Luka ini rasanya tak sembuh jua. Mungkin aku lebih baik menjadi edan, daripada bertahan terus menyaksikan kehidupan yang sakit”. (Bagas, semua harus diakhir, sebelum banyak air mata mengalir)

“Win, malam ini tataplah sesekali wajah bintang. Biarkan pijar cahaya itu mengembun dalam tangkai hatimu. Agar nafas tak mengeringkan ia, dan patah kemudian”. (Bagas, bila engkau merasa sepi dan patah)

“Malam ini, bila tangis itu menjadi ratap pengakuan, adakah tawa menjadi tempat bersembunyinya air mata. Lalu dimanakah terbenamnya mimpi yang datang tadi pagi, yang membuat langit runtuh dan bintang-bintang terjatuh. Padahal, diujung gerhana itu, aku masih kuasa menunggu purnama memerah dengan senyum rembulan. Meski yang kutemui hanya bintang sebiji dan mendung setangkai”. (Bagas. Saat aku melihat tangismu dimalam terakhirku).

“Win, aku sangat mencintaimu, namun dalam perjalanan ini, kamu tak perlu melangkah sendiri”. (Bagas, batas akhir)

Pagi itu, Winda tenggelam dalam tiap gores catatan-catatan dengan isak tangis yang membahana.


Batas Kegalauan
22/08/07 - 00.13
Sby
eb32

Sabtu, 05 April 2008

Hanya sekedar

aku hanya sekedar air yang mengalir diantara kerelaan lembah dan ngarai.
Aku hanya sekedar angin yang berhembus diantara kerelaan ranting dan dedaunan.
Dan aku hanya sekedar mimpi yang hinggap pada jendela lapuk kamar-kamar pengharapan.
dan aku hanya sekedar api yang menyajikan hangat bila sang nona merasa kedinginan.

Dan kini, aku adalah pelacur yang tertuduh itu.
yang termaki karena kerelaan.
Yang terbuang karena kebosanan.
karena petangmu kini.
hadir tanpa rasa.

2008 Maret 26 21:18

singgah

Seharusnya aku singgah dirumah ini.
merapatkan diri diantara keretakan dinding-dinding yang kusam.
Mendengarkan sepi yang mengalun diantara desahan waktu.
menatap gambaranmu hingga bayangannya tak hendak beranjak.
dan waktu semakin malam
memakan mimpi yang hendak menemui pagi
aku semakin kelelahan
menghentikan tetes air yang meriuhkan atap rumah.

Jumat, 21 Maret 2008

TERJADI JUGA

Yang kemarin bukan lagi semu
aku masih asyik dikantor teman
suasana sepi karena liburan
maklum ada moment peringatan hari kelahiran

diluar badai
petir terdengar sangat keras
ada perasaan gak enak...kontrakanku.
Waduh..yang dulu dari Tenggilis pindah karena sering banjir, sekarang aku kena batunya lagi
Kontrakanku atapnya berjatuhan
roboh, basah, banjir didalam rumah
Bukan mimpi.
Setelah aku pulang, semua yang kutemui sama dengan yang ada dalam perasaanku
Untung ada teknisi bangunan yang sigap
Ditelp, datang dan memperbaiki
Ahh....capek juga
sore ini 21 april
Hujan mulai turun merintik
Tetapi angin begitu kencang

dan petir seperti tergesa-gesa menerjang apa saja
Aku menjadi cemas
Jika gentingku berjatuhan lagi
Padahal
Saat ini aku berada ditempat yang sama
dimeja yang sama
seperti kemarin
saat gentingku roboh
dan banjir menggenang didalam rumah.

Selasa, 04 Maret 2008

Tentang Kehilangan

Tak ada yang hilang
Hanya bersembunyi dibalik rongga
Terselip diantara lipatan kata
Seperti catatan2 yang telah ku lupa
Dan mimpi-mimpi yang terbuang sirna
Setiap hari, tak ada yang disesali
Seperti air Ia mengalir

Perjalanan Waktu

Seperti perjalanan waktu.
Sebagaimana jeda kata.
Semisal titik dan koma.
Kadang terhenti dan terlalui.
Barangkali, disetiap jejak langkah.
Masih ada goresan yang harus dimengerti.
******

Namun ada juga
Yang berlari diujung hari
Menggantungkan hidup, diantara ikat dan temali.
Menjulurkan tangan pada kehampaan.
Menggerayangi mimpi yang tak juga dimengerti.

Sakit

ada kematian
yang datang tanpa tangis
karena hujan telah menggantikan derai
dan rintiknya membekas darah

aku hanya bisa diam
menatap hiruk kesaksian
seorang perempuan tua
yang bertahan dengan periuk nasinya
disebuah pagi
dari preman penguasa kebijakan

Minggu, 24 Februari 2008

Cermin

Disini gerimis.
Aku tahu kau melihatnya.

Rumput-rumput mulai tumbuh.
Aku tahu kau juga memandanginya.

Bunga-bunga bermekaran.
Aku tahu kau sedang memetiknya

Tanah-tanah menjadi basah.
Aku juga tahu kau menyaksikannya.

Tapi hatiku semakin kering.
Dan aku ragu jika engkau merasakannya.

>>>>>
Seperti yang aku lihat disetiap pementasan teater.
Dan ataupun panggung lain yang disuguhkan untuk ku nikmati. Di lobby hotel, dicafe-cafe, pada mall-mall, dikampung-kampung kumuh, ditempat pelacuran, dan pada ruang manapun ada pertemuan ragawi tiap-tiap pemeran kehidupan.

Maka, aku seperti menyaksikan fragmen yang memukau sedang diperankan.
Tapi tak selalu kulihat, bahwa yang nyata itu sedang menyimpan lipatan kecil.
Yang tersembunyi dibalik perasaannya.
Semua tertutupi. dan selalu nampak sempurna.
Sebagaimana kerut wajah yang diingkari.
Seperti tubuh yang selalu dibalut pakaian warna-warni.

Begitulah kehidupan.
Dan seperti itulah keadaan.
Yang nampak pada cermin.
Selalu tidak utuh untuk dimengerti.

Dan karena cermin.
Semua belajar untuk mengingkari.

Sabtu, 23 Februari 2008

Biar saja

kenapa harus menertawakan mati?
Apa tak juga tersadari, jika pertarungan itu terus berlanjut, tidak seperti saat saat merepih kematian, yang tak kunjung terlalui.
Meski.
Keberadaan itu hanya sementara, dan angin seperti mau bertiup kesana.

Namun tak juga termengerti, bahwa nafas yang merangkak itu sia sia, dan apa yang mau dikatakan?dan apa yang mau dilakukan?mau tertawa?lebih baik diam..lebih baik tak mengerti...lebih baik begini..lebih baik, dari pada mencarimati..

Hmmmmmmmmmmmm, Tapi...
Aku hanya anak kecil yang belajar menyalakan api pada ranting-ranting kering.
Seandaikan kelak.
Hutan rimba itu mampu terbakar.
*****

Namun angin bertiup begitu kencang
Dan hujan datang mencumbui kegalauan
Basah, namun tak menggigil
ku kejar dingin
tapi ia menghilang

Bertaruh untuk sebuah mimpi

., tiTiK KomA

aku kembali menerka-nerka .
ada yang berubah, ada yang tak lagi bergetar.
pada hujan yang tiba-tiba di dalam rumah.
aku ingin keluar, tadinya dia di sana.
di antara gelap subuh dan pohon-pohon basah.
melambai-lambaikan harapan di antara kecanggungan.

dia telah mendengar kematian yang sebentar lagi datang.
meresak serupa biola di dekat mata.
dan.
aku mulai mendengarkan apa yang ingin dia dengar.
raut mukanya suram memandang kehidupan.
namun mata itu telah menatap panjang
tak telanjang.
serupa kaki yang sedang menjejak .

sanksi, namun ia bertahan.
tak hendak pergi .
****


dan.
benar,
bisa jadi akulah tertuduh itu.
orang yang sedang sinis karena menemukan hujan itu turun didalam rumah.
Padahal sore nanti,
anak-anak katak harus belajar bernyanyi.
untuk sebuah musim yang sedang mereka nanti .
akulah orang yang terlampau cemas .
pada hujan yang kudapati hanya didalam rumah.
dan bagaimana jika kelak.
pesta itu berjalalan.
tanpa anak-anak katak yang mampu bernyanyi .

APOLOGI
atau aku memang telah keliru
mengenali waktu yang berdetak
disaat mata mulai rabun
dari sebuah kamar yang lapuk
tentang katak dan semut

Sinis-me
itu
dulu,
disebuah zaman
diantara batu dan kayu
didalam lipatan buku-buku
hadir dimataku
seperti belati
putih dan suci

SAMPAI DI MIMPI SELANJUTNYA..............!

Jumat, 22 Februari 2008

Sebuah kata untuk KU

Tidurlah dan pejamkan kedua matamu yang parau.
Malam ini kau telah mampu mengamas air mata.
Menjadi cinta atau hujan saja.
Membiarkannya mengalir dan pergi tanpa kaki,
terserak bak daun-daun yang dilupakan musim.
Namun semua terasa beda.
Saat kerapuhan tak lagi bisa.
Kau simpan atau sedekahkan.
Bahkan saat hujan yang tiba-tiba turun.
Dan mengalir didalam rumah.

22,feb,08
Meja merah

Jejak Itu Luka

Eb.32

Masih seperti biasanya, malam itu jalanan nampak padat dan merambat. Hampir tak ada beda antara siang dan malam. Mungkin itulah yang membuat pak tua yang menjadi tukang tambal ban ditepi jalan raya itu seringkali becerita tentang matilah dijalan yang lurus. Nyatanya begitulah yang terjadi, jalan lurus yang membelah ditengah kota itu hampir setiap hari terjadi kecelakaan. Matanya yang sipit dan kulit wajahnya yang kian keriput membuatnya seperti terpejam saat terbahak-bahak mentertawakan ceritanya sendiri. Beberapa orang yang sedang menambal ban ikut tertawa-tawa terbawa oleh cerita itu.
***
Sebuah malam menjelang pagi. Debu-debu mulai berterbangan menghias ruas jalan. Anak-anak sekolah, pengendara sepeda motor, kendaraan umum, mikrolet dan bus serta truk-truk berebut jalan saling mengejar waktu. Sementara dimalam hari yang seharusnya sepi hampir tak ada beda. Semua melaju berderet dan berdempet mencari cara untuk bisa sesegera mungkin mendahului. Maka tak ayal, punggung jalan raya terlihat semakin lusuh dan lunglai. Lekukan-lekukan karena tindihan beban dan lubang-lubang korosi terlihat disana-sini.
Empatbelas tahun yang lalu Tarjo masih menyaksikan deretan sepeda-sepeda kayuh menghiasi sepanjang jalan. Sementara kendaraan yang lalu-lalang terasa sepi, saat ia kembali mudik ke desanya menjelang liburan hari raya. Klakson kendaraan juga terdengar tak sekeras saat ini.
Pagi itu ia memulai perjalanan, setelah hampir lima jam berebut untuk mendapatkan keberuntungan bisa mudik dengan bus dan tempat duduk ke kampung halamannya. Sudah hampir empatbelas tahun ia tidak pernah pulang menengok orangtua dan saudara-saudaranya. Pekerjaan yang kurang menentu tidak memungkinkan ia untuk seringkali pulang kerumah mengunjungi mereka. Bahkan ketika ia mendengar saudara-saudara tuanya meninggal dunia, ia hanya bisa berdoa dari kejauhan. Mungkin dengan itu, ia akan semakin dicap sebagai saudara yang tak tahu diri. Namun begitulah kenyataanya. Ia telah siap untuk berbesar hati jika keluarga dikampung tidak bisa menerimanya dengan baik.
Bus yang ia naiki sudah penuh sesak, namun kondektur dan kenek masih terus berusaha mencari tambahan penumpang. Suara-suara sumbang menggerutu mulai terdengar dari beberapa orang yang lelah berdiri berdesakan. Mengumpat dan mencaci keadaan yang mereka alami. Aroma pengab membuat mereka mudah naik pitam. Belum lagi udara panas yang mulai mengalir disela-sela perasaan yang terpercik api amarah. Sungguh tidak manusiawi, Tapi disaat yang seperti ini pengusaha mana yang perduli kemanusiaan, karena dalam keadaan ekonomi yang serba berhimpit, arti kemanusiaan menjadi sulit untuk difahami, gumam Tarjo melepas penat.
Tiba-tiba terdengar suara mesin dinyalakan. Para penumpang merasa lega, bahkan tanpa dikomando mulut mereka serempak berucap haaaa, sebagai tanda kegembiraan karena perjalanan akan segera dimulai. Beriring dengan kegembiraan itu, klakson bus-bus yang ada dibelakangnya terdengar berteriak hebat, disertai raungan mesin yang riuh bergemuruh. Sesaat telinga-telinga yang ada didalam bus serasa diumpat oleh suara riuh yang memekakkan.
Akhirnya, bus ekonomi yang lusuh dan kusam itu perlahan mulai melaju meninggalkan lautan manusia yang membumbuhi wajahnya dengan aroma masam. Suara krenyit per dan baut yang berkarat terdengar seperti rintihan kerisauan yang menggalau. Namun begitu, para penumpang yang ada nampak mulai tersenyum. Sebuah harapan akan pertemuan dengan sanak famili tergambar lagi dalam raut wajah-wajah yang kering .
Ditengah keriuhan perasaan bahagia penumpang bus itulah Tarjo hanya diam termangu. Pandanganya menerawang tanpa batas. Angannya melambung dipucuk kegalauan. Kepulangannya kali ini tentu tanpa disertai dengan cerita bahagia. Semenjak dahulu ia adalah keturunan yang telah dianggap gagal. Berkali-kali orang tua dan saudaranya memberi bantuan agar hidupnya menjadi lebih baik. Namun bantuan-bantuan itu tidak pernah menolongnya. Justru keadaannya kian hari kian terpuruk. Banyak dari anggota keluarganya yang kecewa atas keadaannya. Sampai suatu saat ia telah dianggap benar-benar menjadi aib.
Semua keluarga telah kehilangan kepercayaan pada diri Tarjo, bahkan tidak jarang keponakannya sendiri mengumpatnya tanpa tanda hormat. Tarjo hanya bisa diam dan sabar atas itu semua. Ia tetap saja berusaha bersikap baik dan tidak memendam perasaan marah dihatinya. Apalagi saat ini, jika ia memberanikan diri pulang berkumpul dengan mereka semua, tentunya ia akan merasa semakin terasing. Kakak dan adiknya yang dapat menyelesaikan perkuliahan kini sudah bekerja pada instansi pemerintah dan adiknya yang perempuan bekerja disebuah perusahaan besar otomotif. Mereka adalah anak-anak yang berhasil membawa harum nama keluarga. Sedangkan Tarjo sendiri tidak pernah menyelesaikan perkuliahannya sampai pihak akademis mengeluarkan surat DO. Bahkan ia sendiri sudah seperti orang yang terbuang dari keluarga itu.
Pakaian sederhana, sepatu lusuh dan tas ransel yang warnanya mulai memudar melekat menjadi penghias perjalanan. Rambutnya sedikit kumal, namun matanya yang jernih membuat siapapun meresa teduh untuk memandangnya. Mata itu seperti hamparan samudera yang berombak landai, berangin spoi. Menyejukkan bagi siapapun yang memandangnya dengan kegalauan hati.
Teman-teman seangkatan Tarjo sudah banyak yang sukses. Mereka ada yang menjadi politisi, pengamat, birokrat, anggota dewan dan kontraktor. Ada juga yang memiliki LSM terkenal dan mendapatkan banyak bantuan keuangan dari luar negeri. Rata-rata mereka sudah memiliki mobil-mobil mengkilap, rumah tinggal dan disertai keberadaan istri dan anak.
Mendadak orang tua yang berambut putih dan duduk dibangku sebelah menyela diantara ketermanguan Tarjo. Nak, anda mau kemana? Tanya pak tua itu dengan sopan. Saya mau pulang ke orang tua saya pak. Baguslah, kamu masih punya orang tua. Jadi masih banyak yang bisa kamu lakukan dengan mereka. Pak Tua itu kembali terdiam. Matanya berkeliling mengamati sekitar. Sepertinya ada sesuatu yang dipendam lewat kata-kata itu.
Nak Tarjo, pak Tua itu memulai kembali pembicaraannya. Bapak ini sedari kecil sudah tidak mengenal orang tua bapak, bahkan sekedar fotonya saja bapak tidak punya. Menurut cerita, mereka semua dibawa oleh aparat pada suatu malam menjelang subuh. Kepiluan itu rasanya masih belum cukup mendera, bapak juga kehilangan satu-satunya anak yang dulu pergi berpamit untuk ikut transmigrasi, sampai sekarang tidak ada lagi kabar beritanya. Bapak sudah berusaha mencari tahu keberadaan mereka, tapi pihak pemerintah tidak pernah memberi jawaban yang pasti. Sampai-sampai bapak sekarang pasrah, dan tidak sanggup lagi kalau harus bertanya.
Tarjo dengan serius mendengarkan keluh kesah pak tua itu yang membelah keriuhan perjalanan. Berhimpit diantara derit dan raungan bus, serta gelak tawa orang-orang yang berdesak sekedar menghibur diri dari kepenatan. Ia menyadari betapa keresahan jiwa pak tua itu tidak akan dapat dibasuh hanya dengan kata-kata yang sejuk.
Sejenak pak Tua itu terdiam, keningnya nampak berkerut sedang mengingat sesuatu. Sudahlah nak, mungkin ini sudah garis nasib dari perjalanan hidup bapak. Lelaki tua itu menghela nafas panjang. Maaf pak, kalau boleh saya tahu bapak ini berasal dari mana, atau saat ini bapak juga akan mudik, Tarjo mulai bertanya. Lelaki tua itu kembali terdiam. Bapak tidak mudik nak, karena sebenarnya bapak tidak punya rumah. Saat ini bapak bekerja menjadi tukang sapu dan pembuat minuman disebuah kantor. Mereka menerima bapak hanya karena rasa kasian saja. Ditempat itulah setiap hari bapak tinggal, disebuah ruang kecil bekas gudang yang tidak dipakai diperbolehkan untuk bapak tinggali.
Tarjo terlihat mengangguk, sejenak ia memandang sosok tua tersebut dengan seksama. Lalu ia kembali bertanya. terus mengapa bapak ikut berdesak-desakan bersama orang-orang yang mudik. Seandaikan bapak bisa menjadi batu, maka bapak akan diam dan mematung disuatu tempat, jawab orang tua itu dengan tenang. Orang-orang dikantor memang tidak ada yang mengerti bahwa bapak tidak punya famili dan tempat tinggal, dan bapak tidak ingin mereka semua terbebani oleh keadaan bapak. Makanya bapak pura-pura ikut mudik. Meskipun bapak sendiri tidak mengerti mengapa harus melakukan ini.
Keduanya menjadi terdiam, langkah kondektur yang sedang menarik uang tiket berdesak diantara deretan penumpang yang berjejal. Sesekali terdengar ocehan para penumpang karena harga tiket dinaikan melebihi batas normal kenaikan. Tarjo dan pak Tua itu segera menyerahkan uangnya saat kondektur itu sampai disamping tempat duduknya. Suara deru mesin semakin keras. Laju kendaraan tua itu dipacu diantara deretan mobil-mobil dan truk-truk yang berhimpit. Sesekali badan bus terayun kekiri dan kekanan.
Tarjo dan pak Tua hampir tak menyisihkan waktu untuk memperhatikan padatnya jalanan. Mereka berdua larut dalam alur perasaan yang mendalam, dan berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Entah mengapa Tarjo hari itu bisa dengan lepas mengalirkan tumpukan kegalauannya yang sudah menggunung pada pak Tua itu. Ia memulai bercerita saat baru memasuki perguruan tinggi dan bertemu dengan kawan-kawan yang sama-sama memupuk idealismenya. Namun perjalanan telah mematahkan gagasan-gagasan besar yang pernah mereka perjuangkan bersama-sama. Kini Tarjo hanya tinggal sendiri, menunggui bangunan idealisme tersebut hingga tak satupun termakan rengat. Hari-harinya diisi dengan mengajar anak-anak jalanan dan kurang mampu, membantu masyarakat miskin dengan apa yang ia bisa. Sementara kawan-kawannya sudah sibuk menghitung upeti dan kekayaan yang mereka dapatkan didalam rumah barunya.
Pak Tua itu mengangguk. Memandang Tarjo hingga kelubuk hatinya. Ia seolah merasakan keras dan keteguhan anak muda yang ada disampingnya seperti gunung batu. Kamu sekarang menjadi miskin kan? Tiba-tiba pak Tua itu menyela. Mereka semua yang dulu pernah menjadi kawanmu, kini telah dengan sadar melupakan dirimu. Itulah hidup nak, dan disinilah bukti, bahwa kebenaran yang sesungguhnya tak pernah bisa dimengerti. Sudah banyak orang yang menjalani sesuatu tanpa harus dimengerti. Pengertian itu tidak lagi menjadi penting. Karena mereka merasa bahawa apa yang nyata dan yang mereka jalani itu lebih dari pengertian. Seperti bapak dan orang-orang yang bersama-sama mudik kali ini. Keadaan-keadaan inilah yang membuat siapapun menjadi semakin terasing. Terbawa pada suatu arus perputaran waktu. Orang sepertimu hanyalah salah satu yang mau menyangsikan kebenaran dari arus perputaran waktu itu. Saat kamu melemparkan diri dari kenyataan, mereka menganggapmu telah tersesat, aneh dan bodoh. Begitu juga dirimu saat memandang mereka semua. Seperti barisan bebek yang mengikuti arah berjalan tanpa mengerti kemana langkah berujung.
Bus itu perlahan menghentikan lajunya untuk menurunkan beberapa penumpang disebuah terminal. Namun ditempat pemberhentian itu juga sudah menunggu banyak penumpang yang hendak menuju kampung halamanya. Beberapa pengamen terlihat menelusup diantara penumpang yang sudah penat. Ocehan ringan sebagai pembuka mereka lontarkan. Sebuah lagu Ebit G Ad yang menceritakan tentang perjalanan yang menyedihkan menjadi ironi yang nyata. Telinga penumpang yang mendengar seperti ditusuk-tusuk oleh belati keresahan.
Pak Tua itu nampak tersenyum, sembari menyiapkan beberapa uang recehan ditangannya. Perlahan-lahan bus itu melaju diantara deretan penumpang yang mengantri, beriring nyanyian para pengamen yang terhimpit oleh sesaknya tubuh-tubuh kumal kaum kelas ekonomi. Perjalanan itu memang susah untuk dimengerti, pak Tua itu mengulang kembali kata-katanya. Tarjo hanya diam mengangguk, merasakan kedalaman setiap kata dari pak Tua yang hanya tukang sapu itu, meskipun Tarjo sendiri adalah orang yang sangat dikenal dikalangan para budayawan aktivis dan kaum pergerakan sebagai orang yang memiliki kedalaman pengetahuan. Namun ia lebih memilih untuk bertahan hidup dalam prinsip dan pemikirannya.
Tak berapa lama pak Tua itu berdiri. Tarjo sangat terkejut melihat hal itu. Bapak akan turun disini, ucap Tarjo terperangah. Benar, jawab pak Tua itu. Mengapa pak? Tanya Tarjo mendesak. Sedari tadi bapak sudah katakan nak Tarjo, bahwa bapak tidak memiliki tujuan, dan betapa hidup memang benar-benar susah untuk dimengerti. Seperti pilihan bapak untuk turun ditempat ini, bapak juga tidak mengerti. Tapi satu nak, yang bapak mulai mengerti, bahwa kamu adalah orang yang baik, namun kehidupan ini yang sedang membangun nilai, dan dirimu ada disebuah persimpangan. Tarjo terperangah dengan kata-kata yang menyindir itu.
Orang muda yang gelisah itu hanya bisa diam memandangi pak Tua yang menyodorkan tangan kepadanya sebagai tanda perpisahan. Sampai ketemu suatu saat, ucap pak Tua itu. Ia lalu melangkah dengan pasti menuju pintu depan. Sopir bus perlahan mengurangi kecepatan. Pak Tua itu segera turun dan melambaikan tangannya kepada Tarjo. Lelaki itu mengulum senyuman yang sejuk disudut bibirnya yang keriput.
Deru raungan mesin bus terdengar semakin berat saat memulai perjalanan. Pak tua itu pun menghilang dibelakang bus yang perlahan meninggalkannya. Tarjo merasa kehilangan orang yang baru saja menjadi teman berbagi keresahannya. Mungkin pak Tua itu juga merasakan hal yang sama, kehilangan teman untuk membantu merajam perasaannya.
Bus tua itu tetap melaju. Suara klakson berkali-kali terdengar memekakkan telinga. Kenek bus yang berada dipintu depan sebelah kiri seringkali mengumpat para pengguna jalan karena dipenuhi iring-iringan sepeda motor yang menyemut. Ia juga tidak pernah menyadari bahwa uang yang ia dapatkan tak sebanding dengan umpatan yang terus-menerus ia lontarkan. Beginilah hidup dalam dunia yang serba berhimpit, gumam Tarjo dalam hati.
Seorang perempuan setengah baya segera mengambil tempat duduk yang ditinggalkan pak Tua. Bau keringat yang menyengat dari tubuh perempuan itu membuat hidung Tarjo seperti tertusuk-tusuk. Ia segera menggeser kaca lebih luas agar udara yang masuk bisa mengurangi bau keringat yang terus menggelayuti hidungnya. Belum selesai ia mendorong kaca itu kedepan, tiba-tiba penumpang yang berada didepan menjerit histeris. Sontak semua penumpang dibuatnya panik, apalagi setelah tubuh mereka mendadak terayun-ayun karena bus yang ditumpanginya oleng dalam kecepatan yang tinggi. Sebuah ledakan keras terdengar dari arah kanan depan. Asap dengan cepat mengepul diringi sekali lagi suara benturan yang sangat keras. Bus tua itupun terguling berkali-kali dan terpental hingga keluar jalan.
Orang-orang yang kebetulan berada disekitar segera berhamburan keluar menyaksikan kejadian tragis yang hanya berjalan sekian detik itu. Sebuah bus tua yang melaju dengan kecepatan tinggi mengalami kecelakaan dan menghantam beberapa truk serta pengendara motor yang kebetulan berada tepat disaat bus itu oleng mengalami pecah ban. Orang-orang itu berlari mendekati ke arah badan bus yang terguling dengan posisi terbalik.
Asap mulai mengepul. Beberapa orang yang melihat percikan api segera berteriak untuk mengambil air dan apa saja yang bisa digunakan untuk memadamkannya. Kebetulan disamping tempat bus itu terguling terdapat jalur irigasi pesawahan yang airnya sedang menggenang. Orang-orang itu segera bahu-membahu mematikan sumber api yang hampir membakar bus tua itu.
Jalanan mendadak macet, karena terhalang oleh badan truk yang mencoba menghindar dari hantaman bus. Enam orang pengendara sepeda motor tergeletak dibadan jalan dengan kondisi yang mengenaskan. Tubuhnya terlindas bus saat badan bus itu terguling beberapa kali. Diantaranya terdapat seorang anak balita yang tubuhnya tergencet hingga organ bagian dalamnya terburai dijalan aspal yang legam.
Dengan cepat orang-orang sekitar menutupi mayat-mayat itu dengan lembaran-lembaran koran dan tikar yang mereka dapati disekitar lokasi. Polisi yang mendengar kabar kecelakaan segera menuju ke lokasi disertai aparat medis. Sementara beberapa rintih dan jerit kesakitan terdengar dari dalam bus. Mereka masih hidup, ada yang masih hidup. Orang-orang itu berteriak-teriak sambil mencari tahu keadaan korban yang berada didalam bus yang penuh sesak oleh penumpang.
Polisi dan tim medis yang agak terlambat datang segera bekerja dibantu para warga. Satu-persatu korban yang berada didalam bus dikeluarkan. Itupun setelah badan bus yang terbalik bisa didirikan kembali. Terhitung delapanpuluh tiga orang penumpang dalam kondisi yang mengenaskan. Beberapa wartawan segera meluncur untuk mengabadikan tragedi tersebut menjadi berita esok pagi. Sementara reporter televisi dengan cepat mengambil gambar dan melaporkan kejadian itu secara langsung, ditengah-tengah polisi dan para medis bekerja dibantu oleh orang-orang sekitar yang memberikan pertolongan pada para korban.
Mereka yang mengalami luka-luka dan masih dalam keadaan hidup diketahui berjumlah tigapuluh sembilan orang, segera dilarikan kerumah sakit terdekat. Sementara empatpuluh-empat korban dinyatakan tewas meninggal ditempat kejadian. Korban meninggal itu segera diidentifikasi dari tanda pengenalnya dan dibawa kerumah sakit untuk selanjutnya diberitahukan pada pihak keluarga. Tarjo, adalah salah satu korban diantara empatpuluh empat korban meninggal lainnya. Dalam tanda pengenalnya ia berasal dari kota surabaya. Polisi segera menghubungi kepolisian surabaya untuk memberitahukan kepada keluarga Tarjo bahwa anggota keluarganya yang bernama Tarjo menjadi korban kecelakaan bus naas tersebut.
Polisi setempat mencari alamat dimana Tarjo tinggal. Sebuah rumah kecil diperkampungan kumuh dan padat itulah Tarjo tinggal. Beberapa orang nampak menyambut kedatangan polisi itu dengan tatapan sanksi. Namun mereka segera mempersilahkan polisi itu masuk. Dengan perlahan, polisi itu mengabarkan pada mereka bahwa Tarjo menjadi korban kecelakaan bus dan meninggal dunia ditempat kejadian. Jasadnya kini berada di sebuah rumah sakit umum daerah di Nganjuk.
Kabar itu terdengar seperti gemuruh merapi yang menyemburkan lahar. Dengan cepat orang-orang kampung yang mendengar mas Tarjo mati spontan menjadi seperti kesetanan. Orang-orang itu tak pernah percaya bahwa mas Tarjo mati karena kecelakaan. Sosok muda yang bersahaja dan sangat dekat dengan orang-orang susah itu berpulang dengan keadaan yang mengenaskan. Kabar kematian tragis mas Tarjo segera tersiar kemana-mana.
Beberapa orang yang mengenal mas Tarjo segera berdatangan menuju perkampungan tersebut. Belasan mobil berparkir disisi-sisi gang sempit. Sementara pemiliknya yang mengenal dengan baik mas Tarjo segera berlari kecil menuju ke sebuah rumah kontrakan kecil yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Setelah mereka semua berkumpul, digelarlah rapat kecil untuk bersama-sama mengambil jenazah mas Tarjo. Namun beberapa diantaranya mengusulkan untuk langsung diantarkan kerumah duka didaerah Ngawi. Karena mas Tarjo pernah memberitahukan alamat asalnya dari sebuah desa didaerah Ngawi, meskipun sudah duabelas tahun mas Tarjo tidak berkunjung kesana karena tidak diterima oleh keluarganya, cerita salah seorang tetangga dekat rumah kontrakan mas Tarjo tersebut.
Rapat kecil itu segera memutuskan untuk mengambil jenazah dan mengantarkan langsung kerumah duka. Beberapa orang yang msih menyimpan alamat kampung mas Tarjo segera bergegas mengambil kerumah masing-masing. Mereka semua sepakat dan segera berangkat menuju kerumah sakit umum yang berada di daerah Nganjuk. Belasan mobil entah dari mana asalnya melaju menyemut menyusuri jalanan yang padat. Mas Tarjo adalah sosok yang memiliki jasa besar bagi banyak orang khususnya bagi orang-orang kampung itu. Ia sudah menjadi denyut nadi dan sanubari sekian banyak orang. Sehingga kabar kematiannya menjadi berita yang sangat menghenyakkan hati mereka.
Sementara disebuah desa kecil yang berada dikaki gunung lawu suasananya nampak mulai semarak oleh anggota keluarga mereka yang berangsur-angsur mudik dari kota. Hiasan-hisan jalanan dan lampu-lampu penerangan rumah mulai ditambah. Gelak tawa ceria terdengar dari sudut rumah-rumah yang sanak-saudaranya datang berkunjung. Begitu juga dirumah keluarga mas Tarjo. Orang tuanya nampak bahagia menimang-nimang cucu-cucu mereka yang mulai tumbuh besar dan lucu-lucu. Dua buah mobil terparkir dihalaman rumah, sedan itu adalah milik kakak dan adiknya yang kini sukses menjadi orang kaya dan menjadi kebanggan keluarga. Saudara-saudara dari keluarga yang lain nampak ikut berkumpul dirumah yang kini sudah dipugar menjadi lebih luas. Lantai marmer dan tembok yang dilapisi keramik memberi kesan mewah untuk sebuah rumah yang berdiri dipedesaan pinggiran. Sebuah televisi besar lengkap dengan DVD player terpampang disana. Lemari es yang jarang ada dikampung itu juga tersedia dengan ukuran dua pintu berdiri disudut ruangan.
Keluarga itu tidak pernah lagi membicarakan tentang Tarjo. Nama Tarjo seolah telah menjadi aib besar dalam keluarga. Ditahun-tahun sebelumnya jika keluarga itu berkumpul, sesekali masih mendengar sebutan Tarjo, namun mereka semua cepat-cepat menertawakan dengan terbahak-bahak. Hanya Narti yang bisu dan neneknya saja yang terlihat seperti memendam luka, meski perasaan itu tidak pernah mereka tampakkan. Narti dan Neneknya seperti mengerti betul tentang Tarjo, namun mereka memilih untuk berdiam dan tidak membicarakannya.
Diujung kampung beberapa orang yang sedang duduk-duduk disebuah garsu pinggir jalan, dikejutkan oleh rombongan belasan mobil yang menyemut menyusuri pesawahan menuju kearahnya. Didepan terlihat sebuah mobil putih yang diatasnya ada lampu yang dinyalakan berputar-putar. Itu ambulan, kata seorang anak yang sedang ikut menyaksikan rombongan mobil-mobil itu.
Pelan-pelan deretan mobil yang menyemut itu mendekati batas desa. Mereka berhenti sejenak untuk bertanya pada penduduk yang nampak termangu menyaksikan sesuatu yang jarang terjadi. Seseorang keluar dari ambulan. Permisi pak, apa disini ada warga yang bernama mas Tarjo.
Orang-orang itu terdiam sesaat.
Tarjo....jawab seorang yang memegang kepala dan mengerutkan jidatnya. Ohh...ada mas, Tarjo itu anak pak Sodikun adiknya Gunardi yang punya mobil sedan itu.
Iya mas, ada.
Ee..maaf, apa bapak bisa mengantarkan kami kerumahnya.
Ohh...iya mas, tidak apa-apa. Mari mas, kami antarkan.
Beberapa orang desa itu segera menyalakan motornya dan menyusuri jalan kampung yang berdebu. Mereka belum mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi dan mengapa rombongan itu mencari rumah pak Sodikun. Tiba didepan rumah pak Sodikun orang-orang yang berkumpul didalam rumah sontak terkejut, melihat belasan iring-iringan mobil yang berdatangan. Mata mereka semakin terbelalak ketika sebuah ambulan memasuki halaman. Segera tim medis membuka pintu belakang. Beberapa rombongan yang lainnya menemui orang tua mas Tarjo dan mengabarkan tentang kematian mas Tarjo. Sebuah peti mati mereka angkat memasuki rumah yang kini telah banyak berubah.
Keluarga itu hampir tak percaya dengan apa yang terjadi. Mereka nampak kebingungan menerima keadaan yang tak pernah terbayangkan sebalumnya. Semua tawa dan cerita akan kebanggaan atas anak-anaknya yang sukses serentak terkubur. Seorang anak laki-lakinya kini terbujur kaku dalam peti mati. Padahal baru saja petang itu mereka mentertawakannya. Sementara orang-orang yang tidak pernah mereka kenal terus berdatangan memberi bela sungkawa. Mobil-mobil mewah memadati jalan desa itu hingga pagi datang menjelang. Penguburanpun dilaksanakan dengan upacara kecil. Beberapa pejabat penting, mahasiswa, akademisi, politisi, dan beberapa pengusaha yang berempati kepada mas Tarjo hadir dan memberikan sambutan sebelum jenazah diberangkatkan. Orang-orang kampung dimana mas Tarjo tinggal juga memberikan sepatah kata perpisahan.
Semua menceritakan perjalanan mas Tarjo dengan sangat baik. Memori yang mengendap disanubari orang-orang yang memberi sambutan telah menghantarkan isak tangis mereka tanpa bisa dibendung. Anak-anak kecil yang selama ini dididik dan dibesarkan oleh mas Tarjo sontak menangis histeris dan memeluk peti mati yang ada didepannya. Mereka berteriak-teriak tak rela atas kematian mas Tarjo.
Keluarga mas Tarjo sendiri semakin bingun bercampur sedih melihat kenyataan didepannya. Mereka semakin tak mengerti apa yang telah mereka lakukan selama ini pada Tarjo, seorang anak yang telah dengan sadar mereka buang. Apalagi orang-orang desanya yang selama ini hanya mendengar cerita tentang Tarjo dari keluarganya. Mereka kini larut dalam tangis kebisuan.
Hanya Narti dan neneknya sedari tadi duduk disudut ruangan justru menguntai senyum bahagia dan bangga dibibirnya. Nenek tua itu berujar pada Narti yang bisu, semua telah ia tebus, lihat yang benar dan baik itu kini telah mereka mengerti, meskipun harus dilaluinya dengan jejak yang penuh luka. Lalu nenek tua itu terdiam. Sorot matanya menatap tajam peti mati yang berada didepannya. Dari arah belakang juga terdapat sepasang mata lelaki tua berambut putih yang berdiri diantara kerumunan. Lelaki tua itu terlihat mengulum senyuman yang sejuk disudut bibirnya yang keriput. Seperti senyum perpisahan yang ia sungging dipertemuan sebelumnya.
Dan beberapa wartawan pagi itu ikut mengabadikan prosesi pemakaman yang amat sederhana itu.


Tak terlalu berharap
13/09/07 00.22
Kediri

Semar Gugat

Eb.32

Alam murka, hutan terbakar, hujan dan banjir melanda dimana-mana, petir menyambar-nyambar, angin puting beliung mengamuk tiada henti. Gunung-gunung meletus, bumi memuntahkan cairan panas kental berwarna hitam legam. Manusia berlarian kesana-kemari mencari selamat. Mereka dibuat bingung dan gelisah hampir tak ada yang sempat memikirkan orang lain. Sementara saat kemarau air menghilang, tanah-tanah mengering, tanaman menjadi layu dan mati. Hewan dan manusia banyak yang sakit dan kelaparan. Udara panas karena polusi. Itulah buah yang harus dipetik sebagai hasil dari perbuatannya sendiri.
Sekelumit gambaran diatas adalah kenyataan kehidupan manusia saat ini. Alam dipaksa dan ditundukkan tanpa memperhatikan kelestariannya. Semua yang ada diambil dan dikuras untuk memenuhi kerakusan manusia yang berujung pada murkanya alam. Ngunduh Wohing Pakarti, itulah kolo bendu yang harus ditanggung karena manusia mau dan rela menjalani Jaman Edan. Semua alur kehidupan tergerus dalam Jaman edan, manusia edan, dewa-dewa edan dan seluruh lakon kehidupan juga sama-sama edan, semua tokoh wayang dalam kotak ikut terseret dalam krisis besar kehidupan yang dapat difahami dengan istilah KRISIS KEBUDAYAAN, sebagaimana contoh; Narodo yang ikut larut dan menyusup dalam tubuh Kanekojati. Tak mau kalah dalam menyemarakan jaman edan, Dosomuko ikut menyusup pila pada tubuh Ontorejo. Maka kehidupan menjadi kacau balau, karena semuanya larut dalam prahara. Dewa-dewa menyusup pada manusia dan ikut mendorong lahirnya pertempuran dan penghancuran tatanan kehidupan. Inilah yang menjadi awal cerita tentang “Semar Gugat”. Gugat karena tinggal Kresno, Wisanggeni dan Semar sendiri yang dapat bertahan dari arus krisis kehidupan dan menjadi kekuatan Tri Tunggal yang berusaha untuk menata kembali kehidupan.
Adalah sebuah kisah tentang krisis yang terjadi di kerajaan Amarta, karena raja Puntodewo yang bertahta dan memegang titah kurang memperhatikan jalannya roda pemerintahan dengan baik, dan justru terdengar kabar bahwa Prabu Puntodewo hendak menyatukan kerajaan Amarta dengan kerajaan Astina yang dipimpin oleh Prabu Duryudono. Mendengar kabar tersebut maka Prabu kresna mengadakan pertemuan agung yang diikuti oleh Bolodewo, Setyaki, Sombo, Udowo untuk membahas persoalan krisis yang terjadi di kerajaan Amarta. Pada saat pertemuan digelar, ditengah-tengah pembicaraan munculah Ontorejo yang mengadu kepada Prabu Kresna tentang sikap Puntodewo yang tidak lagi memikirkan masa depan masyarakat dan pemudanya. Ontorejo berbicara dengan nada marah dan menyalahkan Prabu Kresna karena dianggap sebagai sesepuh dan penuntun yang tidak dapat mengendalikan sikap dan perilaku Prabu Puntodewo. Ontorejo yang wajahnya nampak merah padam itu sebenarnya telah disusupi oleh Dosomuko.
Mendengar kemarahan Ontorejo, maka Baladewa tidak dapat membendung amarahnya. Ontorejo sudah dianggap kurang ajar dan tidak punya tata karma. Terjadilah perang mulut yang sengit. Ontorejo diseret keluar oleh Bolodewo. Keadaan semakin memanas. Disaat perang tanding hampir dimulai, muncullah Semar melerai pertengkaran tersebut. Lalu Semar mengingatkan pada Prabu Kresno untuk melihat keadaan semakin rusaknya kerajaan Amarta. Semar menyindir pada Prabu Kresna sebagai dewa ketentraman dan Puntodewo sebagai dewa kebahagiaan tidak berbuat apa-apa ketika melihat para pemuda dan masyarakat semakin kacau balau dalam terpaan krisis yang semakin besar. Semar menyerahkan persoalan besar tersebut pada Prabu Kresno untuk dapat menarik kembali pendowo agar tidak berkumpul dan menyatu dengan kurawa di Astina. Sementara Semar akan segera naik ke kahyangan karena ia merasakan ada keganjilan di kadewatan yang menjadi sebab atas berbagai persolan yang terjadi di Amarta. Ia merasa ada pandito yang bernama Sabdo Dewo yang ternyata telah disusupi oleh Batara Guru.

Kerajaan Ombak Samudera
Prabu Kanekojati bersama-sama dengan Togok dan Bilung berada dalam suatu pembicaraan. Prabu Kanekojati yang didalam dirinya telah disusupi oleh Narodo mengutarakan niatnya yang memiliki keinginan yang kuat untuk menjajah tanah JAWA. Maka dari itu prabu Kanekojati dari awal sudah menyiapkan siasat dengan jalan mengutus begawan Sabdo Dewo untuk menyatu dengan Astina. Bagi Prabu Kanekojati, tanah Jawa adalah tanah yang dikaruniahi dengan kekayaan alam yang maha melimpah. Masyarakatnya hidup dalam suasana tentram dan damai. tradisi dan kebudayaan yang adi luhung membuat masyarakat yang hidup ditanah Jawa memiliki pengetahuan yang tinggi serta budi pekerti yang luhur. Tanah Jawa adalah tanah yang didalamnya terbangun peradaban yang maju, terutama dibidang kesusastraan, pertanian, ketataprajaan, keprajuritan, seni budaya dan lain sebagainya. Tanah Jawa juga dikenal dengan kedalaman cipta, rasa dan karsa yang mewujud berupa ketinggian dan keluasan akal budi, kedalaman spiritual dan ke adi luhungan seni budayanya. Namun hasrat untuk menjajah tanag Jawa itu mendapat nasehat dari Togog dan Bilung agar tidak dilanjutkan. Mereka berdua mengharap agar Prabu Kanekajati mengurungkan niatnya. Namun Prabu Kanekojati tidak menggubris nasihat tersebut, bahkan ia segera menyiapkan pasukannya untuk menyerang tanah Jawa. Ditengah perjalanan pasukan mereka bertemu dengan prajurit Dorowati yang diikuti oleh putera-putera Pandawa seperti Gatutkoco, Wisanggeni, Ontoseno dan lain-lain. Terjadilah pertempuran yang sangat hebat.

Werkudoro dan Nogo Gini
Nogo Gini memendam amarahnya pada Werkudoro karena sebagai istri ia sangat jarang diperhatikan. Namun Werkudoro selalu berkilah jikalau ia dianggap tidak memperhatikan Nogo Gini. Karena sangat kesal pembicaraan yang membahas tentang biduk keluarga mereka sedikit memanas. Nogo Gini mengungkit bahwa Werkudoro tidak sayang dan memperhatikan keluarga dengan baik. Ini terbukti dengan diamnya Werkudoro padahal anaknya sendiri Ontorejo dihajar dan dijadikan bulan-bulanan oleh Bolodewo. Akhirnya beranglah hati Werkudoro mendengar kalau anaknya dihajar oleh Bolodewo. Ia segera berangkat menacari Bolodewo. Pertempuran sengit tak bisa dihindarkan. Namun belum sempat jatuh korban segera Prabu Kresno melerai pertempuran diantara mereka. Segera Prabu Kresno mendatangkan Hanoman yang memiliki aji pengkabaran untuk melihat kedalam diri Ontorejo yang ternyata sudah disusupi oleh Dosomuko. Maka wajar bila

sikap Ontorejo menjadi sangat kasar pada Prabu Kresno dalam pertemuan agung. Hanoman segera mengeluarkan Dasamuka dari diri Ontorejo. Prabu Kresno memberikan wejangan bahwa pemuda-pemuda harus memiliki pengetahuan dan membangun dirinya dengan pengetahuan agar hidupnya menjadi lebih baik. Karena jika para pemuda tidak memiliki konsep dan aktivitas yang jelas, maka akan sangat gampang dirinya disusupi oleh Dosomuko sebagai simbul ganasnya penyusupan kebudayaan asing ditengah-tengah kita. Prabu Kresna juga menyampaikan pada Werkudoro dan Bolodewo bahwa ia sedang mencari siapa yang mampu menandingi kesaktian Sabdo Dewo dan Kanekojati. Bahkan Prabu Kresna mencarinya hingga ke kahyangan.

Pertapaan Sapto Argo
Begawan Abiyoso menerima kedatanag Abimanyu yang diiringi oleh Gareng, Petruk, Bagong. Disana mereka diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus diemban sebagai kesatria. Begawan Abiyasa memberikan lima prinsip dasar yang harus dilaksanakan seorang kesatria; Pertama; Rumekso Kayuwaning Projo. Kedua; Ngayomi Poro Pandito Resi. Ketiga; Tresno Marang Bongso lan Welas-Asih Marang Sapodo-Padaning Tumitah. Keempat; Setyo Tuhu Marang Janji Sarto Nuhoni Marang Sabdo Kang Wus Kawedar. Kelima; Tunduk Marang Bebener Kang Adedasar Adil. Serta lima hal yang harus dimiliki oleh seorang kesatria; Satu; Guno, Dua; Sudiro, Tiga; Susilo, Empat; Anurogo, dan Lima; Sambirogo.
Setelah mendapatkan wejangan dari bagawan Abiyoso, Abimanyu diminta untuk segera berangkat mencari begawan Pamintosih (perwujudan dari Semar) yang sedang laku “Topo ngrame”artinya bertirakat dikeramaian. Diperjalanan, Abimanyu dihadang bala tentara Ombak Samudera dan terjadilah perang kembang. Pertempuran yang hebat itu dimenangkan oleh Abimanyu.

Pertapaan Condro Wulan
Begawan Kanesworo Yekso dan Putri Dewi Kanesworo Wati ingin mencari ketenangan dan ketentraman batin, namun jalan ketenangan itu terganggu karena ia tergila-gila pada Janoko. Akhirnya Kanesworo Wati berangkat menuju Amarta. Diperjalanan bertemu dengan Abimanyu dan terjadilah perang yang sangat hebat. Karena kesaktiannya Abimanyu terpenatal hanya dengan bentakan saja. Tubuhnya terlempar sangat jauh hingga jatuh dipangkuan begawan Pamintosih (Semar).
Di Astina pura juga sedang terjadi pembicaraan serius. Duryudono, Puntodewo, Janoko, Nakulo dan Sadewo, berkumpul dengan Begawan Sapto Dewo membicarakan gagalnya perang barotoyudho. Perang itu akan gagal dengan cara membunuh Semar. Janoko menyanggupi menjalankan misi tersebut. Lalu Janoko mencari Semar untuk dibunuh, namun tidak disadari bahwa dibalik itu begawan Sapto Dewo ikut bermain dan mendorong Janoko secara halus.
Diperjalanan Janoko bertemu dengan Kanesworo Yekso, terlibatlah perang tanding hingga Janoko tak mampu meladeni kesaktiannya. Tubuh Janoko terpental sangat jauh dan terjatuh dipangkuan begawan “Pamintosih” yang sesungguhnya adalah Semar. Janoko akhirnya bertemu dengan Abimanya. Mereka tidak mengetahui bahwa begawan Pamintosih itu adalah Semar. Janoko dan Abimanyi meminta pertolongan pada begawan Pamintosih agar mereka bisa mengalahkan Sabdo Dewo. Terjadilah perang antara Pamintosih dengan Kanesworo Yekso. Pertempuran tersebut sampai merubah Pamintosih ke wujud asal sebagai Semar dan Kanesworo Yekso sebagai Betari Kanestren yang tidak lain adalah istri semar sendiri. Lalu kanesworo Wati disabda oleh Semar dan kembali ke wujud awal yakni menjadi Sumpingnya Puntadewa.
Terjadilah perang alang-alang kumitir yang melibatkan Kresna, Wisanggeni dan Semar. Mereka bertiga berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negaranya yang sedang dilanda krisis disegala bidang. Semar mengatakan pada Kresna dan Wisanggeni untuk memetik hikmah dari semua kejadian ini. Sebab ada kalanya dijaman edan ini dewa-dewa juga sama-sama ikut edan. Orang yang sadar dan ingat tiba-tiba ikut hanyut pada keadaan. “Sing iling dadi gendeng sing gendeng dadi eling”. Inilah dinamika kehidupan dijaman yang serba gila ini. Semar terus bertutur pada Kresna dan Wisanggeni untuk meneguhkan mereka menjadi Tri tunggal yang dapat bersama-sama menata kembali kehidupan. Disertai Kresna dan Wisanggeni inilah Semar melakukan Gugat pada kehidupan dan mengadu pada Sang Hyang Wenang Tuhan Yang Maha Kuasa.

Demikian sekelumit pengantar cerita yang saya sajikan untuk pementasan Ringgit Purwa bersama ki dalang Minto Darsono
Eb,32

Kamis, 21 Februari 2008

Arah Yang Tersamar

Aku menghilang dibalik lorong kabut
Tersesat diantara bilik waktu
Seandaikan malam memang gelap
Mengapa engkau tersamar begitu jelas
Bukan karena bayangan
Atau pendar cahaya
Tapi sebuah perasaan

Jumat, 08 Februari 2008

TOGEL "R"

(Tombo Gelone Rakyat) eb.32

Malam itu kami singgah sesaat disebuah warung yang berada diperbatasan desa Tanggunggunung. Ada beberapa orang yang sedari tadi nampak berbincang-bincang sambil menikmati kopi cete, sajian khas didaerah itu. Asap rokok memadati ruangan, sementara riuh rendah tawa terdengar saat kakiku melangkah menuju warung, setelah memarkir mobilku diseberang jalan. Sugeng dalu bapak-bapak, ucapku mencoba ramah. Monggo, silahkan nak mas, mereka serentak menjawab. Beberapa orang segera bergeser merapat memberikan tempat duduk untukku.
Seorang gadis cantik yang menjadi penjaga warung kopi itu segera menghampiriku dengan ramah; mas minumnya apa? Aku terdiam sesaat dan berfikir. Saya minum kopi jahe saja. Kemudian dua temanku yang lain meminta kopi susu dan kopi hitam. Gadis cantik itu segera beranjak dari tempatnya berdiri dengan menyisakan sunggingan senyuman disela bibirnya yang menawan.
Pembicaraan kembali ramai. Sesaat aku mencoba beradaptasi dan mendengarkan apa saja yang sedang mereka perdebatkan. Pelan-pelan aku mulai mengerti. Orang-orang kampung itu ternyata sedang membicarakan tentang cerita yang berkembang dari zaman ke zaman. Orang-orang itu membanding-bandingkan keadaan hidupnya mulai zaman Bung Karno hingga Zaman Andi Malarangeng. Lidah mereka agak sulit melafalkan nama yang kedua itu, karena lidah mereka adalah lidah desa yang sederhana.
Suasana warung terasa begitu hidup. Banyak pikiran unik yang muncul dari guyonan kampung yang selalu dianggap pinggiran itu. Aku merasa betah duduk mendengarkan pembicaraan mereka yang semakin lama semakin seru. Kesederhanaan tutur dan keluguan mereka menjadi pengetahuan yang jauh lebih berharga dibanding waktu aku belajar sekian teori diperkuliahanku. Aku mengangguk-angguk saja saat mereka menyampaikan pikiran-pikirannya nylenehnya kepadaku. Aku berusaha untuk tidak merubah keluguan tutur mereka dengan pandanganku yang mungkin akan sangat berbeda.
Sekarang itu susah mas, kata seorang bernama Tumikun yang tiba-tiba memandangku. Dulu, setiap dikampung kami ada selamatan kelahiran anak, tradisinya semalam suntuk tidak tidur. Kami ini punya kebiasaan main kartu pakai duit kecil-kecilan. Lha duitnya itu tidak kami bawa pulang, tetapi disumbangkan kepada yang punya hajat. Maksudnya main kartu itu ya main saja, biar semalaman kami tidak bengong. Kalau bengong bisa kerasukan setan mas. Eee...sekarang malah dianggap sebagai judi. Belum kalau kami ditangkap, taruhannya kalau dihitung tidak sampek duaratus ribu, tetapai ngurusnya di aparat bisa habis jutaan mas. Aku haya termangu mendengarkan cerita pak Tukimun. Padahal mas, kalau bicara judi, mata kami itu menyaksikan sendiri, kalau aparat itu banyak terlibat didalamnya. Kalau nggak gitu, mana ada aparat yang rumahnya bagus-bagus. Haa...haaa...haa, semua tertawa nyaring. Benar Mun, mereka kan butuh setoran, sekarang kan sedikit malu kalau jadi pak ogah dijalanan, sahut seorang lainnya yang berada dipojok warung yang ternyata adalah bekas sopir truk. Mantri hutan yang ada didesaku itu Mun sekarang kaya raya, semenjak penjarahan hutan zaman reformasi Mun. Padahal setahuku, sejarahnya mantri hutan sejak zaman sepur lempung, sampai sepur besi yang sering naas, hidupnya selalu pas-pasan. Nah...berarti itu namanya pagar makan tanaman. Iya kan Mun. Kata-kata mantan sopir itu disambut gelak tawa diantara mereka. Aku sendiri sampai tak kuasa menahan perasaanku. Akhirnya tawaku juga ikut meledak.
Sejenak suasana menjadi tenang. Tiba-tiba salah satu dari mereka menyela, Mun, kamu pilihan kepala desa kemarin dari Rusman dapet berapa? Ha..ha...ha..., mendadak semua tertawa terpingkal-pingkal. Belum lagi Tukimun menjawab, Parno mendahului; walah, Tukumun itu dapat duit dari semua calon. Rusman dapet, Hartono dapet, terus dari bu Ismiati dapet. Pokonya idiologinya Tukimun itu sabet sana sabet sini pak Jo, yang penting dapet . Tawa mereka meledak lagi. Lalu Tukimun menjawab dengan santai, hanya orang pikun dan sakit ingatan yang menolak kedatangan rezeki. Bener Mun sahut pak Matal. Ni, Marni, Tukimun tiba-tiba memanggil Marni. Kamu keseni sebentar. Ehh...aku nanya sama kamu. Iya pak Mun, jawab Marni dengan lembut. Ini Mar, kalau orang beli wedang kopi, bayarnya masih pakek uang kan?. Ya pasti to pak de, jawab Marni mendadak ketus. Waras kamu Mar, itu dengar pakai pantatmu Noooo...Parno. Ha..ha..ha.., rasain Noo...Parno, kena kamu sekarang, cletuk Bagio.
Sebenarnya kasihan ya Mun, kang Rusman yang jadi kepala desa itu kabarnya habis seratus duapuluh juta, sementara bengkok sawah untuk kepala desa kalau digadaikan selama lima tahun, paling-paling lakunya cuma seratus juta. Jadinya kan tekor alias rugi. Kata Karyo. Makanya, siapa suruh jadi kepala desa, jawab Katenan, sambil bercanda. Lalu ia menambahi ucapannya, sebentar lagi akan ada pilihan bupati dan gubernur. Ini modalnya pasti lebih gede, kira-kira suaramu harganya berapa Mun. Mereka semua nampak serius menunggu Jawaban Tukimun. Kita ini kan tidak minta uang to kang. Tapi mereka yang mengajari kita seperti ini. Setelah kita ketagihan, mereka kini yang bingung. Ya sudah, karena kita sudah terlalu lama mereka bikin bingung, ya kini gantian kita yang membuat mereka bingung. Ha..ha...ha..., tawa mereka meledak kembali untuk kesekian kalinya.
***
Gadis penjaga warung itu datang membawakan pesanan minuman untuk kami. Senyumnya yang manis sesaat menjebak mataku untuk memandangnya. Pak Tukijo tiba-tiba menyela, lha bener to, Marni ini kalau ada orang muda ngganteng sikapnya jadi lebih ramah. Tapi kalau kami yang datang, heee, apalagi senyum. Ngasih kopi saja sambil balik badan. Lha iya to pak Jo, mereka kan masih muda, ganteng lagi, ya jelas klop dengan selera. Jawab Marni dengan tenang. Di daerah ini memang terkenal dengan warung kopi yang pelayannya gadis-gadis muda yang sikapnya ramah.
Sesaat pembicaraan terpotong. Marni segera duduk menemani kami dan terlibat dalam gurauan kecil. Lalu mas Kasan yang masih muda menyela diantara pembicaraan kami. Pak Yo, sekarang ini kan sudah zamannya, jadi kalau ada yang kasih duit, ya terima saja. Toh mereka nantinya juga mencari untung setelah jadi pejabat. Bedanya cuman, kalau kita dapet untung tetep aman, kalau mereka ketahuan jadi bulan-bulanan aparat. Karyo segera menyambung ucapan kasan. Ya jelas kan San, panggilan untuk Kasan, kita ini adalah rakyat. Undang-undang kita telah menyebutkan bahwa kedaulatan ditangan rakyat, makanya kalau pejabat nyuri duit, kalau ketahuan pasti dihukum. Tapi kalau dibagikan ke kita, kamu tetep aman, kita kan rakyat San.... Gelak tawa mengiringi ucapan Karyo.
Tepat Yo, ini sudah zaman edan, kalau tidak ikut edan ya nggak kebagian. Makanya bener, kita ini sudah memasuki era demokrasi, demokrasi itu artinya bagi-bagi, buktinya, kamu saja punya kaos partai yang kamu simpan dirumahmu itu jumlahnya ada enam belas partai, iya kan? Ledek Kasan. Haa..haa...haa, mereka kembali tertawa.
***
Diluar nampak ada sepeda motor datang, orang-orang sejenak memperhatikan siapa gerangan. Seorang lelaki bertubuh tegap memakai baju hitam. Rambutnya nampak klimis. Walah-walah, itu kan si Wawan, blandong kayu. Hee Wan, panggil pak Jo, sini, masuk kedalam, kumpul sama kere-kere ini, biar panjang umur. Wawan segera masuk. Bener pak Jo. Kalau orang jarang kumpul sama para kere, umur dan nasibnya jadi pendek-pendek. Kayak pejabat-pejabat itu. Mereka terjungka gara-gara jauh sama kere-kere ini kan, kata Wawan sambil meledek pak Jo. Wan, tanya Tukimun, gara-gara kamu nyuri kayu dihutan, kami sekarang yang kebagian tanahnya. Terimakasih ya Wan, kamu itu sesungguhnya harus disebut pahlawan lho. Pahlawan blandong kayu, gelarmu Wawan B.K. Ha...Ha..Ha. Tapi Wan Tukimun tetaplah Tukimun, ahli politik kampung yang tidak pernah mleset, ungkap Karyo. Contohnya apa mas Karyo, tanya Wawan ingin tahu. Lha itu, kerja sama penanaman hutan itu. Tukimun ini kan cerdas. Kalau membiarkan kayu tumbuh, ya enam tahun saja tanah itu kan sudah tidak dapat ditanami tanaman pangan oleh Tukimun, dan dia harus menunggu sekian tahun lagi untuk mendapat bagian dari hasil penebangan. Waktunya lama banget. Makanya, pohon yang barusaja tumbuh, oleh Tukimun batangnya ditarik, sampai akar tunjangnya patah. Kan pasti mati to Wan. Lalu Tukimun melapor, kalau tanamannya mati. Ya kan sama to kang Karyo, sahut Wawan. Itu kan modusnya mirip seperti saat ada bantuan kambing yang sudah disunat duluan oleh dinas peternakan. Kambing yang turun kan kambing sudah penyakitan. Sama orang-orang dikasih makanan daun trembesi. Ya kambingnya jadi mendem semua. Lalu kita melapor kalau kambingnya keracunan makanan, padahal kita sembelih untuk menambah gizi. Masa Cuma pejabat yang boleh gemuk. Ha..ha...ha.. Tawa renyah terdengar lagi oleh mereka.
Sejauh ini aku dan beberapa kawanku hanya diam dan menikmati cerita-cerita unik dari orang-orang dusun yang sedang bersiasat untuk bertahan hidup. Lalu tiba-tiba aku terperangah, saat seseorang yang sedari tadi terdiam dipojok warung sambil memegang bolpoint dan kertas mendadak bersuara. Pak Jo, enam dua itu nomernya apa? Maksudmu apa Met. Slamet mencoba menjelaskan. Kita ini kan menghadapi hari ulang tahun kemerdekaan yang ke enampuluh dua. Dimana-mana digelar pesta besar-besaran. Siapa tahu nomor enampuluh dua tembus. Kan kita bisa ikut berpartisipasi mengadakan pesta kan pak Jo. Pak Jo masih terdiam sesaat. Semua yang diwarung itu tertawa terpingkal-pingkal oleh ide Slamet. Kemudian Slamet melanjutkan bicaranya. Niat kita kan ingin berpartisipasi, sesuai amanat demokrasi. Jadi kita ini kan warga negara yang baik.
Pak Jo berusaha mengingat-ingat kitab primbon seribu mimpi. Ada...tiba-tiba ia menyela. Enampuluh dua itu nomornya belalang dan selendang. Jadi saatnya kita ini melompat-lompat seperti belalang dan menari-nari dengan selendang. Tapi ingat, ada lagu yang berjudul selendang sutra, kalau kebablasan pasti akan banyak yang terluka. Tiba-tiba semua orang yang ada menjadi terdiam. Suasana warung itu seperti tercekam kebisuan. Kata-kata pak Jo yang nama sesungguhnya adalah Kartijo seolah menelusuk kedalam sanubari mereka.
“Inilah Indonesia, yang bukan sekedar nyanyian dari sabang sampai merauke, yang berjajar pulau-pulau, dan bukan sekedar perkara sambung-menyambung. Inilah Indonesia, yang kita dengar dari warung sebuah desa. Mereka masih setia mentertawakan diri sendiri”, gumamku diperjlanan pulang.

Tombo = Obat
Gelone = Kecewanya
Ruang Hampa
Eb.32. 21/08/07 00.22

Sabtu, 02 Februari 2008

MENUNDUKKAN WAKTU

".... Amenangi jaman edan, ora edan ora kumanan. Sing waras padha nggagas, wong tani padha ditaleni, wong dora padha ura-ura. Beja-bejani sing lali, isih beja kang eling lan waspadha" -- Prabu Jayabaya.

Rabu, 30 Januari 2008

BRANDAL KAWUK


Batas kesunyian itu telah lewat. Saat gemerisik dedaunan mengibas luka lara yang masih menggurat pipih didasar hati. Lelaki tua itu segera beranjak dari tempat duduknya yang melapuk, menembus teduh tepian segaran. Matanya memerah tungku api. Ia berteriak-teriak sambil menghunus sebilah keris tua berwarna batu berkelok tarian naga. Ikat hitam kumal melilit dikepalanya yang penuh ditumbui uban.
Suasana pagi yang terasa teduh mendadak sirna, saat air segaran yang tadinya tenang, bergolak berbuih. Tergerak oleh resak suara teriakan yang menggelegar mengoyak desir semilir angin.
“Mandor bajingan”
“Asu ”
“Kalau berani, lepas baju seragammu”
“Sadumuk batuk sanyari bumi”
“Hadapi aku, Brandal Kawuk”
***
Lelaki tua itu terus berteriak-teriak mengitari rumah mandor hutan yang beberapa hari ini tampak lengang tak berpenghuni. Kampung kecil dipinggir hutan yang biasanya senyap itu menjadi riuh dan gaduh oleh kasak-kusuk keracuan yang menjejak hening pagi. Seorang pemuda berusia duapuluh satu tahun terobek bola matanya karena sabetan gergaji yang diayunkan sang mandor beberapa waktu lalu. Biji matanya tak tertolong, ia mengalami kebutaan. Namun tragisnya, pemuda itu masih harus mendekam didalam sel kantor polisi karena mendapat tuduhan sebagai maling kayu.
Brandal kawuk adalah sebutan bagi laki-laki tua yang menghunus keris dan berteriak-teriak menantang mandor hutan pagi itu. Namun sudah hampir satu minggu sang mandor pergi meninggalkan dusun. Tak diketahui ia berada dimana.
Di usia mudanya brandal kawuk adalah rampok yang terkenal dan sangat disegani. Bahkan ia begitu ditakuti dikalangan juragan dan tuan tanah. Belum satu kejahatanpun dapat dibuktikan oleh polisi. Seringkali, saat sore hari ia ditangkap dan dimasukkan kedalam sel tahanan, paginya sudah tidak lagi berada disana. Konon ia bisa keluar masuk sel tahanan tanpa harus merusak gembok besi. Timah panas yang dibumbui emas dan benda-benda penjemput nyawa belum pernah berhasil menembus kulit tubuhnya.
***
Ini bulan Juni. Musim kemarau mulai meranggas. Sebentar lagi paceklik datang mendera. Entah mengapa, didaerah yang memiliki banyak hasil bumi itu, warga desanya selalu mengalami masa-masa sulit, meski hanya untuk sekedar makan. Disaat musim paceklik itulah, rumah brandal kawuk selalu ramai oleh anak-anak dan orang tua yang berkumpul siang dan malam. Dapur brandal kawuk seperti menjadi tumpuan harapan atas kesulitan hidup yang dihadapi oleh orang-orang sekampung.
Hutan yang mengitari perkampungan itu telah menjadi penjara bagi kehidupan mereka. Brandal kawuk dan orang-orang dusun hanya mendiami petak-petak tanah yang sempit. Meskipun menurut riwayat, hutan itu dulu adalah tanah-tanah yang dikelola secara turun-temurun oleh nenek moyangnya.
Lama-kelamaan dapur brandal kawuk tidak lagi mampu menampung beban penderitaan orang-orang kampung yang kian menumpuk. Apalagi setelah Tarno yang anaknya kini berada ditahanan polisi diminta menyediakan uang sebesar tujuratus ribu rupiah untuk administrasi ini dan itu, kalau ia ingin anaknya dibebaskan. Namun jumlah itu sangat besar bagi orang kampung yang kerjanya hanya sebagai tukang derep dan cangkul. Orang sepeti Tarno baru mendapatkan uang bila mejual tenaganya pada para juragan dan orang-orang yang memiliki sawah ladang. Orang kampung yang lugu itu sama sekali tidak mengerti apa-apa tentang prosedur serta administrasi. Yang ada dalam pikirannya, penjara adalah tempat dimana semua tahanan setiap hari disiksa.
Malam itu Tarno terlihat menangis dan bersimpuh dihadapan mbah Brenggolo, yang masa mudanya disebut sebagai brandal kawuk. Sementara diluar, suasana pedusunan semakin tercekam sepi. Mbah Brenggolo tak banyak bicara. Ia menatap dalam-dalam Tarno, saat lelaki itu berpamit pulang dengan tatapan mata kosong dan langkah kaki yang berat. Perlahan-lahan tubuh Tarno tertelan malam.
***
Pagi itu nampak cerah. Sinar matahari menyaput embun dan kabut yang masih bergelantungan diranting-ranting pepohonan. Angin dingin terasa menelusuk disela-sela tulang iga. Rasa dingin membuat Sumi segera terbangun dari tidurnya. Perempuan itu masih menyimpan kecemasan yang mengerubunginya tadi malam. Raut wajahnya sangat kecewa, saat menyadari bahwa pagi ini ia tidak mendapati suaminya pulang.
Sumi melangkah menuju pintu bambu yang tertembus cahaya matahari. Langkahnya bergegas mencari Tarno ke rumah beberapa tetangga. Namun tak satupun dari mereka mengetahui kabar keberadaan suaminya. Dengan wajah yang semakin lesu ia melangkah menghampiri mbah Brenggolo. Lelaki tua itu sedang menyeduh secangkir kopi di emperan rumahnya sambil menghisap sebatang rokok klobot yang terselip diantara jemarinya yang rapuh. Asap putih menggumpal menerobos melewati sela-sela bibir yang keriput.
Sumi segera menemui mbah Brenggolo untuk mencari tahu keberadaan suaminya. Namun belum lagi pertanyaan itu dilontarkan seorang pemuda kampung terlihat berlari mendekat kearah mereka dengan wajah yang panik. Mbah, Mbaaah, Mbaah....Brenggolo. Be,be,be begini mbah. Pamuda itu mencoba bicara, namun nafasnya yang tersengal membuatnya menjadi sulit untuk berucap. Mata orang tua itu melotot tajam, mencium aroma keganjilan dari wajah yang panik. Ayo sini kamu duduk dulu. Ini, minum air putih, lalu atur nafasmu.
Segelas air putih segera disodorkan kepada pemuda itu. Perlahan ia meminumnya. Sesaat nafasnya yang bergemuruh ia tenangkan. Lalu perlahan-lahan pemuda itu mulai berbicara. Tapi mbah, pemuda itu terdiam sesaat. Kebetulan ada lik Sumi disini. Sumi yang tiba-tiba disebut namanya mendadak berdebar-debar hatinya. Pemuda itu melanjutkan bicaranya. Ada apa dik...apa maksudmu mengatakan kebetulan aku ada disini, teriak sumi tertahan. Begini Mbah dan lik Sun, saya barusaja melihat kang Tarno Lik. Tubuhnya menggantung dipohon nangka dekat sumber air dipinggir hutan mbah.
Kabar pemuda itu seperti kilat yang menyambar-nyambar. Seketika Sumi jatuh pingsan. Mbah Brenggolo segera meminta istrinya untuk mengurus Sumi. Sementara mbah Brenggolo dengan pemuda segera menuju sumber air. Beberapa orang kampung yang berpapasan dijalan diberitahu mbah Brenggolo untuk menyertainya. Langkah mereka begitu bergegas, seolah menyongsong pagi yang mengarak kematian.
***
Didekat sumber air disebuah pohon nangka yang berumur ratusan tahun, Jasad Tarno terlihat menggelantung. Seutas tali menyendat lehernya. Tali itu terpaut pada sebuah dahan yang cukup tinggi. Beberapa orang segera diperintahkan mbah Brenggolo utnuk memanjat pohon itu. Sementara para tetua kampung berkumpul agak menjauh. Nampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu. Tak berapa lama, mereka kembali mendekati jasad Tarno yang diturunkan dengan menggunakan sebuah sarung yang dikaitkan diantara lengannya yang sudah kaku. Sarung itu diikat dengan seutas tali besar pengekang kerbau. Seperti sebuah bendera, jasar Tarno perlahan-lahan diturunkan. Mereka yang berada dibawah segera menangkap dan melepaskan tali pengikat jasad Tarno itu perlahan-lahan. Para tetua melangkah mendekat sambil melihat-lihat ika ada keganjilan pada tubuh Tarno.
Begini semuanya, mbah Brenggolo berucap. Kalian tau, kalau Tarno mulai kecil takut ketinggian, apalagi untuk menaiki sebatang pohon sebesar ini, memasang genting saja ia tidak berani. “Ia mbah, betul itu, Tarno tidak mungkin berani naik kedahan yang tinggi”. Beberapa orang menjawab dengan serempak. Mereka segera mengerti apa yang dimaksudkan mbah Brenggolo.
Mereka bersepakat untuk menutup berita kematian Tarno, agar kematian Tarno tidak tercium oleh pihak kepolisian. Jika ada yang menanyakan perihal kematian Tarno, mereka harus menjawab, “Tarno dijadikan tumbal oleh orang yang mencari pesugihan”.
Pagi itu pemakaman segera dilangsungkan. Anak-anak kecil tidak diperkenankan melihat proses pemakaman itu. Semua disembunyikan didalam rumah. Kepada mereka diceritakan bahwa Tarno menjadi tumbal pesugihan oleh para juragan dan tuan tanah. Bulu kudu anak-anak kecil yang mendengar cerita itu berdiri tegang. Dalam pikirannya yang sederhana, mereka melihat sosok para juragan dan tuan tanah seperti buto yang haus darah dan selalu mencari tumbal nyawa untuk kekayaannya.
Tak ada satupun yang berani menengok keluar pintu saat jasad Tarno diangkat para tetua dan pemuda kampung ke pekuburan. Sementara para perempuan masih menyembunyikan anak-anak mereka didalam rumah masing-masing. Kepala mereka dibuntal dengan sarung. Anak-anak itu seperti terkurung gulita. Suasana gelap itu yang justru membuat hayalan mereka membumbung meninggi.
Kematian orang kampung yang tragis itu dikaitkan dengan tumbal pesugihan. Dan begitulah yang selalu dilakukan oleh orang-orang kampung sedari dulu. Karena hanya itu cara mereka untuk memupuk kebencian terhadap juragan dan tuan-tuan tanah yang kikir dan semena-mena. Anak-anak akan mewarisi cerita bahwa kekayaan para juragan dan tuan tanah itu diperoleh dari tumbal pesugihan dan dibantu oleh siasat jahat setan.
Tarno adalah kematian yang kesekian kalinya. Bahkan kampung itu sudah terlalu sering mendapatkan kiriman tubuh manusia, baik tubuh warga kampung itu sendiri atau orang luar yang jasadnya sengaja ditaruh dikampung itu. Beberapa kali mandor hutan dengan dibantu beberapa aparat sengaja membantai orang-orang yang dituduh menjadi perusuh, pengganggu stabilitas, menolak mananam tebu dan menjadi otak pencurian kayu. Jasadnya hanya diuruk tanah tipis. Sehingga bagian kaki dan tangan dibiarkan menyembul dipermukaan tanah. Sementara keesokan harinya, orang-orang kampung yang menemukan mayat-mayat itu segera menguburkannya dengan mulut yang membisu batu.
***
Pernah suatu hari, seorang mandor tewas ditangan Diran saat ia melihat istrinya yang sedang mencari ranting kering pepohonan dan daun-daun untuk pakan kambing dipaksa meladeni nafsu bejat sang mandor disebuah rumbun tepi segaran. Ancaman bedil membuatnya terdiam tanpa perlawanan. Ia tidak bisa berteriak karena mulutnya disumpal kain gendongan, sementara tangannya diikat kebelakang. Melihat kejadian itu Diran segera memanggil beberapa orang yang kebetulan berjarak tidak begitu jauh darinya. Dengan cepat mereka menghambur menuju ketempat sang mandor. Sebatang kayu sudah terpegang erat ditangan. Mandor hutan itu tidak mengira bahwa sebuah benda keras sedang menghujam kearah tengkuknya. Sekejap ia tergelepar dan roboh.
Diran yang seperti kesetanan membekap mulut dan hidung sang mandor. Dalam hitungan detik sang mandor itu menghembuskan nafas terakhir dengan wajah membiru. Sementara Diran masih duduk terpaku memandangi kematian sang mandor itu dengan hati lega. Ia seperti telah membalaskan sakit hati puluhan perempuan dan gadis kampung yang telah menjadi korban mandor hutan itu. Beberapa orang yang ada disekitar Diran segera membantu mengangkat jasad sang mandor. Mereka menenggelamkannya kedasar segaran, sekaligus merapikan tempat-tempat yang mungkin bisa dijadikan polisi mencari bukti.
Aparat polisi dibantu petugas kehutanan yang menemukan jenazah sang mandor beberapa hari berikutnya hanya mampu mendapatkan bukti-bukti penyebab kematian sang mandor berupa cerita-cerita orang kampung bahwa mandor itu telah menjadi tumbal penunggu segaran. Akhirnya Polisi pulang dengan tangan hampa. Beberapa orang yang ditangkap dan diinterograsi juga memberikan kesaksian yang sama. Bahwa mandor itu telah menjadi tumbal penunggu segaran.
***
Hari terus berlalu. Gemuruh waktu yang membawa asap pekat belum pernah pudar dihempas cakrawala. Setiap kematian yang datang selalu menyisakan cerita yang sama. Tumbal, santet, pesugihan dan lain sebagainya. Ini seperti jalan bisu yang menjadi pilihan. Hanya itulah cara mereka untuk menyembunyikan kepedihan saat kehilangan anggota keluarganya. Mereka tidak punya kuasa untuk menanyakan tentang rentetan kematian itu. Atau justru mereka akan ditangkap hanya karena menanyakan perihal kematian anggota keluarganya kepada aparat. Mereka lebih memilih membuat cerita, dan menyembunyikan semua yang terjadi diantara lipatan kata-kata.
***
Disebuah pagi yang sunyi anak-anak kecil lari berhamburan dari tempat mereka bermain. Mereka melihat deru mobil Jeep yang berarak melintas dijalan-jalan desa. Cuplekan-cuplekan teriak anak-anak kecil yang berlari secepat kilat menjauh dari jalan kampung disusul oleh anak-anak yang lainya.
Di kampung terpencil ini tak ada sekolah yang didirikan. Hanya beberapa juragan dan tuan tanah yang mengirimkan anaknya untuk bersekolah didesa lain yang jaraknya cukup jauh. Itupun tak lebih dari dua anak. Sehingga yang dilakukan oleh anak-anak sepanjang hari adalah bermain. Sesekali mereka membantu orang tuanya mencari kayu bakar dan rumput.
Seorang perempuan setengah baya menyunging senyum dendam melihat tingkah anak-anak kecil yang mulai membenci orang-orang proyek itu. Perempuan itu adalah Sumi. Setelah suaminya meninggal, beberapa juragan dan orang-orang proyek sering mampir kerumahnya. Sumi adalah perempuan kampung yang terkenal cantik. Sepeninggalan Tarno, juragan-juragan dan orang-orang proyek itu menggunakan Sumi sebagai tempat pelampiasan hasratnya. Namun perempuan itu masih bertahan hidup dengan menelan setiap ancaman yang ditujukan para juragan kepadanya. Dalam kebisuannya dan kepedihannya ia terus menyimpan catatan rahasia para juragan dan orang-orang proyek. Catatan yang tak pernah diketahui oleh penduduk kampung.
Ia terus tersenyum saat mendengar cerita tentang perburuan biji bola mata anak-anak untuk tumbal pembangunan bendungan yang dulu sengaja dihembuskan oleh para tetua kampung kini masih hidup dalam pikiran anak-anak. Seperti cerita-cerita yang pernah dihembuskan sebelumnya, dan hanya itu yang selama ini bisa mereka lakaukan. Karena mereka tak lagi punya kuasa untuk menolak proyek besar itu. Sumber-sumber air yang awalnya mengalir dengan baik kearah kampung kini dialirkan kewaduk untuk memenuhi kebutuhan pengairan. Banyak sungai-sungai lainnya juga dialihkan jalurnya menuju waduk. Proyek besar itu diperuntukkan bagi program penanaman tebu.
Warga dusun hanya bisa pasrah dan membiarkan saja semuanya terjadi. Mereka tidak ingin menambah korban nyawa jika memaksa menolak proyek itu. Karena mereka sadar, jika semua kematian yang selalu terjadi hanya berakhir dalam cerita bisu.
Sekarang yang mereka lakukan hanyalah mewariskan cerita pada anak-anak mereka yang masih kecil. Bahwa pembangunan waduk tersebut membutuhkan biji bola mata manusia yang banyak untuk tumbal. Sementara mobil-mobil Jeep yang ditumpangi para insinyur itu adalah orang-orang yang kejam yang selalu mencungkil mata anak-anak kecil. Meskipun sebenarnya para insinyur dan mobil-mobil Jeep itu tidak pernah menculik anak kecil dan mengambil bola matanya sekalipun.
Semua cerita itu hanyalah wujud dari kebencian dan kemarahan yang tak bisa mereka ungkapkan. Mereka hanya berharap, kelak anak-anak mereka yang kini memendam cerita itu, akan lahir menjadi air bah yang dapat memporak-porandakan bangunan-bangunan angkuh yang telah merenggut kuasa dan daya mereka.
***
Udara malam terasa beku. Ditimur lintang kemukus berwarna api nampak bersinar menggaris angkasa. Diiringi gemuruh angin merah darah yang datang menghempas rumah-rumah tua yang didirikan diatas rintihan jerit tangis penderitaan. Ribuan sukma merayang berputar-putar seperti kabut. Menyaksikan ribuan senapan beradu dengan batu-batu. Gajah-gajah bertarung dengan semut merah yang menggunung. Sementara orang-orang dusun yang meratapi nasibnya yang tak beruntung itu hanya memandang dari jauh wajah langit yang biasanya berdiri angkuh, kini terkoyak oleh nyanyian beringas anak-anak kecil dengan ususnya yang masih terburai. Darah segar mengucur ditiap tapak-tapak titian.
Zaman wola-wali, semut ngangkarang nggempur gunung merapi, teriak mbah Brenggolo ditengah keheningan malam. Semua warga dusun tercengang oleh pertempuran hidup mati. Langit semakin memerah darah. Kilatan cahaya api membakar setiap ruang kosong. Memporak-porandakan bekas-bekas pemujaan yang telah lama membuat jutaan kepala menunduk dengan kaki-kaki menekuk.
Mbah Brenggola berjalan keluar menyusuri jalanan kampung. Menuju kepinggiran hutan untuk bersamadi. Namun mendadak matanya terbelalak, ketika meilhat ratusan orang membawa parang dan gergaji mesin beramai-ramai. Satu-persatu pohon-pohon yang tua yang batangnya sangat besar itu tumbang. Aparat dan mandor hutan ikut bersama-sama didalamnya. Mereka seperti sedang berpesta pora. Ratusan truk berbagai ukuran keluar masuk tanpa henti. Para penduduk kampung akhirnya tak mau kalah, mereka berhambur dan ikut larut dalam tarian kebengisan malam itu. Anak Tarno yang mata sebelahnya menjadi buta nampak duduk satu mobil dengan seorang polisi. Ditangannya terselip sebatang rokok. Sesekali asap mengebul dari bibirnya yang tebal, dan sebelah matanya menyaksikan satu-persatu pohon-pohon yang rebah.
Perasaan brandal kawuk seperti terbakar, namun ia hanya bisa menjerit lirih. “Ini memang jaman edan”, teriaknya perlahan. Mengapa mereka justru mengikuti jejakku yang kutinggalkan bersama masa lalu yang telah kulupakan. Anak-anak itu, apakah sekarang mereka sedang termakan kebencian. Bergerak seperti air bah, menghalau gunung-gunung, dan menerbangkan sungai-sungai dengan mata memerah dan mulutnya berapi.
Brandal Kawuk mendadak terdiam. Teringat apa yang pernah ia dan para tetua kampung sering ucapkan dan ceritakan pada anak-anak. Ia tertegun menyaksikan apa yang terjadi didepannya adalah mimpi yang nyata. Tak berapa lama Brandal Kawuk segera beranjak dari tempatnya temangu. Kaki-kakinya yang renta membawanya menuju rumah tua yang mulai melapuk. Sebuah lampu teplok ia nyalakan. Hatinya semakin resah saat pagi yang ditunggu tak kunjung datang. Sementara Sumi justru mematikan lampu dan menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Karena dalam gelap itulah ia menemukan dirinya tanpa cacat dan caci.


Hasrat
19.08 ---16/09/07
Tulungagung
eb32










Minggu, 27 Januari 2008

Gadis Hujan

Ini seperti ketersesatan, ahhh tidak. Itu kata-kata yang terlalu mengerikan untuk didengar banyak orang. Kita sedang bingung. Bukan.....bukan kita, mungkin hanya aku saja. Saat tiba-tiba langkahku terhenti, aku merasa seperti terjebak didalam perkampungan kumuh yang penuh dengan kubangan disana-sini. Diantara kubangan-kubangan itu aku melihat tonggak-tonggak kayu lapuk berhiaskan bendera-bendera kuyup yang menangis. Sementara anak-anak kurus terlihat berbaris melingkar-lingkar, sembari mengurai ususnya yang berserak diantara kaki-kaki yang tak tegap. Mereka dikelilingi serpihan triplek dan atap seng yang berkarat. Seolah menjadi penggambaran keterasingan yang kian sekarat. Baju-baju kotor bergelayutan terpampang disisi-sisi gang yang berhimpit. Ahh.......mataku, ia terus mengajaku menyaksikan anak-anak kecil yang masih terus berputar-putar sambil bernyanyi. Raut wajah mereka terlihat kelelahan, karena terus-menerus melantumkan lagu yang sama. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang menepuk punggungku dari belakang.
“Nak....bantu kakek menyeberang ya?
“Oh.....Iya kek......! jawabku spontan.
Aku segera memegang tangan kakek tua itu dan menuntunnya perlahan melewati jalanan yang gaduh. Suasana pasar tradisional yang berada tidak jauh dari stasiun kereta api, siang itu memang berubah menjadi sangat ramai.
“Besok akan ada upacara dikampung ini”, kata kakek tua kepadaku.
“Zaman kakek, upacara bendera itu hanya dilakukan dikantor-kantor dan
lapangan kecamatan nak.
“Sekarang setiap kampung membuat upacaranya sendiri. Semua menggelar pesta raya sendiri-sendiri,
“sepertinya kemerdekaan itu sudah mirip dengan pasar malam.
“Saya tidak tahu, apa yang sesunggunya ada didalam benak mereka sekarang.
“Mungkin saja orang-orang itu sudah sangat penat menjalani hidup,
sehingga kemerdekaan ini cukup mereka lampiaskan dengan panjat pinang dan gebuk bantal.
“Ya...nasionalisme pohon pinang dan gebuk bantal, ha...ha...ha.
Kakek tua itu bercerita sambil tertawa-tawa menyusuri jalan. Tak menghiraukan aku yang beusaha menyeberangi jalan dengan kendaraan padat berlalu lalang.
“ Tapi biarkan saja, kakek tua itu setengah berteriak. Kelak mereka akan mengerti bahwa pesta itu hanyalah sebuah ritual dari ketidakberdayaan, tempat tertawanya kaum paria.
Ha...ha...haa. Aku sedikit terperangah mendengar apa yang ia ucapkan.
Sesampainya di seberang jalan, ia langsung menunjuk kesebuah warung kopi yang tak jauh dari tempat kami berhenti. Aku sepertinya tak sanggup menolak permintaannya. Kami segera menuju angkringan kecil yang berada disudut perempatan jalan.
Kopi dua mas...ucap kakek tua itu. Nak...kamu ambil sendiri apa yang kau mau.
Ia Kek, jawabku sambil mengangguk.
Kakek tua itu melanjtukan pembicaraanya, dan menyelipkan suaranya diantara bising kendaraan yang lalu lalang.
Dipenjara, hidup tak ada pilihan, kecuali menikmati tembok dan jeruji. Sesekali keluar ke lapangan, melihat beberapa pohon dan rumput-rumput liar. Mereka sedikit terhibur jika datang hari-hari seperti ini, dan setelah pesta sesaat itu berlangsung, hidup berjalan seperti biasanya, terkurung, penat, dan hanya lamunan saja yang bebas menjarah dunia.
Aku terdiam mendengarkan perkataan demi perkataan kakek tua itu.
“Ayo...ini diwarung, ambil yang kamu suka, jangan diam saja.
“Ini ada rokok, ambil saja. Pinta kakek tua itu kepadaku.
“Kamu mau jadi seperti orang-orang kebanyakan itu, yang hidupnya
sudah susah, dan tidak punya pilihan.
Segera kuambil pisang goreng untuk menutupi rasa malu karena terus dicemooh kakek tua itu.
Kek, kakek dulu pernah belajar dimana? Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Kakek hanya sekolah di SR nak, sekolah rakyat.
Setahu kakek, sekolah itu membuat rakyatnya menjadi pintar.
“Kalau sekarang tidak ada sekolah rakyat, tetapi sekolah pejabat alias SP,
jadi pejabatnya yang pintar, rakyatnya yang jadi bodo-bodo, ha...ha...ha.
Tawa renyah keluar dari mulut tua yang kehilangan banyak gigi itu.
“Oh..iya namamu siapa nak?. Nama saya Prahasto kek. Oooo...Prahasto,
nama yang baik.
“Panggil saja kakek mbah Man, tapi nama lengkap kakek
adalah Suhardiman. ***

Percakapan kami berlangsung dengan santai. Tawa kami berdua sering meledak-ledak dan bahkan kami sempat terpingkal-pingkal. Mbah Man memang orang yang nampak sederhana, namun ia seperti menyembunyikan segudang misteri. Siang ini aku hanya mampu mengintip dari retakan kecil yang ada pada jendela rumah hidupnya. Selang beberapa waktu, kakek tua itu mengucapkan terimakasih kepadaku. Ia bermaksud memberikan sesuatu, karena ia merasa sudah ditolong. Segera aku menahannya. Sudah Kek, tidak usah repot-repot, ini kan tidak seperti acara televisi kek. Saya senang kok bisa membantu kakek. Saya telah banyak belajar dari kakek. Saya baru sadar kalau pemuda seperti saya itu ternyata tidak punya banyak pilihan. Seperti orang yang dipenjara.
Ya...sudah kalau begitu, kata mbah Man. Kapan-kapan perjalanan akan mempertemukan kita lagi. Hati-hati ya nak, semoga kamu nanti bisa mengibarkan bendera lebih tinggi dari yang kakek bisa. Sama-sama mbah Man, jawabku. Aku tersenyum mendengar apa yang ia ucapkan. Siang itu kami berpisah. Tukang becak terlihat membawanya pergi menelusup diantara jalanan yang sedang macet.
Aku melangkah menyusuri trotoar kecil menuju ke belakang pasar sambil merenungkan kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut keriput kakek tua diwarung tadi. Sebenarnya sangat susah mulutku menyebut kakek, aku lebih nikmat dengan memanggilnya pak tua saja. Rasanya lebih akrab, dan lebih memiliki kedalaman.
Tanpa terasa aku telah jauh menyusuri jalanan kecil yang membawaku kesebuah perkampungan kumuh. Aku tidak mengerti, hari ini kaki-kakiku seolah punya keinginan sendiri untuk melangkah. Justru aku yang dipaksa mengikuti kemana arahnya. Sepertinya ia hendak menunjukkan sesuatu padaku. Atau mungkin kaki-kakiku lebih mengerti apa yang diucapkan pak tua itu daripada otakku. Bisa jadi....aku mulai tersenyum kecut.
Langkahku berhenti sejenak. Diujung gang nampak berdiri termangu seorang perempuan setengah baya. Tangannya nampak berat memegangi dagu, ia seperti sedang memperhatikan sesuatu yang ada dihadapannya. Tak berapa lama aku melangkah, aku sudah sampai didekatnya. Hingga saat diriku tepat berada disampingnya, ia seperti sedang mengatakan sesuatu.
“anak-anak itu akan bertugas, esok pagi mereka harus bernyanyi.
“Aku dulu juga seperti mereka, menyanyikan lagu yang sama.
“Aku mulai cemas dengan nasib mereka kelak.
“Apa harapan yang terbaik bagi orang-orang seperti kami.
Kata perempuan itu menggerutu.
Aku menganggukkan kepala, berusaha membaca mimik wajahnya yang nampak khawatir. Meski aku tidak tahu ia sedang bertutur pada siapa. Namun aku berusaha tersenyum menyambut apa yang dia ucapkan.
Aku masih berdiri termangu. Ikut menyaksikan sekumpulan anak-anak yang berputar-putar mengelilingi tonggak kayu sambil bernyanyi. Suara mereka terdengar parau meresak-resak seperti sembilu. Mendadak aku terperangah, dan disaat yang sama jantungku terasa berhenti. Aku teringat kembali apa yang baru saja kulamunkan dipasar tadi, kini semuanya seolah menjelma menjadi nyata. Ku usap mataku berkali-kali, memastikan bahwa ini hanya sebuah halusinasi liarku. Tapi...tunggu dulu, ini bukan bukan halusinasi. Ini benar-benar nyata, teriaku lirih.
Perasaanku menjadi cemas, bayangan anak-anak dalam lamunanku kini ada dihadapan, dan cerita pak tua yang baru saja kudengarkan seolah ikut mengusik membakar keresahan. Ini nyata, aku telah terjebak dalam sebuah perkampungan kumuh dengan bendera-bendera lusuh yang tertancap ditengah-tengah kubangan. Sementara anak-anak kecil itu terus berputar-putar menyanyikan lagu kebangsaan dengan usus terurai diantara kaki-kakinya yang tak tegap.
Aku masih terus berusaha memperhatikan mereka. Saat tiba-tiba, wajah bocah-bocah kecil yang lugu itu berubah menjadi layu dan pucat pasi, warna hitam dibola matanya berangsur semakin mengecil, hingga yang nampak tinggal warna putih dengan bintik hitam ditengahnya. Mereka serentak melangkah menuju ketempat aku berdiri. Pandangannya yang tajam menatapku tanpa berkedip, seolah mereka akan merajami setiap jengkal kulit tubuhku tanpa tersisa. Seorang perempuan yang sedari tadi ada disampingku juga terlihat semakin aneh. Kulit wajah dan tubuhnya berubah memutih, kedua bola matanya seperti mau keluar saat ia memelototiku. Aku terjebak, teriaku. Semua yang kutemui ditempat itu tubuhnya berubah jadi memutih. Bahkan yang sedari tadi berada didalam rumah-rumah triplek dan kardus, satu-persatu mulai keluar. Mereka sama, kulitnya, matanya semuanya berubah memutih. Bulu kuduku serempak berdiri, sementara dadaku terasa berdegub kencang. Seperti menahan luapan ketakutan yang teramat sangat.
Ini adalah kematian, teriaku.
Sebuah perkampungan yang mati.
Aku segera berlari, berusaha meninggalkan mereka sebelum aku ditangkapnya beramai-ramai.
Tunggu, jangan mendekat, aku tidak bermaksud mengganggu kalian.
Jangan, aku akan pergi.
Aku berusaha berteriak dan mengatakan sesuatu pada mereka. Tapi mereka sepertinya tidak memperhatikan teriakanku. Aku harus segera pergi, kataku lirih. Dengan secepat kilat aku berlari meninggalkan para penghuni perkampungan itu tanpa sempat berfikir kemana arah yang sedang kutuju. Berlari dan terus berlari.
Diujung gang, aku menemukan jalan raya yang ramai. Aku berhenti sejenak, nampak beberapa petugas sedang duduk-duduk dipos polisi yang lusuh. Hatiku sedikit lega, lalu aku segera menengok ke belakang dengan perasaan khawatir. Namun tak ada tanda-tanda bahwa mereka sedang mengejarku. Gang kecil yang membentang dibelakangku terlihat sepi. Sejenak aku menenangkan diri, untuk menata nafasku yang masih terengah-engah. Rasa lelah menggelayut diantara urat kaki yang penat. Dengan hati yang masih diliputi kecemasan, aku mencoba melangkah kembali. Menyusuri pagar pembatas jalan yang berdiri memanjang.
Tepat didepan sebuah toko kecil yang menjual makanan aku berhenti. Disampingnya ada toilet umum tempat tukang becak dan anak jalanan serta para kuli yang tidak punya rumah tinggal mandi dan membuang hajat. Segera saja aku masuk. Seorang penjaga menatapku dengan senyuman ringan. Aku tak begitu memperhatikannya dan terus saja melangkah untuk membasuh wajahku yang terasa berat. Kebetulan didalam aku menemukan sebuah wastafel, diatasnya menempel potongan cermin berukuran sedang yang dilekatkan kedinding dengan beberapa paku. Sebuah kran air berwarna kuning emas yang sudah tua kubuka perlahan. Sesaat aku menunduk, dan mulai mebasahi mukaku beberapa kali.
Siraman air kran yang dingin terasa begitu segar, apalagi siang ini matahari bersinar sangat terik. Aku kembali berdiri dan menghadapkan wajahku ke arah cermin. Tiba-tiba hatiku seperti disambar kereta api. Aku terkejut bukan kepalang, saat melihat seluruh wajahku berubah menjadi tua dan keriput, rambutku yang hitam kini juga terlihat memutih. Mendadak mulutku ingin berteriak sekeras-kerasnya, namun ketika kulihat semua gigi-gigiku berwarna hitam kelam, lidahku seperti meregang tertahan.
“Jangan pergi”, tiba-tiba ada suara yang terdengar sangat dekat
ditelingaku.
Suara yang serak dan berat itu membuat tubuhku menjadi gemetaran, otot-ototku seperti terserang lumpuh layu. Aku sangat ketakutan karenanya. Ohh...mengapa disekelilingku tidak ada siapa-siapa.
“Lihatlah ke cermin”, ia memberikan perintah kepadaku.
Aku tiba-tiba mengikuti apa saja yang ia katakan. Kaki dan tanganku seperti terpatri, sehingga tidak ada kuasa bagiku untuk bergerak sedikitpun.
“Kau telah melihat dirimu sendiri, mengapa engkau hendak berlari”.
Suara itu muncul kembali, namun terasa lebih dalam masuk ditelingaku.
“Bukankan engakau sudah mati sedari kau tidak menyadari bahwa
engkau telah mati”.
Aku terperangah. Keringat ditubuh kini mengalir bak air bah. Dengan sekuat tenaga aku berusaha meronta. Kucoba menggerakkan jari-jemari tanpa menghiraukan pada suara-suara yang mengusikku semakin keras. Tiba-tiba kaki dan tanganku serempak bisa bergerak. Lalu cepat-cepat aku berlari keluar, tanpa memperdulikan penjaga toilet. Aku terus berlari sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Orang-orang disekitar yang melihat tingkahku nampak terkejut dengan sikapku yang aneh. Namun aku tak berani menatap mereka, dalam pikiranku, mereka semua juga telah berubah menjadi keriput dan memutih. Aku kembali berlari tanpa arah dan berusaha menghindari kaca-kaca yang bisa memantulkan bayanganku disana.
***
Diatas, langit terbalut mendung gelap, perubahan musim membuat cuaca jadi tak menentu. Persis seperti tak menentunya nasib mereka yang sedari dulu berlindung pada setiap kata yang menjanjikan harapan. Keadilan, kesejahteraan, dua kata yang telah lama mereka jadikan penjara bagi harapan-harapan yang kini hampir mati. Nafasku terasa mulai sesak. Aku melihat beberapa lalat berputar-putar didekat kepalaku. Bau anyir dari sampah yang membusuk terasa menusuk pangkal hidung. Segera aku pergi menjauh. Mencoba mengusir bayangan-bayangan kecemasan yang sedari tadi menderaku.
***
Sinar matahari semakin redup, tertutup awan hitam yang berarak. Angin dingin terasa menyengat tulang-tulang igaku hingga terasa ngilu. Tiba-tiba jantungku seperti berhenti berdetak, dan mataku menjadi berkunang-kunang, bahkan seperti ada ribuan kunang sedang mengelilingiku. Rasanya seperti mau mati saja.
Kaki-kaki ini kupaksa untuk berhenti. Namun rasa cemas dihatiku belum juga usai. Aku bertanya-tanya, apakah saat ini mataku kembali berubah menjadi memutih. Ahh...aku juga tak berani melihatnya. Tubuh ini terasa semakin lemah, dan aku membiarkan saja saat ia rebah dan tersungkur ke tanah.
Dunia seolah menjadi berputar-putar, dan aku seperti sedang merasakan sesuatu. Ada getaran lirih menyingkap lembut disela-sela bulu kuduku. Aroma dingin yang menenangkan mulai menggerayang, sementara putaran-putaran waktu mengalir perlahan menyelimuti ragaku yang rapuh.
Cahaya putih berpendar menari mengitar di ubun-ubun kepalaku. Aku seperti sedang terbang, meninggalkan diriku hingga tak tau kini berada dimana. Tiba-tiba beberapa bayangan nampak melintas didepanku, bersamanya terdengar alunan merdu sebuah lagu yang sudah sangat aku kenal. Namun aku tak mendengar syair yang mengiring, dan yang ada hanya suara anak-anak yang bersenandung menggumam. Suara itu mengiringi bayangan-bayangan tipis yang bergerak berarak seperti kapas tetiup angin.
Bayangan-bayangan itu kini menjelma menjadi anak-anak kecil yang sedang menggendong janin dengan tali pusar yang masih melilit ditubuhnya. Mereka terbang perlahan mengikuti alunan awan. Pandanganku terpaku melihatnya. Bahkan nafasku kini benar-benar terhenti, mataku tak mampu lagi berkedip, dan mulutku tak kuasa untuk bersuara, sementara lidahku sepertinya sudah beku sedari tadi.
****
Suara-suara............!
Merdeka.....Merdeka.....Merdeka haa...ha...ha...ha. Teriakan suara-suara yang keras itu mengusik daun telingaku. Aku merasa seperti tersentak, jatuh dan runtuh dari magi-magi yang membawaku kepuncak maya. Sebuah buku yang tadinya kupegang mendadak terjatuh. Aku segera memperbaiki posisi dudukku, sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi. Aliran keringat dingin tiba-tiba menjalar keseluruh tubuh. Belum selesai aku mencari tau, seorang perempuan cantik yang melihatku segera mendekat dan berusaha mengambilkan bukuku yang tergeletak dilantai. Aku baru sadar kalau ternyata aku sedang tertidur disebuah sofa dibalkon tempat aku menginap.
Perempuan cantik itu dengan ramah segera menyerahkan buku itu kepadaku sambil berkata;
”Maaf pak, buku anda terjatuh....?
“Bapak kelihatannya sangat
kelelahan.....?
“Aku tak kuasa menjawab, mulutku seperti masih terkunci rapat.
“Apa tidak sebaiknya anda istirahat dulu dikamar..... ?
“Gadis itu menanyaiku kembali.
“Ohh...terimakasih, ee... saya lebih baik minum jahe hangat saja, jawabku
dengan berat.
Aku berdiri mengangkat tubuhku, namun sepertinya baru kusadari jika mataku sedari tadi terpaku menatap sosok perempuan yang berdiri didepanku itu. Kuperhatikan wajahnya yang nampak berseri-seri, kedua bola matanya telihat seperti sepasang permata. Kecantikannya kian sempurna ketika sekuntum bunga merah terselip diatas daun telinganya yang Indah. Aku menjadi nekat, kupegang saja tangannya untuk memastikan apakah kulitnya akan berubah menjadi memutih dan keriput. Ia nampak kebingungan dengan sikapku. Maaf... maafkan saya, saya tidak bermaksud......, aku berusaha menenangkannya. Saya benar-benar mohon maaf. Mungkin benar apa yang anda katakan. Bisa jadi saya memang sangat kelelahan. Perempuan itu hanya tersenyum, seolah memaklumi apa yang baru saja kulalakukan. Baiklah, saya lebih baik ke restoran dulu, terimakasih sudah mengingatkan saya.
Segera ku bergegas melangkah menuju restoran yang berada dibagian depan penginapan. Pandanganku tertuju pada sebuah meja bundar yang dikelilingi tiga kursi rotan disisi kiri ruang tepat menghadap kearah selatan, sementara pintu masuk berada disebelah barat. Beberapa batang bunga sedap malam menghias diatas meja, tangkainya memenuhi pot kaca yang berisi gel warna-warni namun terlihat bening. Bunga itu nampak putih bersih, beberapa kuntumnya mulai bermekaran. Aroma wangi yang bertabur memberikan sentuhan ketenangan batin yang teramat dalam.
Sebuah buku dan tas kecil segera aku letakkan disisi kiri meja. Tak berapa lama, seorang gadis pelayan yang cantik dengan seragam putih berjarit datang menghampiriku. Hiasan bunga merah yang terselip diatas daun telinga menambah keanggunannya semakin menawan. Dengan senyum yang ramah ia berikan daftar menu itu kepadaku. Aku tak sempat membacanya. Langsung saja kupesan minuman jahe putih hangat dengan gula merah cair. Gadis itu mengangguk tanda mengiyakan. Ia segera bergegas mengambilkan pesananku dengan senyuman yang masih membekas dilembaran imaginasiku.
“ Mbak...mulutku tiba-tiba memanggilnya.
Gadis itu berbalik, dan menjawab.
“Ada apa bapak?.
Mataku tiba-tiba seperti bergerak sendiri, menatapnya tajam-tajam ke setiap lekuk tubuhnya yang mempesona. Namun aku merasa cemas, apakah kulitnya yang halus itu juga akan berubah menjadi putih dan keriput. Gadis itu terlihat kebingungan ketika kutatap matanya dalam-dalam. Dengan cepat aku berusaha menjelaskannya.
“Ee...begini mbak, panggil saja saya Pras, nggak usah pakai “pak”,
nama saya Prahasto.
“Gadis itu tersenyum ramah, terimakasih mas Pras.
Ia segera bergegas untuk memenuhi pesanan yang kupinta.
Mataku belum mau berhenti, sepertinya hari ini aku benar-benar tidak mampu mengendalikannya. Seperti saat aku tak kuasa mengendalikan kakiku siang tadi. Ia mengajakku berkeliling mengitari loby penginapan dari dalam restoran yang hanya dibatasi oleh kaca bening, menatap setiap lekukan-lekukan yang ada diruang itu. Mencoba menemukan guratan-guratan yang masih menyimpan berkas-berkas cerita. Beberapa lukisan bergenre suryalis yang bergantung seperti menjelma menjadi semacam ilustrasi. Perlahan-lahan pandanganku terus bergerak tertuju pada lembaran kain berwarna-warni dan jatuh pada rangkaian yang ada disana. Ahh....dipenginapan ini juga terlihat semarak bendera-bendera dan simbul-simbul perayaan.
Perhatianku mulai tertuju kearah meja-meja disekitarku. Beberapa orang nampak duduk mengitarinya. Sepertinya mereka sedang asyik terlibat dalam sebuah pembicaraan. Mereka adalah orang-orang yang tadi berteriak merdeka-merdeka lalu tertawa-tawa. Dari gaya bicaranya, mereka tidak sedang membicarakan tentang kemerdekaan. Orang-orang itu terlihat sedang menikmati liburannya sambil menghabiskan waktu untuk membelanjakan limpahan uangnya. Tubuh mereka nampak bersih, sepertinya panas matahari tak pernah leluasa menyentuh permukaan kulitnya, aksesoris yang melekat pada tubuh dan pakaian yang bermerek itu menandakan status sosialnya sebagai orang mapan. Hmmm... aku mencoba memperhatikannya sejenak. Mungkin mereka para pengusaha perayaan, dan kali ini keuntungan besar sedang mereka peroleh. Ahh...dasar VOC lokal gumamku.
Seorang gadis tiba-tiba muncul dari arah samping, sambil menyapaku dengan lirih.
“Bapak, mohon maaf, ini pesanannya.
Aku agak tergugup karena telah dibuatnya sedikit terkejut.
“Ohh, iya, terimaksih.
Gadis yang membawakan minuman pesananku ternyata bukan gadis yang tadi mengantarkan daftar menu. Namun ia juga meninggalkan bekas keanggunan dari senyum ramah yang hampir mirip. Benakku bergumam, apakah ditempat ini setiap gadis pelayan memiliki senyum sama. Apakah senyum itu datang dari lubuk hati yang terdalam, ataukah hanya sekedar senyum keharusan untuk dianggap berperilaku sopan. Ahh...pusing aku, dimimpiku tadi, baru saja aku melihat baju lusuh dan tubuh dekil yang sama. Anak-anak yang hidup dikampung kumuh itu mengumandangkan sebuah lagu yang sama pula. Bayangan anak-anak kecil yang sama juga terlihat berterbangan menggendong janin dengan usus yang masih melilit ditubuhnya. Lalu apakah yang sama, diantara beberapa yang kulihat berbeda itu.
Kuraih gelas yang berisi jahe hangat, dan menuangkan gula merah cair kedalamnya, kemudian mengaduknya perlahan. Aroma jahe yang harum mulai terasa mengitari hidungku yang sedikit terganggu oleh flu. Aku mencoba mencicipi dengan sendok pengaduk. Mmmmm...sriuuup, enak sekali rasanya.
Hujan turun merintik, rasa hangat dari jahe dan gula merah menjalar perlahan didalam dadaku. Mengusik benih-benih lamunan yang kusimpan dalam-dalam untuk segera bersemi. Sensasinya mengantarkan ingatanku pada sebuah kebun kecil dipekarangan rumah, bila musim penghujan tiba banyak tumbuh jahe dan tanaman lainnya. Aku mulai terjerembab, bayangan-bayangan masa lalu satu-persatu berusaha melintas, menyeret ingatanku pada masa dimana aku masih kanak-kanak. Perayaan tujuh belasan menjadi mimpi besar saat itu. Janur yang berwarna kuning menjadi penghias disetiap rumah, disertai bambu-bambu yang di ujungnya digantungi mainan yang dibuat dari bahan yang sama. Bendera-bendera dipasang disisi-sisi jalan desa. Banyak sekali orang-orang yang menjajakan makanan dan mainan untuk anak-anak ditempat dimana perayaan digelar. Tujuh belasan benar-benar menjadi perayaan besar yang selalu ditunggu-tunggu oleh anak-anak sepertiku. Itulah kesan, dan menjadi awal dari perkenalanku dengan Indonesia. Bendera, janur, mainan, upacara, lagu kebangsaan dan perayaan-perayaan yang begitu menyenangkan.
Permisi bapak, buku anda terjatuh. Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis muda yang nampak terpelajar menegurku dari arah samping, sembari menyodorkan sebuah buku ditangannya. Aku segera menoleh kearahnya. Ohh...iya, terimakasih. Hari ini untuk yang kesekian kalinya aku terkejut. Sesaat kami masih berpandangan, kedua bola mata ini seperti sedang mempertemukan sesuatu yang tak dimengerti. Segera kuraih buku itu dari tangannya. Bibirnya nampak menyungging senyuman yang menawan. Kami berdua sejenak terpenjara dalam kebisuan.
“Ee...maaf, apa anda juga tamu disini? Tanyaku perlahan.
Gadis itu masih terdiam sejenak.
“Ia..... mungkin saja nanti saya menginap disini, jika ada sesuatu yang menarik.
Gadis itu berusaha menjawab dengan tenang.
“Tapi saya mau pesan minuman hangat dulu. Hujan disore begini
membuat udaranya kurang bagus untuk kesehatan, ujarnya.
“Ee... bolehkah kali ini saya yang memesankannya untuk anda sebagai
tanda terimakasih saya.
Gadis itu nampak berfikir.
“Silahkan duduk kalau anda tidak keberatan, pintaku meyakinkannya.
Segera kupersilahkan gadis itu duduk meskipun ia belum menyetujuinya.
“Anda serius? Tiba-tiba gadis itu memastikan.
Aku mengagguk.
“Dengan senang hati.
Segera kupanggil seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari tempat dudukku.
“Anda ingin memesan apa? Tanyaku perlahan.
“Ee,,,saya menyukai jahe putih hangat dengan gula merah cair.
Aku terperanjat, bukan kebetulan kalau ternyata seleranya sama denganku. Aku segera kembali duduk dan mengawali sebuah pembicaraan.
“Nama saya Pras, lengkapnya Prahasto.
Saya disini sudah dua hari, tempat ini adalah tempat yang sangat tenang, tempat yang saat ini benar-benar saya butuhkan.
“Benar yang anda katakan, saya juga sering singgah ditempat ini,
nama saya Wulan.
“Anda berasal dari mana mas pras? Ee..maaf kalau saya tiba-tiba
menyebut anda dengan panggilan mas, ucap Wulan sambil tersipu.
“Tidak apa, asal tidak anda panggil om saja, jawabku sambil tersenyum.
“Saya berasal dari sebuah desa yang berada dikaki gunung wilis sebelah
barat, namanya desa Banyu Urip.
“Anda sendiri non wulan?.
“Kalau saya lahir di Yogyakarta, tetapi setelah besar saya pindah ke
Surabaya.
“Ooo...hebat dong.
“Kenapa...tanya wulan seolah ingin tahu.
“Anda lahir dan besar di Yogyakarta, anda pasti dapat berkah dari
keraton, makanya anda orangnya sangat cantik.
“Maaf kalau ucapan saya mengganggu.
“Saya hanya mengatakan yang sebenarnya menurut pandangan saya.
“Oh..tidak apa, terimakasih anda sudah jujur mas Pras.
Tiba-tiba tawa kami berdua meledak. Seorang pelayan yang datang membawakan pesanan Jahe putih hangat dan gula merah cair hampir tak terperhatikan. Silahkan, jahe hangat ini akan mebuat anda lebih nyaman.
Diluar rintik hujan belum berhenti. Jemari tangan wulan yang lentik segera meraih tangkai gelas yang ada didepannya, sementara tangan yang satunya berusaha menuangkan gula merah cair itu kedalam gelas, lalu mengaduknya perlahan-lahan. Syrruup...ia mencoba mencicipi jahe hangat itu. Pipinya terlihat merona merah, saat rasa hangat mulai menyusuri hamparan lidahnya yang tipis.
“Wah...nikmat sekali mas Pras. Apa anda tidak ingin mencobanya.
“Eh...Non Wulan, coba perhatikan yang ada digelas saya.
“Oooh....maaf, saya tidak tahu kalau ternyata anda memiliki selera yang
sama dengan saya. Berarti anda adalah bergolongan darah A.
“Kok anda tahu, tanyaku.
Ia donk, saya kan pernah membacanya saat belanja buku. Disana saya menemukan beberapa tanda-tanda bagi orang yang bergolongan darah A, dan saya juga lebih percaya saat saya tahu kalau anda orangnya cerdas, dan menyenangkan bila diajak ngomong. Aku tersenyum, sambil memperhatikan Wulan yang meneruskan penjelasannya.
Sore itu pembicaraan kami berlangsung hingga tengah malam. Bahkan kami melanjutkan dengan makan malam bersama. Kami tidak tahu, apa yang sebenarnya mempertemukan kami diantara kegelisahan yang menggunung. Namun malam itu, semua catatan yang ada dalam perjalanan hidup serasa tumpah ruah. Penjara-penjara perasaan dan kegalauan menjadi terserak setelah kami bersama-sama saling memporak-porandakan dengan pikiran-pikiran yang bergelora. Buih-buih yang menebal mulai hilang tersapu angin, begitu juga hempasan badai yang keras telah membalikkan karang-karang hati yang angkuh. Kami terus berbincang, menerobos dan mengoyak lipatan-lipatan kehidupan yang semakin lusuh. Hingga perlahan-lahan gelombang yang bergemuruh itu kian surut, dan kami masih terus menjelajah bersama hening pusara waktu. Kami baru menyadari, bawa, kami berdua pernah mengalami rasa keterasingan yang sama. Sebuah keterasingan yang amat putih.
Gelora sukma mulai menggerayangi jiwa kami, dan berusaha menjelmakan diri dalam kesemestaan yang hidup. Tubuh kami serasa berhamburan, terserak menjadi serpihan saraf-saraf kecil yang mencipta segala wujud. Dan pada serpihan-serpihan itu, kami menjadi tak mengerti apa-apa. Karena putih itu menjelma menjadi aku, aku yang tak terhingga. Mereka bermunculan diantara jejak-jejak yang telah hilang. Bahkan tak ada satupun retakan yang dapat menuntun kami kembali pada ingatan, hingga kami telah lupa dimana letaknya arah, karena matahari yang menjadi penunjuk itu telah kami telan sedari tadi. Kini kami kehilangan semuanya, siang dan malam, suka dan duka, bahagia dan sedih yang membuat batas mimpi dan nyata seringkali beradu kesadaran tanpa warna.
Tubuh kami mulai rapuh, melayang dan jatuh tanpa kelamin, tersungkur dalam rengkuhan telaga yang hening. Kini aku bisa merasakan, udara yang tersisa, sejenak menjadi tak bergerak. Mata ini kubuka perlahan, saat kulihat selembar daun yang terjatuh dari ranting pepohonan terasa begitu lama untuk sampai dipelukan bumi. Selama lantunan lagu “angel” yang disuarakan Sarah Mclachlan yang mengiris perasaanku disetiap malam menjelang. Mungkin juga saat ini waktu tak lagi berdetak, dan hari berjalan tanpa meninggalkan bekas hitungan. Aku juga tak lagi menyaksikan matahari yang seperti biasanya.
Telaga itu sangat tenang, tak ada kebisingan yang kudengar. Hanya siluet temaram yang menggurat cakrawala. Tiba-tiba aku melihat gadis yang tertelungkup disampingku perlahan berdiri, tangannya menengadah keatas menyerupai gerakan “four faces buddha”. Ia seperti sedang menari-kan sesuatu, lalu tubuhnya yang indah itu berputar kekiri dan kekanan. Rambut hitam yang berombak membuatnya terlihat semakin anggun. Namun tak berapa lama gadis itu menari, gerimis kecil persembahan dewa-dewi turun mendera tubuh kami yang sedang mencari serpihan makna yang hilang. Kamipun menari bersama hingga pagi datang tanpa terasa.
Matahari berbinar menyambut pagi. Hangat cahayanya menyaput rengat tubuh kami yang terbaring kelelahan. Aku berusaha berdiri dan mengusap kelopak mataku perlahan. Terasa seperti ada serpihan-serpihan tipis yang berjatuhan. Aku terus mengusap, dan semakin kuusap, serpihan itu semakin berjatuhan. Kemudian kuperhatikan sekelilingku, ditempat aku rebah ada berserak serpihan tipis kulit tubuhku yang mengelupas berhamburan tertiup angin. Apa yang telah terjadi semalam. Mengapa pagi ini tubuhku berubah, gumamku dalam hati. Sejenak aku kembali terdiam. Sepertinya aku sedang memasuki keterasingan baru. Keningku mulai berkerut, memaksaku menyusun kembali ingatan disetiap perjalanan. Andai saja ia masih tersisa, mungkin saja aku masih bisa menemukan jawabannya. Namun tak ada satupun ingatan yang kutemukan.
Akhirnya aku menyerah. Menatap kosong pada ruang kehidupan yang baru saja kumulai. Semua terasa begitu asing. Aku baru menyadari, jika duniaku yang sesungguhnya tak pernah ada warna. Aku dilahirkan didunia yang putih. Meskipun merah, aku harus menyebutnya putih. Dan pagi ini, aku seperti menemukan sebuah kelahiran. Dunia yang penuh rona dan keanggunan.
Ahh...sudahlah, aku harus berhenti merenung. Aku segera berdiri, berjalan menghampiri tubuh seorang gadis yang tergolek lemah dihamparan pasir yang lembut ditepi telaga. Kutatap wajahnya perlahan-lahan, agar ia tak terusik olehku. Tapi aku merasakan seperti ada yang berbeda, aku melihatnya benar-benar berbeda. Aku seperti melihat cahaya suci memancar dari tubuhnya yang sempurna. Seperti ada taburan intan berlian yang berenang-renang diatas kulitnya yang bersih. Helai rambut hitam yang bergelombang menjulur diantara bahunya, nampak memancarkan aura keagungan. Ribuan pertanyaan segera mendera jiwaku. Mengapa pagi ini ia berubah. Lalu dimana ia yang semalam menari bersamaku. Apakah..... ohh tidak. Ia belum mati. Ia belum waktunya mati. Aku terperanjat, dan segera berlari ketepi telaga. Mencari-cari seandaikan ia tenggelam disana. Mulutku berusaha berteriak, tapi aku tak tahu harus memanggilnya apa. Kuceburkan tubuhku dan berusaha berenang menyusuri dasar telaga yang bening. Berputar-putar disetiap ceruk dan kedalaman. Namun tak kutemukan tanda-tanda bahwa gadis itu ada disana.
Lalu aku beranjak menepi, duduk disebuah batu yang menggantung dibibir air. Mataku kubiarkan menjala luas pandangan. Menelusuri tiap jengkal waktu agar aku bisa menemukannya. Air telaga yang tadinya bergolak kini mulai terlihat tenang. Menenangkan hatiku yang sedang larut dalam kegundahan.
Sinar matahari jatuh mengusap hening. Pantulan-pantulan cahaya menjelama seperti untaian mutiara yang terhampar. Air telaga itu semakin terlihat jernih, membuat aku ingin menemukan diriku disana. Tanpa sengaja kepalaku perlahan-lahan menunduk. Wajahku mulai tergambar dalam bayangan-bayangan remang. Namun Ohh...betapa terkejutnya aku, saat air telaga itu tiba-tiba berhamburan. Aku segera terhenyak dari dudukku, mencoba menengadahkan wajahku kedalam air, tapi ia kembali bergolak seolah tak kuasa menampakkan bayangan wajahku dalam cerminannya. Kuulangi sekali lagi, dan air telaga itu tetap saja berhamburan. Segera aku berdiri, dan kutampar pipiku dengan tanganku sendiri. Mulutku berteriak-teriak. “Apakah aku juga sudah mati. Mengapa aku tak merasakan apa-apa saat melewati batas tadi”.
Aku segera berlari menuju ketampat gadis itu tergolek, dan berusaha membangunkannya perlahan-lahan. Namun aku mulai cemas, dan bertanya-tanya dalam hati, apakah ia gadis yang semalam bersamaku, lalu apakah ia mengenalku saat ia menatap wajahku nanti. Aku diam sesaat, berusaha untuk tidak memperdulikan lagi semua kecemasan yang menggelayuti perasaanku. Kusentuh bahunya beberapa kali.
Perlahan gadis itu mulai terbangun, jemari lentiknya mengusap-usap lekuk wajahnya yang sungguh mempesona. Bola matannya nampak sayu bergerak kanan dan kiri. Lalu ia memandangku dengan senyum rembulan yang tak pernah layu. Hatiku berdebar lega, karena ia melemparkan pandangannya padaku. Namun seketika ia nampak terkejut, matanya memperhatikan diriku sekali lagi, ia seperti melihat sesuatu yang berubah pada diriku. Aku segera berbisik kepadanya, turunlah ke air, dan lihat dirimu disana. Akupun merasakan apa yang juga kau rasakan. Mungkin kita telah meninggalkan batas itu. Cobalah, turunlah ke air segera. Gadis itu bangkit, dan berusaha mempercayai apa yang aku katakan. Ia melangkah perlahan menuju air telaga yang tenang. Ia berusaha untuk tidak membuat air itu bergerak karenannya. Namun ketika wajahnya menegadah ke telaga, mendadak airnya menjadi berhamburan. Jangan terkejut, aku berusaha menenangkannya saat ia hendak berlari. Tenanglah, pintaku. Cermin telaga itu tak mampu lagi menampakkan wajah kita bila yang kita hadirkan dihadapannya adalah pancaran jiwa. Ia tersenyum panik, lalu gadis itu menyandar kebahuku dan memelukku erat untuk beberapa saat.
Kami berdua larut dalam keteduhan pagi. Bersama keheningan telaga kami merajut kembali lembaran-lembaran jiwa yang terkoyak. Lalu gadis itu membisikan sesuatu yang menyejukkan batinku. Bisikan yang tercipta dari nafas keteduhan. “Lihat, hutan yang kemarin mengelilingi kita sebagai batas perjalanan, kini hanya nampak seperti hamparan fatamorgana”, jalan-jalan yang berkelok dan menyesatkan itu, kini terlihat hanya seperti serpihan sampah-sampah kesangsian yang berserak”, apakah engkau masih menyimpan kebimbangan akan suatu pilihan perjalanan”. Suara bisikan gadis itu mendadak berhenti. Aku menjawab dengan lirih, tidak, karena kita tidak sedang dalam perjalanan itu. Tapi, kita adalah perjalanan itu sendiri, ucapku lirih. Saat mendengar ucapanku ia memelukku semakin erat. Seperti belahan jiwa yang pernah hilang dan bertemu kembali. Lalu kubisikan sesuatu ditelinganya. Bolehkah aku memanggilmu “gadis hujan”. Ia menjawab lirih. Aku sangat menyukai nama itu.
****
Mas Pras, maaas. Aku terkejut sesaat, sepertinya ada suara dikejauhan yang memanggil-manggilku ditengah keheningan. Apa yang barusaja tergambar jelas dalam perenunganku yang belum selesai mendadak buyar. Diriku kembali tersadar bahwa untuk beberapa waktu aku telah mendiamkan Wulan. Ohh... maaf Wulan aku terjerembab dalam jeruji lamunanku. Tidak apa-apa mas, aku juga merasakan hal yang sama. Begini mas, lanjut Wulan. Tunggu, jangan bicara dulu Wulan. Wulan nampak terkejut ketika aku memintanya untuk tidak berbicara. Apalagi saat aku menatap wajahnya dengan sungguh-sungguh. Mataku mulai liar mengembara menyusuri jendela perasaannya yang hening.
“Ada apa mas Pras, tanya wulan ingin tahu.
“Ohh...tidak, aku hanya ingin memastikan.
“Oh..iya, kamu tadi mengatakan apa?
Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Sejenak Wulan terdiam. Nampak ia sedang menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu ia berusaha berbicara kembali. Begini mas Pras, menurutku, apa yang mas lihat sebagai bayi-bayi itu bagiku adalah kematian dari sebuah kelahiran. Tak perlu anda risaukan, bahkan semua yang nampak menjelma menjadi putih itu hanyalah buih. Bersama gelombang ia akan tersapu, dan ketika anda telah menghentikan arah angin. Kejernihan kehidupan yang anda inginkan akan terlihat kembali. Namun beban itu tak akan dapat anda lepas sekarang. Karena ini semua adalah kehendak dari sebuah perjalanan. Seperti tak mungkinya kita, bila memaksakan matahari diatas kepala untuk tenggelam saat itu juga. Anak-anak kecil itu akan mentertawakan kita seharian.
Aku tak menjawab. Kami berdua kembali larut dalam pengelanaan jiwa. Menembus batas-batas sanubari. Sebuah lonceng tua yang berdiri disudut ruangan mendadak berdentang. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.
Udara semakin dingin, ruangan itu sudah nampak sepi, hanya tinggal tiga meja yang masih terisi.
“Non Wulan, apa tidak sebaiknya anda beristirahat dulu.
“Ya, mungkin itu ide yang baik. Saya sepakat mas Pras.
“Semoga besok masih ada waktu, aku berharap.
“Pasti, jawab Wulan dengan tegas.
“Jikalau besok tak ada waktu mas, kita akan melahirkannya sendiri.
“Anda setuju mas Pras.
“Ok, saya setuju”.
“Maaf, jadi non Wulan sudah menemukan sesuatu yang menarik” hingga sudi menginap ditempat ini.
“Wajah Wulan nampak merah merona”
Ia hanya diam dan tidak menjawab apa-apa.
“Ayo non Wulan, pintaku sambil berdiri meninggalkan meja bundar yang telah mempertemukan kami.
“Besuk pagi saya tunggu dibalkon belakang ya mas?. Yang
menghadap ke arah gunung semeru”.
“Ok.
Kami berdua segera menuju ke meja kasir, maaf non Wulan, untuk kali ini biar masuk ke tagihan saya saja. Kalau begitu terimakasih mas Pras, Lalu kami segera bergegas menuju ke kamar masing-masing.
Udara malam itu mulai menusuk tulang, menghantarkan kami pada mimpi yang beku.
****
Sebuah pagi, fajar mulai nampak menyembul diremang perbukitan. Gorden cokelat penutup kaca ku buka sebagian, agar sinar matahari menerobos dan menghangatkan suasana pagi yang lembab. Aku bergegas menuju kamar mandi. Rasanya tubuh ini sudah sangat lelah tergerus waktu, perjalanan membuatnya semakin rapuh. Kurasa akan lebih membaik jika aku berendam sejenak dengan air hangat. Kran yang berwarna merah dan biru kuputar setengah, hingga air yang keluar terasa hangat. Segera kulepas bajuku dan merendamkan diri kedalam bak. Hmmm...rasa hangat itu perlahan-lahan menjalar keseluruh tubuh, seperti tusukan jarum-jarum kecil yang menelusup disela-sela lubang pori-pori yang kian terbuka.
Tanpa terasa duapuluh menit telah berlalu. Aku segera bangkit dan membersihkan diri dengan handuk berwarna putih. Sebuah kaca berukuran besar menempel ditembok. Awalnya aku merasa enggan untuk melihat diriku disana, namun keberanianku mengatakan lain. Kupandangi perlahan-lahan wajahku dengan tatapan yang berat. Setalah berapa lama, ternyata tidak ada yang berubah. Wajahku tetap seperti sedia kala.
Pikiranku menjadi lega. Aku segera mengenakan celana pendek dan kaos putih berkerah yang menjadi kaos kesukaanku selain warna hitam. Setelah kurapikan rambutku yang acak-acakan, aku segera melangkah keluar menuju balkon timur, tempat yang sudah kujanjikan bersama non Wulan untuk pertemuan pagi ini. Beberapa lembar catatan aku bawa, dengan harapan, ia mau menyempatkan diri utuk membacanya. Aku tidak tahu, mengapa juga aku merasa seperti sudah sangat akrab dengannya. Padahal baru semalam aku berkenalan.
Langkah kakiku terasa sangat ringan, seperti menapak diantara serpihan awan yang tak mampu kembali terbang karena kehilangan sayapnya. Dikejauhan terlihat seorang gadis yang mengenakan pakaian putih-putih sedang duduk menerawangkan pandangannya jauh mengangkangi fatamorgana. Aku melangkah mendekatinya perlahan, agar tidak mengusik sedikitpun kebahagiaannya yang tergambar dalam pengelanaan imaginasi. Aku duduk dikursi yang nampaknya sudah dipersiapkan disampingnya. Dua gelas minuman hangat tersedia sedari tadi. Suasana sejenak menjadi hening. Aku segera melemparkan pikiranku jauh melampaui batas waktu, mengejar lamunannya yang sudah dahulu disana.
****
“Apakah kita sedang tersesat”, tanya Wulan tiba-tiba memecah kebekuan.
Sejenak aku menghela nafas panjang.
“Wulan, kita tidak sedang dalam perjalanan, lalu mengapa kita harus
tersesat. Bagaimana pula kita bisa tersesat, jika aku dan kamu adalah
perjalanan itu sendiri. Jawabku dengan pelan.
“Lalu mengapa kita sama-sama memakai baju putih, padahal kita tidak
pernah merencanakan sebelumnya, tanya Wulan sekali lagi.
“Mengapa kita harus merencanakan, bukankah hanya bagi mereka yang
sedang menempuh perjalanan membutuhkan rencana.
Sejenak kami kembali terdiam.
“Ya...seperti matahari ya mas, mungkin ia tak pernah merencanakan
perjalanannya pagi ini.
Aku tersenyum, kata-kata itu membuat hatiku teduh. Kata-kata yang keluar dari pancaran jiwanya yang bangkit. Seperti yang pernah kudengar semalam dari sang gadis hujan. Tiba-tiba Wulan memegang tanganku, aku mendadak terkejut saat ia dengan cepat berenang jauh kedalam mataku dan mengatakan sesuatu,
“Mas. bila engkau ada waktu, suatu saat, jika aku rapuh dan terjatuh,
maukah engkau memelukku untuk sekali saja.
Aku terdiam sejenak.
“Wulan, jika aku bisa menenggelamkan kembali matahari yang terbit pagi
ini, maka aku pasti punya kuasa untuk menolak permintaanmu.
Wulan nampak tersenyum memandangku. Lalu ia melepaskan genggamannya perlahan-lahan, dan menyodorkan minuman kopi jahe yang masih hangat kepadaku. Sebungkus rokok mentol ia keluarkan dari sakunya, lalu ia mengambilkan satu batang dan menyalakan untukku. Terima kasih Wulan. Kami tersenyum bersama. Mas Pras, apa yang mas bawa itu, boleh Wulan melihatnya. Lalu aku menyodorkan beberapa lembar kertas yang didalamya adalah bagian dari tulisan yang kubuat selama perjalanan. Ia nampak membacanya dengan seksama.
Hmmm....sejenak kemudian nampaknya Wulan mulai mengerti. Ia membalik satu-persatu lembaran yang ada. Aku terdiam menungguinya membaca. Tiba-tiba ia mengeraskan suaranya;
“aku melihat bendera itu,
berdiri diatas tiang-tiang kayu yang rapuh.
Anak-anak kurus berbaris melingkar-lingkar,
sembari menguraikan usus-ususnya yang berserak,
diantara kaki-kaki yang tak tegap,
namun ia tetap bernyanyi,
karena hanya lagu itulah yang ia mengerti.
Sementara aku terus melihatnya,
saat wajah-wajah itu berubah dan memutih
lalu mereka memburuku, sambi berteriak serak
merah-merah-merah”.
Wulan sejenak terdiam.
“Mas, apakah mereka telah kehilangan warna. Tanya Wulan.
“Mereka tidak hanya kehilangan warna, tetapi mereka sudah tidak bisa lagi melukiskannya. Karena sejarah yang selalu mereka baca, adalah sejarah yang tidak pernah punya warna. Dan kini mereka kehilangan lembaran-lembaran yang seharusnya mereka mengerti. Makanya, aku melihat diriku dan anak-anak itu menjadi pucat dan memutih. Mereka harus segera melewati batas itu, dan jatuh ditelaga yang hening untuk menari bersama gadis hujan. Agar mereka mengenal kembali, bahwa hidupnya telah lama terpenjara dalam satu warna. Wulan pun terdiam. Hingga terdengar lonceng berdentang sepuluh kali ditanggal ke tujuh belas. Tiba-tiba aku melihat bayangan kakek tua itu tersenyum dibatas langit, dan sebuah kecupan manis terasa mendarat dipipiku.

Sby, 00.07- 17/08/07
Ruang Sepi
eb32