Rabu, 30 Januari 2008

BRANDAL KAWUK


Batas kesunyian itu telah lewat. Saat gemerisik dedaunan mengibas luka lara yang masih menggurat pipih didasar hati. Lelaki tua itu segera beranjak dari tempat duduknya yang melapuk, menembus teduh tepian segaran. Matanya memerah tungku api. Ia berteriak-teriak sambil menghunus sebilah keris tua berwarna batu berkelok tarian naga. Ikat hitam kumal melilit dikepalanya yang penuh ditumbui uban.
Suasana pagi yang terasa teduh mendadak sirna, saat air segaran yang tadinya tenang, bergolak berbuih. Tergerak oleh resak suara teriakan yang menggelegar mengoyak desir semilir angin.
“Mandor bajingan”
“Asu ”
“Kalau berani, lepas baju seragammu”
“Sadumuk batuk sanyari bumi”
“Hadapi aku, Brandal Kawuk”
***
Lelaki tua itu terus berteriak-teriak mengitari rumah mandor hutan yang beberapa hari ini tampak lengang tak berpenghuni. Kampung kecil dipinggir hutan yang biasanya senyap itu menjadi riuh dan gaduh oleh kasak-kusuk keracuan yang menjejak hening pagi. Seorang pemuda berusia duapuluh satu tahun terobek bola matanya karena sabetan gergaji yang diayunkan sang mandor beberapa waktu lalu. Biji matanya tak tertolong, ia mengalami kebutaan. Namun tragisnya, pemuda itu masih harus mendekam didalam sel kantor polisi karena mendapat tuduhan sebagai maling kayu.
Brandal kawuk adalah sebutan bagi laki-laki tua yang menghunus keris dan berteriak-teriak menantang mandor hutan pagi itu. Namun sudah hampir satu minggu sang mandor pergi meninggalkan dusun. Tak diketahui ia berada dimana.
Di usia mudanya brandal kawuk adalah rampok yang terkenal dan sangat disegani. Bahkan ia begitu ditakuti dikalangan juragan dan tuan tanah. Belum satu kejahatanpun dapat dibuktikan oleh polisi. Seringkali, saat sore hari ia ditangkap dan dimasukkan kedalam sel tahanan, paginya sudah tidak lagi berada disana. Konon ia bisa keluar masuk sel tahanan tanpa harus merusak gembok besi. Timah panas yang dibumbui emas dan benda-benda penjemput nyawa belum pernah berhasil menembus kulit tubuhnya.
***
Ini bulan Juni. Musim kemarau mulai meranggas. Sebentar lagi paceklik datang mendera. Entah mengapa, didaerah yang memiliki banyak hasil bumi itu, warga desanya selalu mengalami masa-masa sulit, meski hanya untuk sekedar makan. Disaat musim paceklik itulah, rumah brandal kawuk selalu ramai oleh anak-anak dan orang tua yang berkumpul siang dan malam. Dapur brandal kawuk seperti menjadi tumpuan harapan atas kesulitan hidup yang dihadapi oleh orang-orang sekampung.
Hutan yang mengitari perkampungan itu telah menjadi penjara bagi kehidupan mereka. Brandal kawuk dan orang-orang dusun hanya mendiami petak-petak tanah yang sempit. Meskipun menurut riwayat, hutan itu dulu adalah tanah-tanah yang dikelola secara turun-temurun oleh nenek moyangnya.
Lama-kelamaan dapur brandal kawuk tidak lagi mampu menampung beban penderitaan orang-orang kampung yang kian menumpuk. Apalagi setelah Tarno yang anaknya kini berada ditahanan polisi diminta menyediakan uang sebesar tujuratus ribu rupiah untuk administrasi ini dan itu, kalau ia ingin anaknya dibebaskan. Namun jumlah itu sangat besar bagi orang kampung yang kerjanya hanya sebagai tukang derep dan cangkul. Orang sepeti Tarno baru mendapatkan uang bila mejual tenaganya pada para juragan dan orang-orang yang memiliki sawah ladang. Orang kampung yang lugu itu sama sekali tidak mengerti apa-apa tentang prosedur serta administrasi. Yang ada dalam pikirannya, penjara adalah tempat dimana semua tahanan setiap hari disiksa.
Malam itu Tarno terlihat menangis dan bersimpuh dihadapan mbah Brenggolo, yang masa mudanya disebut sebagai brandal kawuk. Sementara diluar, suasana pedusunan semakin tercekam sepi. Mbah Brenggolo tak banyak bicara. Ia menatap dalam-dalam Tarno, saat lelaki itu berpamit pulang dengan tatapan mata kosong dan langkah kaki yang berat. Perlahan-lahan tubuh Tarno tertelan malam.
***
Pagi itu nampak cerah. Sinar matahari menyaput embun dan kabut yang masih bergelantungan diranting-ranting pepohonan. Angin dingin terasa menelusuk disela-sela tulang iga. Rasa dingin membuat Sumi segera terbangun dari tidurnya. Perempuan itu masih menyimpan kecemasan yang mengerubunginya tadi malam. Raut wajahnya sangat kecewa, saat menyadari bahwa pagi ini ia tidak mendapati suaminya pulang.
Sumi melangkah menuju pintu bambu yang tertembus cahaya matahari. Langkahnya bergegas mencari Tarno ke rumah beberapa tetangga. Namun tak satupun dari mereka mengetahui kabar keberadaan suaminya. Dengan wajah yang semakin lesu ia melangkah menghampiri mbah Brenggolo. Lelaki tua itu sedang menyeduh secangkir kopi di emperan rumahnya sambil menghisap sebatang rokok klobot yang terselip diantara jemarinya yang rapuh. Asap putih menggumpal menerobos melewati sela-sela bibir yang keriput.
Sumi segera menemui mbah Brenggolo untuk mencari tahu keberadaan suaminya. Namun belum lagi pertanyaan itu dilontarkan seorang pemuda kampung terlihat berlari mendekat kearah mereka dengan wajah yang panik. Mbah, Mbaaah, Mbaah....Brenggolo. Be,be,be begini mbah. Pamuda itu mencoba bicara, namun nafasnya yang tersengal membuatnya menjadi sulit untuk berucap. Mata orang tua itu melotot tajam, mencium aroma keganjilan dari wajah yang panik. Ayo sini kamu duduk dulu. Ini, minum air putih, lalu atur nafasmu.
Segelas air putih segera disodorkan kepada pemuda itu. Perlahan ia meminumnya. Sesaat nafasnya yang bergemuruh ia tenangkan. Lalu perlahan-lahan pemuda itu mulai berbicara. Tapi mbah, pemuda itu terdiam sesaat. Kebetulan ada lik Sumi disini. Sumi yang tiba-tiba disebut namanya mendadak berdebar-debar hatinya. Pemuda itu melanjutkan bicaranya. Ada apa dik...apa maksudmu mengatakan kebetulan aku ada disini, teriak sumi tertahan. Begini Mbah dan lik Sun, saya barusaja melihat kang Tarno Lik. Tubuhnya menggantung dipohon nangka dekat sumber air dipinggir hutan mbah.
Kabar pemuda itu seperti kilat yang menyambar-nyambar. Seketika Sumi jatuh pingsan. Mbah Brenggolo segera meminta istrinya untuk mengurus Sumi. Sementara mbah Brenggolo dengan pemuda segera menuju sumber air. Beberapa orang kampung yang berpapasan dijalan diberitahu mbah Brenggolo untuk menyertainya. Langkah mereka begitu bergegas, seolah menyongsong pagi yang mengarak kematian.
***
Didekat sumber air disebuah pohon nangka yang berumur ratusan tahun, Jasad Tarno terlihat menggelantung. Seutas tali menyendat lehernya. Tali itu terpaut pada sebuah dahan yang cukup tinggi. Beberapa orang segera diperintahkan mbah Brenggolo utnuk memanjat pohon itu. Sementara para tetua kampung berkumpul agak menjauh. Nampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu. Tak berapa lama, mereka kembali mendekati jasad Tarno yang diturunkan dengan menggunakan sebuah sarung yang dikaitkan diantara lengannya yang sudah kaku. Sarung itu diikat dengan seutas tali besar pengekang kerbau. Seperti sebuah bendera, jasar Tarno perlahan-lahan diturunkan. Mereka yang berada dibawah segera menangkap dan melepaskan tali pengikat jasad Tarno itu perlahan-lahan. Para tetua melangkah mendekat sambil melihat-lihat ika ada keganjilan pada tubuh Tarno.
Begini semuanya, mbah Brenggolo berucap. Kalian tau, kalau Tarno mulai kecil takut ketinggian, apalagi untuk menaiki sebatang pohon sebesar ini, memasang genting saja ia tidak berani. “Ia mbah, betul itu, Tarno tidak mungkin berani naik kedahan yang tinggi”. Beberapa orang menjawab dengan serempak. Mereka segera mengerti apa yang dimaksudkan mbah Brenggolo.
Mereka bersepakat untuk menutup berita kematian Tarno, agar kematian Tarno tidak tercium oleh pihak kepolisian. Jika ada yang menanyakan perihal kematian Tarno, mereka harus menjawab, “Tarno dijadikan tumbal oleh orang yang mencari pesugihan”.
Pagi itu pemakaman segera dilangsungkan. Anak-anak kecil tidak diperkenankan melihat proses pemakaman itu. Semua disembunyikan didalam rumah. Kepada mereka diceritakan bahwa Tarno menjadi tumbal pesugihan oleh para juragan dan tuan tanah. Bulu kudu anak-anak kecil yang mendengar cerita itu berdiri tegang. Dalam pikirannya yang sederhana, mereka melihat sosok para juragan dan tuan tanah seperti buto yang haus darah dan selalu mencari tumbal nyawa untuk kekayaannya.
Tak ada satupun yang berani menengok keluar pintu saat jasad Tarno diangkat para tetua dan pemuda kampung ke pekuburan. Sementara para perempuan masih menyembunyikan anak-anak mereka didalam rumah masing-masing. Kepala mereka dibuntal dengan sarung. Anak-anak itu seperti terkurung gulita. Suasana gelap itu yang justru membuat hayalan mereka membumbung meninggi.
Kematian orang kampung yang tragis itu dikaitkan dengan tumbal pesugihan. Dan begitulah yang selalu dilakukan oleh orang-orang kampung sedari dulu. Karena hanya itu cara mereka untuk memupuk kebencian terhadap juragan dan tuan-tuan tanah yang kikir dan semena-mena. Anak-anak akan mewarisi cerita bahwa kekayaan para juragan dan tuan tanah itu diperoleh dari tumbal pesugihan dan dibantu oleh siasat jahat setan.
Tarno adalah kematian yang kesekian kalinya. Bahkan kampung itu sudah terlalu sering mendapatkan kiriman tubuh manusia, baik tubuh warga kampung itu sendiri atau orang luar yang jasadnya sengaja ditaruh dikampung itu. Beberapa kali mandor hutan dengan dibantu beberapa aparat sengaja membantai orang-orang yang dituduh menjadi perusuh, pengganggu stabilitas, menolak mananam tebu dan menjadi otak pencurian kayu. Jasadnya hanya diuruk tanah tipis. Sehingga bagian kaki dan tangan dibiarkan menyembul dipermukaan tanah. Sementara keesokan harinya, orang-orang kampung yang menemukan mayat-mayat itu segera menguburkannya dengan mulut yang membisu batu.
***
Pernah suatu hari, seorang mandor tewas ditangan Diran saat ia melihat istrinya yang sedang mencari ranting kering pepohonan dan daun-daun untuk pakan kambing dipaksa meladeni nafsu bejat sang mandor disebuah rumbun tepi segaran. Ancaman bedil membuatnya terdiam tanpa perlawanan. Ia tidak bisa berteriak karena mulutnya disumpal kain gendongan, sementara tangannya diikat kebelakang. Melihat kejadian itu Diran segera memanggil beberapa orang yang kebetulan berjarak tidak begitu jauh darinya. Dengan cepat mereka menghambur menuju ketempat sang mandor. Sebatang kayu sudah terpegang erat ditangan. Mandor hutan itu tidak mengira bahwa sebuah benda keras sedang menghujam kearah tengkuknya. Sekejap ia tergelepar dan roboh.
Diran yang seperti kesetanan membekap mulut dan hidung sang mandor. Dalam hitungan detik sang mandor itu menghembuskan nafas terakhir dengan wajah membiru. Sementara Diran masih duduk terpaku memandangi kematian sang mandor itu dengan hati lega. Ia seperti telah membalaskan sakit hati puluhan perempuan dan gadis kampung yang telah menjadi korban mandor hutan itu. Beberapa orang yang ada disekitar Diran segera membantu mengangkat jasad sang mandor. Mereka menenggelamkannya kedasar segaran, sekaligus merapikan tempat-tempat yang mungkin bisa dijadikan polisi mencari bukti.
Aparat polisi dibantu petugas kehutanan yang menemukan jenazah sang mandor beberapa hari berikutnya hanya mampu mendapatkan bukti-bukti penyebab kematian sang mandor berupa cerita-cerita orang kampung bahwa mandor itu telah menjadi tumbal penunggu segaran. Akhirnya Polisi pulang dengan tangan hampa. Beberapa orang yang ditangkap dan diinterograsi juga memberikan kesaksian yang sama. Bahwa mandor itu telah menjadi tumbal penunggu segaran.
***
Hari terus berlalu. Gemuruh waktu yang membawa asap pekat belum pernah pudar dihempas cakrawala. Setiap kematian yang datang selalu menyisakan cerita yang sama. Tumbal, santet, pesugihan dan lain sebagainya. Ini seperti jalan bisu yang menjadi pilihan. Hanya itulah cara mereka untuk menyembunyikan kepedihan saat kehilangan anggota keluarganya. Mereka tidak punya kuasa untuk menanyakan tentang rentetan kematian itu. Atau justru mereka akan ditangkap hanya karena menanyakan perihal kematian anggota keluarganya kepada aparat. Mereka lebih memilih membuat cerita, dan menyembunyikan semua yang terjadi diantara lipatan kata-kata.
***
Disebuah pagi yang sunyi anak-anak kecil lari berhamburan dari tempat mereka bermain. Mereka melihat deru mobil Jeep yang berarak melintas dijalan-jalan desa. Cuplekan-cuplekan teriak anak-anak kecil yang berlari secepat kilat menjauh dari jalan kampung disusul oleh anak-anak yang lainya.
Di kampung terpencil ini tak ada sekolah yang didirikan. Hanya beberapa juragan dan tuan tanah yang mengirimkan anaknya untuk bersekolah didesa lain yang jaraknya cukup jauh. Itupun tak lebih dari dua anak. Sehingga yang dilakukan oleh anak-anak sepanjang hari adalah bermain. Sesekali mereka membantu orang tuanya mencari kayu bakar dan rumput.
Seorang perempuan setengah baya menyunging senyum dendam melihat tingkah anak-anak kecil yang mulai membenci orang-orang proyek itu. Perempuan itu adalah Sumi. Setelah suaminya meninggal, beberapa juragan dan orang-orang proyek sering mampir kerumahnya. Sumi adalah perempuan kampung yang terkenal cantik. Sepeninggalan Tarno, juragan-juragan dan orang-orang proyek itu menggunakan Sumi sebagai tempat pelampiasan hasratnya. Namun perempuan itu masih bertahan hidup dengan menelan setiap ancaman yang ditujukan para juragan kepadanya. Dalam kebisuannya dan kepedihannya ia terus menyimpan catatan rahasia para juragan dan orang-orang proyek. Catatan yang tak pernah diketahui oleh penduduk kampung.
Ia terus tersenyum saat mendengar cerita tentang perburuan biji bola mata anak-anak untuk tumbal pembangunan bendungan yang dulu sengaja dihembuskan oleh para tetua kampung kini masih hidup dalam pikiran anak-anak. Seperti cerita-cerita yang pernah dihembuskan sebelumnya, dan hanya itu yang selama ini bisa mereka lakaukan. Karena mereka tak lagi punya kuasa untuk menolak proyek besar itu. Sumber-sumber air yang awalnya mengalir dengan baik kearah kampung kini dialirkan kewaduk untuk memenuhi kebutuhan pengairan. Banyak sungai-sungai lainnya juga dialihkan jalurnya menuju waduk. Proyek besar itu diperuntukkan bagi program penanaman tebu.
Warga dusun hanya bisa pasrah dan membiarkan saja semuanya terjadi. Mereka tidak ingin menambah korban nyawa jika memaksa menolak proyek itu. Karena mereka sadar, jika semua kematian yang selalu terjadi hanya berakhir dalam cerita bisu.
Sekarang yang mereka lakukan hanyalah mewariskan cerita pada anak-anak mereka yang masih kecil. Bahwa pembangunan waduk tersebut membutuhkan biji bola mata manusia yang banyak untuk tumbal. Sementara mobil-mobil Jeep yang ditumpangi para insinyur itu adalah orang-orang yang kejam yang selalu mencungkil mata anak-anak kecil. Meskipun sebenarnya para insinyur dan mobil-mobil Jeep itu tidak pernah menculik anak kecil dan mengambil bola matanya sekalipun.
Semua cerita itu hanyalah wujud dari kebencian dan kemarahan yang tak bisa mereka ungkapkan. Mereka hanya berharap, kelak anak-anak mereka yang kini memendam cerita itu, akan lahir menjadi air bah yang dapat memporak-porandakan bangunan-bangunan angkuh yang telah merenggut kuasa dan daya mereka.
***
Udara malam terasa beku. Ditimur lintang kemukus berwarna api nampak bersinar menggaris angkasa. Diiringi gemuruh angin merah darah yang datang menghempas rumah-rumah tua yang didirikan diatas rintihan jerit tangis penderitaan. Ribuan sukma merayang berputar-putar seperti kabut. Menyaksikan ribuan senapan beradu dengan batu-batu. Gajah-gajah bertarung dengan semut merah yang menggunung. Sementara orang-orang dusun yang meratapi nasibnya yang tak beruntung itu hanya memandang dari jauh wajah langit yang biasanya berdiri angkuh, kini terkoyak oleh nyanyian beringas anak-anak kecil dengan ususnya yang masih terburai. Darah segar mengucur ditiap tapak-tapak titian.
Zaman wola-wali, semut ngangkarang nggempur gunung merapi, teriak mbah Brenggolo ditengah keheningan malam. Semua warga dusun tercengang oleh pertempuran hidup mati. Langit semakin memerah darah. Kilatan cahaya api membakar setiap ruang kosong. Memporak-porandakan bekas-bekas pemujaan yang telah lama membuat jutaan kepala menunduk dengan kaki-kaki menekuk.
Mbah Brenggola berjalan keluar menyusuri jalanan kampung. Menuju kepinggiran hutan untuk bersamadi. Namun mendadak matanya terbelalak, ketika meilhat ratusan orang membawa parang dan gergaji mesin beramai-ramai. Satu-persatu pohon-pohon yang tua yang batangnya sangat besar itu tumbang. Aparat dan mandor hutan ikut bersama-sama didalamnya. Mereka seperti sedang berpesta pora. Ratusan truk berbagai ukuran keluar masuk tanpa henti. Para penduduk kampung akhirnya tak mau kalah, mereka berhambur dan ikut larut dalam tarian kebengisan malam itu. Anak Tarno yang mata sebelahnya menjadi buta nampak duduk satu mobil dengan seorang polisi. Ditangannya terselip sebatang rokok. Sesekali asap mengebul dari bibirnya yang tebal, dan sebelah matanya menyaksikan satu-persatu pohon-pohon yang rebah.
Perasaan brandal kawuk seperti terbakar, namun ia hanya bisa menjerit lirih. “Ini memang jaman edan”, teriaknya perlahan. Mengapa mereka justru mengikuti jejakku yang kutinggalkan bersama masa lalu yang telah kulupakan. Anak-anak itu, apakah sekarang mereka sedang termakan kebencian. Bergerak seperti air bah, menghalau gunung-gunung, dan menerbangkan sungai-sungai dengan mata memerah dan mulutnya berapi.
Brandal Kawuk mendadak terdiam. Teringat apa yang pernah ia dan para tetua kampung sering ucapkan dan ceritakan pada anak-anak. Ia tertegun menyaksikan apa yang terjadi didepannya adalah mimpi yang nyata. Tak berapa lama Brandal Kawuk segera beranjak dari tempatnya temangu. Kaki-kakinya yang renta membawanya menuju rumah tua yang mulai melapuk. Sebuah lampu teplok ia nyalakan. Hatinya semakin resah saat pagi yang ditunggu tak kunjung datang. Sementara Sumi justru mematikan lampu dan menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Karena dalam gelap itulah ia menemukan dirinya tanpa cacat dan caci.


Hasrat
19.08 ---16/09/07
Tulungagung
eb32










Tidak ada komentar: