Sabtu, 26 Januari 2008

JEDA KESANGSIAN

Sali....Sali.....
Mengapa kamu masih berdiri disitu...?
Teriak perempuan tua itu dari samping tembok bekas rumah lokomotif yang tak lagi berfungsi disebuah stasiun kereta.
Sali yang masih menatap kepergian mimpinya nampak diam dan berdiri mematung. Seolah ia sedang menantang gedung-gedung tua yang kokoh untuk beradu ketegaran. Gelembung-gelembung imaginya bergolak liar, beterbangan merenggut batas-batas fatamorgana. Sehingga berkas rintihan yang terkoyak dipucuk awan perlahan berguguran seperti butiran salju diujung sebuah musim.
Teriakan perempuan tua yang serak itu kembali terdengar, namun karena beradu dengan gemuruh bunyi roda kereta yang membentur keras alas besi, maka suara itu tak mampu lagi menyentak ujung telinga Sali. Lelaki kecil itupun masih terlihat diam dan berdiri memaku.
Tak berapa lama, deretan gerbong tua yang kuyup oleh deraan hujan itu berlalu menjemput kegalauan. Perempuan tua berambut putih yang tubuhnya terlihat semakin kurus itu tertatih menyusuri kerikil-kerikil tajam yang bertabur disepanjang landasan rel kereta. Langkahnya merambat perlahan, menyangga derita yang kian menindih batas-batas kesabaran. Matanya terus menjarah liar kesemua arah, mencari-cari Sali yang kini entah menelusup pada sisi-sisi ruang yang mana. Sementara, hiruk pikuk dan keriuhan hidup terus berhimpit membelah sesak. Kini, Ia tak hendak berteriak. Tenggorokannya semakin mengering. Bahkan hujan yang datang menawarkan kesejukkan, buktinya hanya mampu menyemaikan rumput-rumput kecil disebuah petak tanah yang tak terjamah.
Sali pun menghilang, meninggalkan kerisauan hati seorang perempuan tua yang sedari tadi menunggui kehadiran. Anak kecil itu seperti terbenam mengejar matahari yang lepas dari pandangan. Hanya bayang-bayang rapuh yang bergelayut dalam ingatan perempuan tua itu, saat melihat Sali berdiri diujung waktu.
Hari yang galau. Disebuah petang, perempuan tua itu kembali menjamah ruang-ruang kosong yang berderet diantara rongga-rongga stasiun kereta. Matanya liar menatap kesegala arah, menyibak resak gelayut sulur waktu yang lebat merumbai. Namun ia segera berhenti, diujung bentang sebuah atap yang berlubang. Dibawah lubang itulah terakhir kalinya ia melihat Sali termangu berdiri. Merajam kepedihan atas mimpi yang terlepas.
Ia segera bersimpuh. Melipat kedua kakinya dalam kepasrahan. Dilihatnya rona-rona awan yang bergelayut ditangkai langit berlalu tanpa pesan. Hatinya merintih, karena periuk nasi yang masih ia pegang, kini dipenuhi ketidakpastian. Hanya anak itu yang selama ini dapat menyambung sumbu lentera yang hampir redup. Namun harapan itu semakin menghilang, bersama kepergian Sali yang tanpa janji.
Sebuah gerbong tua. Temaram cahaya menyambar benih malam yang memadati ruang pengab. Disebuah pintu yang tak lagi berkaca, Sali terduduk kaku. Mencabuti kecemasan yang telah terlanjur bekecambah. Matanya memahat tajam sela-sela gerbong besi yang berkarat. Telinganya seperti mendengarkan kembali suara jerit dari kerongkongan yang tertusuk sebilah pisau tajam. Muncratan darah segar yang menghambur seolah menyirami lusuh wajahnya yang berhari-hari tak tersaput air. Ia segera mengusap-usapkan tangannya. Raut ketakutan seperti telah memenjarakan dirinya dalam lingkar waktu.
Kini ia tak punya pilihan, kecuali berlari sejauh mungkin. Karena, mata-mata garang itu telah menangkap wajahnya saat ia memergoki tragedi pembunuhan yang terjadi dijalur rel kereta dibelakang perkampungan saat pagi subuh. Leher korban yang diletakkan tepat diatas salah satu bilah besi rel kereta, terputus, saat roda-roda keras berlalu menggilasnya. Hingga bekas tusukan yang awalnya nampak menggores tak lagi terlihat. Tubuh Sali menjadi gemetar saat menyaksikan tragedi itu. Namun para penjagal mendadak sadar bahwa ada dua bola mata dari sosok kecil yang bersembunyi dibalik semak sedang menyaksikan kejadian itu. Mereka segera berhambur memburu kearah Sali yang baru saja hendak berlari. Namun Sali yang bertubuh kecil segera menelusup diantara keremangan gelap yang berkabut.
Keesokan harinya, beberapa surat kabar memuat kejadian itu dengan berita seorang pemuda yang mati dengan cara bunuh diri. Polisi yang menyelidiki tempat kejadian juga menyimpulkan hal sama. Bahwa kematian pemuda paruh baya itu diakibatkan karena bunuh diri. Sementara Sali terus berlari dan bersembunyi dibalik lipatan-lipatan kehidupan yang semakin tak terbaca.
Kini Sali hanya bisa meratap, membayangkan apa yang akan terjadi jika disebuah perjalanan nasib, ia berjumpa dengan orang-orang yang saat ini berdebar-debar perasaannya karena kesaksiannya dimalam itu. Air mata bocah kecil itu tak kuasa terbendung. Ia terus menjauh, berjalan dan berganti-ganti kereta. Membawanya pada pengasingan entah kemana. Ia tak lagi berfikir untuk menjual sisa dagangan yang ia taruh disampingnya. Dibalik pintu kereta yang tak berkaca, didepan sebuah kamar kecil yang berbau itulah ia tertidur. Membiarkan ketakutannya terbang berhambur bersama gemuruh roda besi yang membelah kesunyian. Seorang kondektur yang lewat hanya memandanginya dengan perasaan iba.
***
Disebuah pagi, terdengar teriakan histeris dari lorong kecil yang terhimpit diantara bangunan-bangunan perkampungan dan gedung tua bekas rumah lokomotif yang beberapa hari telah ditinggalkan Sali. Seorang perempuan tua berambut putih terlihat menggantung diantara jeruji jendela yang berdiri menjulang. Matanya melotot mencoba mengabarkan kematianya pada Sali. Dari bibirnya mengeluarkan busa karena lelah meneriaki fatamorgana. Perempuan tua itu hanya meninggalkan periuk nasi kering yang tergeletak merana dibawah tubuhnya yang renta.
Beberapa polisi yang datang segera meneliti tempat kejadian. Tak berapa lama jasad perempuan itu diturunkan dan dibawa kerumah sakit. Setelah itu tak ada lagi yang mendengar kabarnya. Ia seperti tenggelam mengejar matahari yang berendam diperut bumi. Hanya saat-saat tertentu, disuatu malam, ada beberapa orang yang bercerita telah melihat sosok perempuan tua yang memegang periuk nasi dan memanggil-manggil siapa saja yang kebetulan lewat disekitar gedung tua itu.
***
Sali kecil masih dalam perjalanan. Goncangan badan kereta yang keras berayun membangunkan tidurnya yang telah lama tertawan dalam bidak mimpi yang hampa. Suara-suara bising gemuruh roda besi itu berhimpit dengan teriakan-teriakan pedagang asongan yang semakin terlihat menjamur.
Ia segera berdiri. Matanya menatap ruas perjalanan dan mencari tahu saat ini sedang berada dimana. Pagi itu ia belum menyadari bahwa perempuan tua yang di tinggalkan distasiun kereta itu telah melepaskan belenggu perjalanannya yang terikat rapuh. Tak ada alasan untuk tetap hidup dengan periuk nasi yang semakin mengering. Tanpa ada yang menjadi beban kepemilikan, tanpa arti yang bisa dimengerti oleh keadaan jika ia tetap bertahan dan mengalir bersama kehidupan yang bising. Perjalanannya adalah kesunyian yang tak berujung, dan kematian adalah batas tipis yang menghapus bentang waktu menuju lubang kecil yang menuntunya pada jalan keabadian.
***
Lelaki kecil itu berhenti distasiun Yogyakarta. Langkahnya yang lunglai dipaksa menyusuri ruas-ruas jalanan untuk merajut kembali sisa-sisa harapannya yang terserak. Matanya liar mencari tahu dimana ia bisa mendapatkan sekedar pengganjal perut. Ia berhenti, saat matanya menyaksikan seorang perempuan gendut sedang melahap makanan disebuah warung. Tatapan yang menghiba segera ia tujukan. Dengan harapan kecil bahwa perempuan itu mau berbagi. Berkali-kali ia menelan ludah. Sementara perempuan itu seperti tak perduli akan kehadirannya.
Tiba-tiba dari arah belakang, ada beberapa sosok tegap yang memegang pundaknya sedikit keras. Mereka segera menanyakan asal Sali. Namun lelaki kecil itu tak sanggup berbohong. Ia sama sekali tak mampu menyebutkan satu pun alamat yang bisa meyakinkannya bahwa ia adalah anak Yogja. Segera petugas menggelandang lelaki kecil itu kesebuah truk. Di sana telah menunggu Sali-Sali yang lainnya dengan muka penuh masam. Tak berapa lama truk yang mengangkut mereka bergerak menuju ke sebuah perkantoran. Beberapa hari kemudian Sali pun dipulangkan ke tempat asalnya.
***
Sembilan belas tahun telah berlalu. Sali yang beranjak dewasa tak nampak lagi meratapi perjalanan nasibnya. Stasiun kereta sudah banyak berubah, pembenahan terjadi dibanyak tempat. Bahkan rel kereta yang ada saat ini nampak semakin kokoh. Hanya kelas ekonomi dan nasib Sali yang tak pernah berubah. Ia masih bertahan sebagai pedagang asongan yang menyusuri garis nasib diatas punggung besi yang membentang dihamparan kesangsian.
Setiap ia melewati sebuah gedung tua yang dulu pernah menjadi rumah lokomotif, matanya seperti menangkap bayangan perempuan tua yang sedang menengadahkan periuk nasinya dan memanggil nama Sali. Saat seperti itu, ia menjadi sangat dendam, pada orang-orang yang telah membuatnya harus bersembunyi melawan ketakutan. Hingga perempuan tua yang ia tinggalkan mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri.
Pagi yang tertahan. Stasiun itu belum bersiap menerima kereta yang akan datang bertandang beberapa waktu lagi untuk menumbuk keriuhan. Sali berjalan menyusuri deretan beton penopang rel yang memanjang menembus ufuk fajar. Ditengah langkahnya yang agak ragu, ia melihat sosok perempuan yang menangis didepan lagi-laki yang berkacak pinggang. Sali tak hendak mendengarkan percakapan itu, namun telinga Sali tetap mendengar percakapan mereka.
Perempuan itu adalah seorang pelacur yang minta bayaran, karena pagi ini ia hendak mengantarkan anaknya berobat ke dokter, namun ia sama sekali tak ada biaya. Sementara lelaki itu menolak memberikan uang kepadanya. Malahan tangannya yang keras menampar wajah perempuan itu hingga lebam dan tersungkur ke tanah.
Dada Sali meregang. Darahnya seolah mendidih melihat perlakuan sekeji itu. Ia mencoba memalingkan tatapannya. Namun mulut lelaki itu buru-buru mengumpatnya. Hee...kamu. Mau coba-coba membelanya ya. Sali yang merasa tidak menatapnya berusaha tidak meladeni ucapan lelaki itu. Namun laki-laki bertubuh kekar itu malah memburu Sali dan melayangkan tangannya ke arah pelipis sebelah kiri.
Perkelahianpun tak terhindarkan tanpa perlu waktu untuk melempar kata-kata. Sali yang terbiasa bergelut dengan kerasnya gerbong kereta meladeni saja apa yang diminta sosok bertubuh kekar itu. Seperti kesetanan, Sali menghajar bertubi-tubi tubuh lelaki yang telah membakar tungku api amarahnya hingga terasa berkobar-kobar. Tubuh lelaki itupun menggelepar tak berdaya. Darah segar keluar dari telinga dan hidungnya. Suara nafasnya meregang seperti hendak mati. Sali yang menyadari kenyataan itu menjadi panik. Perempuan pelacur yang ada disampingnya hanya bisa menatapnya diam. Tapi ia segera merapat ke tubuh Sali dan mengajak lelaki itu pergi menjauh. Suasana masih sepi dan gelap. Tak ada seorangpun terlihat berlalu lalang.
Pagi hari warga dibuat geger. Penemua dua sosok mayat dalam kondisi yang tragis menyebabkan banyak orang ingin menyaksikan. Polisi segera datang ketempat kejadian. Tak berapa lama jenazah preman dan seorang anak gelandangan itu dibawa kerumah sakit. Setelah itu tak ada lagi yang mendengar kabarnya. Ia seperti tenggelam mengejar matahari yang berendam diperut bumi, menyusul cerita-cerita kematian yang sebelumnya.
Seperti biasa, esok hari beberapa media menuliskan kejadian itu dalam berita. Cerita kematian seorang preman yang begitu ditakuti bersama anak gelandangan yang dilindas kereta. Dikabarkan kematian mereka diakibatkan karena menenggak minuman keras hingga mabuk dijalur kereta. Berita tersebut berada dilembar urutan terdepan. Kepala preman itu terputus, sementara anak kecil yang berada disampingnya, tubuhnya remuk tak dikenali. Begitulah cerita demi cerita bermunculan, mengiringi kisah kematian yang selalu tak terungkap, bagi tiap-tiap orang yang tak tercatatkan nasibnya.
Pagi itu, Sali masih bersama perempuan rel kereta yang ia temui semalam. Ia bernama Raswi. Mereka berdua larut dan luruh memadu gaduh gelora jiwa. Sali dan Raswi terus bercengkrama, tanpa memperdulikan keadaan yang menghimpit. Nafasnya berpacu menembus batas-batas keraguan. Membiarkan kereta kehidupan terus berlalu, seperti mereka membiarkan gerbong-gerbong tua itu meninggalkan dirinya yang telah lama kehilangan harapan. Mereka lebih memilih berenang dilautan kegalauan yang kini tak lagi berombak, dan membiarkan esok pagi, jika kematian yang selalu datang akan terus pergi berlalu tanpa gurat nasib yang harus dimengerti.
Sebuah kasur kumal dan keras, kamar kardus dan periuk nasi yang kering menjadi hiasan penyaksi aroma nafas yang berpacu di pagi itu. Keduanya kini nampak terlelap kelelahan, hingga suara adzan dhuhur membangunkannya menjelang siang.


Jeda kesangsian
04.48 pagi
15/09/07
Tulungagung
eb32

Tidak ada komentar: